Selamat datang Web 3.0 Marketing. Masa hidup produk
teknologi memang begitu pendek. Belum sempat kita mengekploitasi secara penuh teknologi
Web 2.0, kini ada tanda-tanda Web 2.0 tergeser oleh produk lainya yang jauh
lebih maju. Secara cepat, paradigmanya kini bergeser menjadi apa yang disebut
Web 3.0.
Melalui buku ini,
Michael Tasner melihat bahwa bagi banyak orang, Web 2.0 seakan segalanya.
Namun di balik itu, ada beberapa hal yang membuat merasa betapa menyebalkannya.
Web 2.0. bagi Tasner masih terdapat celah yang bisa memberi peluang segar bagi
metamorfosa lebih lanjut—karena orang kini merasa Web 2.0 mengalami kejenuhan,
kesalahpemahaman, penurunan kualitas interaksi, dan keterbukaan yang terkotak.
Tasner lalu membawa pembaca ke awal berkembangnya Web 2.0.
Menurut Tasner, Web 2.0 dimulai ketika pengguna Web mulai mengubah secara
drastis cara mereka dalam menggunakan Web sehari-hari. Ini ditandai dengan
munculnya keinginan orang untuk berbagi
ide, kreativitas, munculnya komponen dan tersegmentasinya masyarakat menurut
kebiasaan dalam mengunakan dan memanfaatkan teknologi dan internet, merupakan
trend penting dalam pembentukan Web 2.0.
Beberapa fungsi yang membedakan dengan Web sebelumnya adalah
ditambahkannya fasilitas bagi orang untuk berbagi file secara peer-to-peer,
komunikasi lebih mudah dan membentuk dan memperluas jejaringan melalui berbagai
situs sosial di marketing, berbagi
video, dan blogging. Sejak itu direktori Web berevolusi menjadi
penandaan sosial, situs Web pribadi bergeser ke blog, dan ensiklopedi versi
online bermetamorfosis menjadi Wikipedia.
Efek Web 2.0, yakni kolaborasi antara jaringan sosial dan
berbagi informasi turut membentuk perubahan dalam praktek dan paradigma
marketing. Menurut Tasner, empat komponen kunci dari Web 2.0 yang membuat
marketing diuntungkan. Pertama, keberadaan jejaring sosial seperti Facebook,
LinkedIn, dan MySpace memungkinkan orang hadir bersama dan berbagi ide,
pikiran, dan komentar. Ini mengubah padigma periklanan misalnya, dari yang
bersifat satu arah menjadi dua arah, karena publik tidak akan begitu saja
memahami apa yang disampaikan merek kepada mereka.
Kedua, sosial media seperti YouTube, Scribd, dan Flickr
telah menjadi tempat di mana orang dapat berbagi konten dengan dunia disertai
dengan harapan bisa membangun dan menyebarkan awareness. Ketiga, konten yang
dibuat oleh pengguna (User-generated content) di mana pengguna dapat membuat,
mengelola, dan memperbarui informasi yang memicu kelahiran berbagai macam
bentuk diskusi melalui Web 2.0. Ini ditandai dengan munculnya Squidoo, blog,
dan Wikipedia. Keempat, kelahiran berita sosial dan bookmarking telah
memungkinkan pengguna untuk mengorganisasaikan Web pengalaman mereka sendiri.
Contohnya adalah Digg, Delicious, dan StumbleUpon.
Namun di balik itu, Tasner melihat bahwa Web 2.0 mengalami
kejenuhan. Buktinya, menurut Tasner, karena semua orang bisa berada dalam
kendaraan Web 2.0, terjadi kebisingan yang tidak perlu. Bayangkan, bagaimana
marketing bisa efektif kalau misalnya, seorang anak usia delapan tahun bisa
memposting video ke YouTube. Flickr juga terlanda tanda-tanda kejenuhan,
sampai-sampai foto-foto ulang tahun anak pun di-share ke seluruh dunia.
Banyak orang – kata Tasner, mungkin berargumen bahwa –
dilihat dari hasilnya – situs-situs menikmati traffic yang bagus karena semua
orang bisa log on. Pertanyaannya, Namun, bagaimana Anda bisa mentarget dalam
kondisi lalu lintas yang padat? Media yang semula dibangun sedemikian rupa
sehingga kita bisa mengenali karakternya anggotanya, kini menjadi kabur.
Facebook bisa menjadi kendaraan yang sangat baik bagi kita untuk masuk ke
jaringan, bertemu orang baru, dan melakukan bisnis. Tapi Facebook baru bisa
menjadi alat pemasaran yang kuat hanya bila Anda tahu cara menggunakannya untuk
menjangkau orang-orang tertentu atau kelompok orang.
Yang kedua atau kesalahpahaman. Cek berapa kali Anda
mendengar bahwa MySpace hanya untuk remaja dan berbicara atau menyampaikan
halhal yang berbau porno? Pernyataan itu tak ada yang mendekati kebenaran,
meski ada jutaan orang menganggap pernyataan yang benar.
Keterbatasannya lainnya adalah waktu. Ketika kita menjadi
lebih dan lebih
terhubung, kita
mendapatkan lebih banyak. Namun kondisi tersebut sekaligus berarti
menjerumuskan kita pada kebisingan. Cek apa yang Anda merasakan dengan komentar
yang dibuat pada blog kita, pertanyaan tentang foto kami di Flickr, atau
pembaruan di Wikipedia.
Menurut Tasner,
salah satu tren yang sepertinya tidak pernah berubah adalah bahwa orang-orang
terus mendapatkan kesibukan dan memiliki sedikit waktu untuk interaksi.
Di satu sisi,
baik konsumen dan bisnis tetap menuntut informasi lebih, dan mereka ingin lebih
cepat, sehingga sangat menantang untuk mengikutinya. Namun di sisi lainnya,
begitu mereka berpikir bahwa mereka telah menemukan pilihan metode komunikasi
(e-mail) yang lebih baik, tiba-tiba muncul metode yang bisa jadi jauh lebih
cepat.
Probem lainnya
adalah menurunnya kualitas sentuhan manusiawi dalam berinteraksi. Dalam
bayangan Tasner, tujuan Web 2.0 adalah menciptakan cara-cara baru dalam mode
berinteraksi. Tasner mendefinisini mode interaksi sebagai tempat dan perangkat
berbeda yang digunakan orang untuk mengumpulkan, mencari, jaringan, dan
bertukar informasi. Maksudnya, orang-orang akan berkumpul di tempat yang
berbeda sekitar Web dan berinteraksi dengan cara yang berbeda satu sama lain.
Tapi mode interaksi ini telah menurunkan sentuhan manusia. Misalnya, ketika
Anda memiliki pertanyaan, Anda akan mencari jawabannya melalui Wikipedia.
Terakhir,
keterbukaan Web 2.0 sekaligus telah menjadi keterbatasan yang mencolok.
Sebagian besar orang kini telah menjadi pribadi secara alami. Bila Anda
memiliki account Facebook, account MySpace, dan halaman Flickr, privasi Anda
menurun dengan cepat. Jika Anda adalah pengguna setia Facebook atau membaca
sebuah berita, Anda seakan diingatkan ketika Facebook mengubah kebijakan mereka
untuk menyatakan bahwa merekalah pemilik konten sebenarnya. Ini berarti mereka
punya hak untuk mengubah, dan memperlakukan apa saja konten yang Anda masukkan
ke Facebook, bahkan setelah Anda membatalkan account Anda sekalipun.
Keterbatasan
itulah yang melahirkan Web 3.0 Marketing. Ini merupakan gambaran gelombang
tsunami ide marketing yang segera menggeser model pemasaran Web 2.0.
Penggeraknya adalah konsumen sendiri. Kebiasaan mereka melakukan browsing,
teknik browsing, makin cerdasnya mereka, pengalaman kita dalam mencari sesuatu,
membuat pergeseran itu makin cepat. Sederhananya: marketing Web 3.0 merupakan
konvergensi dari teknologi baru dan perubahan cepat trend pola pembelian
konsumen.
Menurut Tasner,
kelahiran Web 3.0 Marketing ini ditandai oleh lima komponen kunci. Pertama,
kelahiran dan pertumbuhan microblogging yang kemampuan untuk berbagi pemikiran
Anda dengan seperangkat karakter yang singkat. Ini sangat sesuai dengan kondisi
dimana orang-orang kini sangat sibuk dan memiliki waktu terbatas. Pada situasi, menurut Tasner, kabar atau
informasi yang tidak lebih dari 140 karakter menjadi relevan. Contohnya
termasuk Twitter, Plurk, dan Jaiku.
Kedua, kelahiran
dunia realitas virtual. Ini adalah tempat pengguna mengunjungi dan berinteraksi
dengan orang lain dari seluruh dunia dalam setting 3-D. Kelahirannya itu
membuat rapat yang biasanya dilakukan di ruang-ruang, dan pameran dagang
digantikan dengan virtual reality show. Contohnya termasuk Second Life dan
Funsites.
Ketiga,
kustomisasi/personalisasi yang memungkinkan pengunjung membuat sebuah
pengalaman yang lebih personal. Harapan agar nama mereka muncul di bagian atas
situs Web, dan e-mail pribadi sesuai dengan kebiasaan membeli mereka, kini
menjadi kenyataan. Ketika Web
menjadi lebih dan lebih cerdas, personalisasi akan menjadi semacam norma.
Contohnya termasuk SendOutCards, Google, dan Amazon.
Keempat,
perangkat mobile yang makin banyak penggunanya. Saat ini ada miliaran pengguna ponsel di seluruh
dunia. Jumlah ini jauh lebih besar daripada mereka yang menggunakan PC.
Konsumen berselancar di Web dan melakukan pembelian produk yang tepat melalui
ponsel mereka. Mereka juga menggunakan ponsel mereka dan menjadi wartawan
dadakan dengan menembakkan kamera handphone mereka dan mengapload-nya untuk
disare ke sahabat-sahabatnya. Contoh mencakup iPhone dan BlackBerrys.
Kelima,
kolaborasi on-demand yang memungkinkan pengguna untuk berinteraksi dalam
waktu senyata.
Mereka memeriksa dokumen-dokumen dan mengubahnya (bila perlu) secara real time. Software sebagai sebuah
layanan juga sesuai dalam kolaborasi on demand karena memungkinkan pengguna
hanya memanfaatkan solusi berbasis Web. Contohnya termasuk Google Docs, www.Salesforce.com, www.Slideshare.net,
dan www.Box.net.
Tak mudah memang
memahami pikiran Tarnes seperti yang dia unkapkan dalam buku ini. Hebatnya,
Tarnes sendiri menyadari hal itu. Itu sebabnya, harapan Tarnes tak terlalu
muluk-muluk. ”Saya ingin buku ini bisa menjadi referensi menuju ke Web 3.0
marketing. Baca buku ini
mulai dari cove depan hingga cover nelakang minimal dua kali,” kata
Tarnes.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar