Penerapan model bisnis
untuk pendidikan tinggi bisa meningkatkan kebutuhan untuk terus meningkatkan
kualitas pengajaran. Tapi menempatkan keuntungan sebagai salah satu tujuan
pengelolaan pendidikan tinggi dapat merusak dan membahayakan nilai-nilai
akademik.
Persaingan perguruan tinggi kini makin ketat. Betapa tidak,
saat ini, menurut data dari situs resmi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, terdapat 100 perguruan
tinggi negeri (berbentuk universitas, sekolah tinggi, akademi, politeknik) dan
3.078 perguruan tinggi swasta yang tersebar dari Aceh Sampai Papua.
Jumlah itu akan terus bertambah sejalan dengan kebijakan
pemerintah yang semakin memberi peluang kepada masyarakat untuk
menyelenggarakan pendidikan tinggi. Perguruan tinggi kini bersaing tidak hanya
memperebutkan calon mahasiswa, namun juga dalam menggalang dana pembiayaan baik
untuk beasiswa maupun dana penelitian.
Agar bisa bersaing secara efektif, lembaga pendidikan
membedakan dirinya dari pesaingnya dengan mengembangkan citranya yang khas.
Citra tersebut dikomunikasikan kepada calon mahasiswa dan employer sehingga
perguruan tinggi bersangkutan bisa bersaing. Menurut Kotler dan Fox (1995),
komunikasi yang dilakukan lembaga pendidikan tinggi pada dasarnya bertujuan
untuk memelihara dan meningkatkan citra kelembagaan; membangun dan mendukung
loyalitas lulusannya; menarik sumbangan; supply informasi tentang layanan
kelembagaan; menarik siswa sebagai pasar potensial dan mendorong mereka untuk
menfdaftar; dan mengkoreksi informasi salah dan tidak lengkap yang beredar dari
luar tentang lembaga.
Secara langsung, citra tersebut bisa membentuk persepsi
terhadap kualitas dan nilai yang dirasakan, kepuasan, dan melahirkan
pembicaraan dari mulut ke mulut di kalangan mahasiswa (Alves dan Raposo 2006). Dengan
demikian, yang terjadi sekarang, pengelola perguruan tinggi semakin sadar bahwa
mereka tidak bisa berdiri pasif, menunggu siswa untuk mengetuk pintu mereka.
Mereka harus aktif berpromosi. Tak mengherankan bila saat
ini lembaga pendidikan dan penyelenggara program pendidikan mencari cara-cara
untuk membedakan dirinya dari pesaing. Banyak lembaga pendidikan menghabiskan
sejumlah besar uang pada kegiatan branding. Pengelola perguruan tinggi kini
makin menyadari pentingnya kualitas pengajaran, penelitian, kursus, seleksi
mahasiswa, fasilitas sosial, dan kurikulum.
Persoalannya, calon mahasiswa dan orang tua mereka kesulitan
untuk menilai dan memilih mana diantara lembaga pendidikan yang bersaing
tersebut merupakan lembaga pendidikan yang terbaik untuk calon mahasiswa da
orang tua mereka. Itu sebabnya, kini banyak pengelola perguruan tinggi berusaha
meningkatkan pentingnya aset immaterial seperti merek (Jevons, 2006).
Akibatnya, dalam beberapa tahun terakhir, ada kesadaran untuk melakukan branding.
Dalam branding, peran citra dan reputasi kelembagaan dalam mempengaruhi
niat pembelian pelanggan menjadi semakin penting (Barich dan Kotler, 1991).
Dengan kata lain, citra dan reputasi lembaga menjadi variabel penting yang
harus dikembangkan dan dipertahankan dalam hubungannya dengan upayab untuk
menarik calon peserta didik maupun untuk membangun loyalitasnya (Dick dan Basu,
1994; Raj, 1985).
Dalam manajemen pelayanan pendidikan, konsep-konsep citra
dan reputasi secara luas digunakan sebagai positioning untuk mempengaruhi
pilihan siswa terhadap lembaga pendidikan tinggi (Milo et al, 1989;. Weissman,
1990). Selain itu, citra lembaga dan reputasi berpengaruh terhadap keputusan
siswa tetap belajar hingga selesai (loyal). Di sisi lain, citra dan reputasi
lembaga dianggap sebagai dua entitas sosial yang berbeda meski keduanya sangat
terkait.
Hubungan ini menjadi menarik mengingat gagasan bahwa pertama,
citra dan reputasi dapat dibagi ke dalam sejumlah dimensi. Kedua, tinjauan
penelitian di bidang pendidikan manajemen mengungkapkan sedikit bukti empiris
yang mendukung hubungan antara citra dan reputasi lembaga terhadap loyalitas
mahasiswa.
Seperti diketahui, lembaga pendidikan mendapatkan sumber
daya tertentu melalui pertukaran atas jasa yang mereka tawarkan. Lembaga
menyediakan kursus, gelar, keahlian tertentu, layanan dan manfaat lainnya
kepada pasar mereka, yakni calon
mahasiswa dan keluarga mereka, dan menawarkan nilai yang harus mereka bayar
untuk mendapatkan jasa perguruan tinggi tersebut.
Sebagai imbalannya, perguruan tinggi mendapatkan sumber daya
yang mereka butuhkan – uang kuliah dan sumbangan. Ini adalah gagasan pertukaran
yang merupakan inti dari kegiatan pemasaran. Dalam kaitan ini, kedua belah
pihak sepakat untuk bertukar. Karena itu kedua belah pihak berharap pada akhirnya
mereka menjadi lebih baik daripada sebelumnya.
Konsep pertukaran tersebut melahirkan konsep yang lebih luas
dari sekadar lembaga pendidikan. Pengelola mengembangkan konsep pertukaran
menjadi hubungan atau relationship (Campbell 2002). Dalam konteks pemasaran,
relationship berarti mengasumsikan mahasiswa sebagai individu yang berbeda
dengan keinginan dan kebutuhan yang unik. Ada lima konsep dasar dalam
relationship, yakni menciptakan ikatan yang bersifat personal (personal bond), kepedulian
terhadap kesejahteraan mahasiswa, komitmen terhadap pertumbuhan – baik akademik
maupun pribadi – mahasiswa, customer fit, dan menahan atau mengakhiri hubungan
dengan pelanggan.
Konsep tersebut biasanya dipakai dalam bisnis yang mengejar
keuntungan. Bila konsep tersebut dianggap pas untuk perguruan itu berarti
menganggap perguruan tinggi sebagai entitas bisnis. Meski harus diakui bahwa penerapan
model bisnis untuk pendidikan tinggi bukanlah fenomena baru. Ini karena diakui
atau tidak, hampir semua perguruan terlibat dalam pemasaran. Mereka menawarkan
pendidikan sebagai produk, membujuk calon mahasiswa dan keluarga mereka, dan mencharge
mereka dengan nilai tertentu (Drachenberg 1972: 370).
Pada awalnya ada anggapan bahwa marketisasi pendidikan
memberikan kontribusi positif terhadap kemajuan pendidikan tinggi. Studi pada
pendidikan yang tidak mengejar keuntungan menunjukkan bahwa marketisasi dan
privatisasi membuat pendidikan tinggi lebih efisien, lebih akuntabel, dan
memiliki birokrasi yang flleksibel.
Presiden (Emeritus) Universitas Harvard Bok menyatakan bahwa
penggunaan model bisnis untuk pendidikan tinggi makin meningkatkan kebutuhan
untuk terus meningkatkan kualitas pengajaran (Bok 2003: 21-29). Marketisasi
memungkinkan perguruan tinggi untuk mengalokasikan keuntungan yang diperoleh
untuk tujuan meningkatkan kualitas dan kesempatan untuk mengubah penemuan
ilmiah menjadi produk dan proses yang berguna (Bok 2003: 102).
Namun di sisi lain, Bok (2003: 6) juga mencatat bahwa
marketisasi bukannya tanpa risiko. Menempatkan keuntungan sebagai salah satu
tujuan penting untuk pendidikan tinggi dapat merusak dan membahayakan
nilai-nilai akademik, dan menyebabkan komersialisasi pendidikan. Misalnya,
hasil-hasil penelitian yang disponsori perusahaan semakin sulit diakses publik
karena terikat oleh kerahasiaan sebagaimana dispekatai antara perusahaan dan
lembaga pendidikan tinggi. Risiko lain misalnya hasil penelitian menjadi bias
atau dikompromikan, dan program pemberdayaan seperti program penyuluhan akan
semakin termarjinalkan dari kegiatan akademik (Bok 2003).
Bok memperingatkan bahwa persaingan untuk mengejar
keuntungan tidak selalu membuahkan hasil yang menguntungkan; mereka hanya
menghasilkan apa yang diinginkan pasar (Bok 2003: 103). Selain itu,
komersialisasi bisa melemahkan standar keunggulan akademik, kerusakan
kolegialitas akademik, dan merusak reputasi universitas (Bok 2003: 105-118).
Pusser (2002: 106) mencatat bahwa sistem berbasis pasar yang dikendalikan oleh
konsumen akan memperkecil akses universal, pelatihan kepemimpinan, atau menutup
kesenjangan sosial.
Pendidikan tinggi, termasuk swasta, kini memang menghadapi
tantangan di beberapa bidang. Persaingan untuk mendapatkan dana dari sponsor,
karena semakin banyak perguruan tinggi alokasi dana pemerintah – bila tersedia
– makin terbatas karena harus dibagi ke lebih banyak lembaga. Perguruan tinggi terus
berjuang meningkatkan hubungannya dengan alumni dan masyarakat dalam rangka
membangun modal dan memperluas dukungan lokal. Selain itu, ada persaingan yang tidak
pernah berakhir untuk meningkatkan kualitas sarjana dan profesionalisme dalam
pengelolaan lembaganya.
Namun yang harus dipertimbangkan adalah proses pendidikan
tidaklah sama dengan proses produksi di dalam industri. Proses pendidikan
merupakan suatu dialog antara pendidik dan peserta-didik. Peserta-didik adalah
makhluk hidup yang bertanggung jawab yang khas yang memiliki kepribadian
sendiri yang perlu dikembangkan melalui proses pendidikan.
Pendidikan berbeda dengan industri. Pendidikan berhadapan
dengan manusia dalam upaya lebih meningkatkan taraf hidupnya atau
kesejahteraaannya dan kecerdasannya. Hal ini berbeda dengan industri yang
memproduksikan hasil industri atau produk industri yang semakin lama semakin
berkualitas. Pendidikan bertujuan menghasilkan peserta-didik yang berkualitas
dalam arti lebih merdeka, lebih bertanggung jawab, lebih bermoral.
Inilah yang disebut proses pemanusiaan dalam proses
pendidikan. Dalam proses pemanusiaan tersebut obyeknya adalah subyek yang unik
dan bertanggung jawab yang pada akhirnya menjadi manusia yang berdiri sendiri.
Manusia yang berdiri sendiri tersebut adalah manusia yang dapat menata
kehidupannya sendiri bersama-sama dengan kelompoknya dalam dunia yang
terus-menerus berubah. Inilah konsep teoritis dari proses pendidikan,
pendidikan sebagai proses pemerdekaan.
Akankah itu bisa mampu menarik calon mahasiswa? Tidak ada
yang tidak mungkin. Tantangannya adalah bagaimana mengkomunikasikan itu
sehingga mampu menarik minat calon mahasiswa untuk masuk.
Atas dasar itu, ada pemikiran bahwa konsep pemasaran
perguruan tinggi hendaknya memberikan sesuatu yang berarti. Untuk itu, seperti
yang diajukan Felix Maringe dan Paul Gibbs dalam buku Marketing Higher
Education: Theory and Practice menyatakan bahwa aplikasi pemasaran dalam
konteks perguruan tinggi hendaknya dibangun atas dasar tiga asumsi.
Pertama, pendidikan merupakan salah satu unsur penting dalam
pembangunan masyarakat. Karena itu, kegagalan dalam memberikan nilai kepada
masyarakat berarti mengingkari hak
masyarakat untuk menentukan nasib sendiri dan berkonstribusi dalam
pembangunan. Implikasinya, karena pemasaran merupakan salah satu cara yang
dapat memberikan dan menukarkan nilai, maka pendidikan perlu mengadopsi
filosofi pemasaran sebagai bagian integral dari pembangunan dan cara mendeliver
nilai tersebut.
Kedua, pendidikan tidak boleh dikomoditasikan. Pendidikan
tidak seyogyanya dilihat sebagai bagian dari furnitur di toko dengan informasi
harga di atasnya. Pendidikan merupakan sebuah proses dan hasil interaksi antara
peserta didik, materi pembelajaran, instruktur atau fasilitator pembelajaran,
serta berbagai sumber daya yang digunakan untuk membantu proses pembelajaran.
Karena hal tersebut sangat penting, nilai-nilai pendidikan akan lebih efektif
bila disampaikan melalui metode yang menggunakan perspektif pemasaran.
Ketiga, pemasaran merupakan sebuah konsep yang tidak sekadar
berupa iklan dan promosi. Pemasaran harus dilihat dalam konteks pertukaran dan
pengiriman nilai antara yang memberikan jasa pendidikan dan mereka yang
berusaha untuk manfaat jasa tersebut. Dengan demikian, pemasaran bukan sekadar
dilihat sebagai alat untuk mencapai tujuan tetapi sebagai proses membangun
hubungan berdasarkan kepercayaan dan bertujuan memberdayakan klien atau
pelanggan pendidikan tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar