Pernahkah Anda memperhatikan ketika Anda membeli
suatu merek produk yang populer, apakah Anda pernah berhenti untuk bertanya
pada diri sendiri, bagaimana mereka bisa menjadi begitu dapat dipercaya dan
dikagumi? Lalu bagaimana dengan merek produk yang baru diluncurkan? Sudah
tentu, suatu produk yang baru diproduksi dan diluncurkan, merek produk hampir
tidak dikenal masyarakat umum.
Ambil contoh Volvo. Ketika mereka mencoba untuk masuk ke
pasar mobil AS pada tahun 1962, sedikit sekali orang Amerika yang mengetahui
tentang pembuat mobil Swedia ini. Melalui penggunaan saluran pemasaran yang
melibatkan konsumen, seperti kampanye iklan yang mengesankan, experiential
event, pembicaraan dari mulut ke mulut, dan strategi partisipasi konsumen,
Volvo berhasil diterima konsumen Amerika
sebagai sebuah mobil tangguh dan dapat diandalkan. Melalui kampanye brand
activation, drive it like you hate it,
dalam waktu lima tahun, penjualan Volvo naik tiga kali lipat. Volvo meraih
sukses besar.
Sejatinya, brand activation bukanlah hal baru. Sejak marak
pemasar berbicara tentang brand, tanpa disasdari mereka melakukan brand
activation. Ketika manajemen merek diperkenalkan David A Aaker, pengelola merek
sudah mengaplikasikan brand activation.
Menurut Aaker, jika merek atau produk baru Anda ingin cepat
dikenali konsumen, maka buatlah merek atau produk Anda bisa diperhatikan dan
dikenang. Bagaimana caranya? "Buat berbeda dan istimewa," termasuk
cara mengkomunikasikannya.
Nasehat itu disadari benar oleh para marketer. Itu sebabnya,
dalam beberapa waktu belakangan ini, muncul berbagai strategi dan taktik
komunikasi yang sebenarnya tidak terlalu baru namun kini makin tinggi valuenya.
Salah satunya adalah launching product baru dengan menyelenggarakan event
besar-besaran. Di Indonesia, hal itu sudah dilakukan sejak belasan tahun lalu.
Ambil contoh yang dilakukan Indosat saat meluncurkan IM3.
Acaranya begitu istimewa. Saat peluncuran IM3 misalnya, Indosat melakukan
roadshow di setiap kota dan menyelenggarakan event khusus bak pestanya untuk
anak muda.
Ericsson-Sony menyelenggarakan XXX Paranoia Party saat
meluncurkan HP seri 60 dan bikin heboh. Nokia dengan Gen M Party-nya saat
memperkenalkan HP seri 5510. Atau saat
kelompok MRA saat meluncurkan radio barunya, Kosmopolitan FM yang menghadirkan
kelompok musik yang kini naik daun saat itu, the Lighthouse Family dan didukung
artis lokal lain serta MC kondang dari Hardrock FM.
Saat itu, pesta atau acara spektakuler kini menjadi trend.
Memang baru sebatas produk yang disasar untuk anak muda yang launching
produknya dilakukan dengan event khusus atau pesta gedhe-gedhean. Kini, brand
activation juga dirancang dengan taget audience segala umur. Ketika Sweety
menyelenggarakan event Liburan Keluarga Kompak, Mei-Juli lalu misalnya, calon
peserta yang dibidik adalah orangtua usia 25-40 tahun dengan nak umur 3 tahun.
Taktik launching produk baru kini memang menemukan warna
baru. Jamannya memang sudah berubah. Awal September lalu (8/9), saat
meluncurkan pisau cukur dengan merek Rave, OTG selaku pemilik merek mengundang
tak kurang dari 80 wartawan dari berbagai media—baik cetak, TV, radio, hingga
digital. Venuenya di salah satu cafe di bilangan Jakarta, Sinou Kaffee Housen.
Usai konferensi pers, ruangannya disulap bak ruang Rave
Shaving Class. Ruang tersebut sudah dipadati dengan meja-meja yang berisi
baskom kecil berisi air, pisau cukur Rave, cermin, dan handuk kecil. Sejumlah
wartawan pria dengan wajah plus kumis yang belum sempat dicukur pun, diundang
untuk menempati ruang tersebut, untuk kemudian diajak cukur bareng dengan Rave.
Sebelum kegiatan cukur bersama dimulai, narasumber Leo Embo
selaku Trainer MAXX Salon by Rudy Hadisuwarno, Head of Corporate and Marketing
Communication OTG Yuna Eka Kristina, dan artis Marcello “Ello” Tahitoe selaku
brand ambassador Rave, membuka kelas dengan talkshow bertema seputar bercukur:
mulai dari tips bercukur yang benar yang disampaikan Leo, pengalaman Ello yang
ingin praktis saat bercukur, hingga produk pisau cukur yang praktis dan nyaman
untuk para pria. Konsep press gathering Rave Shaving Class, merupakan upaya
OTG memperkenalkan Rave kepada media
lewat experiential activity.
Saat ini, merancang brand activation memang harus kreatif
dan relevansinya dengan target market harus tinggi. Artinya, idenya segar dan
unik. Juga harus menggunakan unsur digital dan mobile. “Itu karena now we are
not talking to standing army seperti 10 tahun yang lalu, we are now talking to moving parade,” kata
Uki Utama, President dan CEO Right Hand.
Saat ingin membangkitkan kembali kesadaran masyarakat
terhadap pelestarian lingkungan,
Tupperware melancarkan kampanye gerakan green living melalui kegiatan
lomba jalan sehat (individu dan kelompok). Lomba diselingi games/activity yang
berhubungan dengan WATER (air), aspek pengalaman (experience), edukasi dan
informasi yang dikemas menjadi FUN WALK yang heboh. Selama campaign berlangsung
menghasilkan pertumbuhan Followers sejumlah
1.003 Followers baru.
Brand activation merupakan sesuatu yang logis dan tak
terelakkan. Sebab era dimana produsen hanya memberitahu konsumen tentang apa
yang ada dalam pikiran produsen kini sudah lama hilang. Konsumen sekarang
secara mandiri memiliki pendapat sendiri yang dibangun berdasarkan pengalaman
mereka berinteraksi dengan merek. Ini menyiratkan fenomena bahwa saat ini ada
kebutuhan untuk menghubungkan emosional merek dengan konsumen pada waktu yang
tepat, di tempat yang tepat dan dengan cara yang benar, sehingga memotivasi
komitmen konsumen.
Namun, hal itu tidak berarti bahwa iklan TV tidak penting.
Konsep ini hendaknya dilihat sebagai efek dari perubahan di tingkat konsumen
belakangan. Saat ini ada kebutuhan yang meningkat untuk multi-dimensi kampanye
dalam rangka untuk membawa merek untuk hidup.
“Konsumen saat ini kurang responsif terhadap media
tradisional. Interaksinya dengan teknologi baru telah memberdayakan mereka
sehingga mereka bisa mengontrol bagaimana dan kapan (suatu merek, red)
dipasarkan….Merek yang tidak mengeksplorasi teknologi dan titik hubungan
(connection point) baru akan kehilangan sentuhannya" (Stengel, 2004).
Experiential sering melibatkan unsur sensorik, emosional,
kognitif, perilaku dan nilai-nilai relasional yang menggantikan nilai
fungsional (Schmitt, 1999, hal 26). Dalam konteks ini, merek bukan hanya
merupakan sesuatu yang intangible, namun juga tangible. Seperti diketahui,
esensi dari brand activation adalah pengalaman, interaktif, ditargetkan, dan
relasional.
Unsur-unsur ini sangat relevan dalam lingkungan pemasaran
modern. Interaktivitas merupakan sebuah ekspresi dari apa yang dihasilkan oleh
komunikasi. Ini tidak hanya terjadi ketika berlangsung percakapan tatap muka,
tetapi juga dapat merujuk kepada interaksi yang dimediasi. Interaktivitas bukan
hanya reaksi, melainkan timbal balik, dimana mereka yang terlibat dalam
komunikasi dapat berfungsi dan berperan sebagai penerima dan pengirim pesan.
Beberapa riset tentang pemasaran dan konsumen menunjukkan
bahwa pengalaman terjadi ketika konsumen mencari produk, saat mereka berbelanja
dan menerima layanan, dan ketika mereka mengkonsumsi merek tersebut (Brakus,
Schmitt, dan Zhang, 2008).
Dalam konteks produk, pengalaman terjadi ketika konsumen
berinteraksi dengan produk, misalnya ketika konsumen mencari dan meneliti
produk dan mengevaluasinya (Hoch 2002). Karena itu, pengalaman produk
berlangsung ketika terdapat kontak fisik antara konsumen dan produk (Hoch dan
Ha, 1986) atau kontak tidak langsung, misalnya ketika produk ditampilkan di
iklan (Hoch dan Ha, 1986; Kempf dan Smith 1998).
Ketika konsumen mencari, berbelanja, dan mengkonsumsi merek,
mereka dihadapkan pada atribut produk yang hampir mirip kalau tak mau dikatakan
sama. Akan tetapi, ketika mereka berhadapan dengan rangsangan warna, bentuk,
tipografi, elemen desain, slogan, maskot, dan karakter merek – rangsangan ini
muncul sebagai bagian dari desain dan identitas merek (misalnya, nama, logo,
signage), kemasan, dan pemasaran (misalnya, iklan, brosur, situs Web) dan di
lingkungan di mana merek ini dipasarkan atau dijual (misalnya, toko, peristiwa)
– saat itulah tanggapan internal muncul. Tanggapan internal itulah yang disebut
dengan brand experience.
Pengalaman juga terjadi ketika konsumen mengkonsumsi dan
menggunakan produk. Pengalaman konsumsi ini melibatkan dimensi hedonis, seperti
perasaan, fantasi, dan menyenangkan (Holbrook dan Hirschman 1982). Singkatnya, pengalaman muncul dalam berbagai
setting. Pertama, pengalaman yang langsung yang paling terjadi adalah saat
konsumen berbelanja, membeli, dan mengkonsumsi produk. Kedua, pengalaman
terjadi secara tidak langsung-misalnya, ketika konsumen teterpa periklanan dan
pemasaran, termasuk situs web.
Karena itulah brand experience berbeda dengan consumer
delight. Pelanggan senang yang ditandai oleh adanya gairah dan sikap positif,
bisa dianggap sebagai komponen afektif kepuasan. Dengan kata lain, pelanggan
senang merupakan hasil dari disconfirmasi. Sementara itu, pengalaman merek
tidak hanya terjadi setelah konsumsi. Experience terjadi ketika terjadi
interaksi langsung atau tidak langsung dengan merek. Selain itu, pengalaman
merek tidak perlu mengejutkan, namun hal itu bisa terjadi baik diharapkan atau
tidak terduga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar