Logikanya melemahnya ekonomi seperti saat ini menantang sebagian
prasangka publik tentang nilai dan relevansi sebuah merek. Bagaimana tidak,
ketika situasi menjadi sulit, popularitas merek konsumen seolah-olah menghilang
dan digantikan oleh harga sebagai penggerak utama preferensi pembeli.
Hari-hari ini, konsumen
mungkin tak lagi mempertimbangkan merek, yang penting harganya terjangkau. Mereka membeli produk
dengan penawaran khusus dan tidak melihat keuntungan merek, dan tak lagi
memerhatikan pesan kecuali pesan diskon. Beberapa hari lalu misalnya, ketika
seorang karyawan membawa dua lusin potong baju dengan harga Rp 65 ribu sepotong
(bayangkan, ongkos jahit baju di pinggir jalan saja sekarang bisa sampai Rp 85
ribu) dalam dua jam ludes terjual. Padahal baju itu tidak berlabel.
Fenomena itu
membuktikan bahwa harga kini menjadi pertimbangan utama ketimbang merek. “Yang
penting bagus,” kata seorang pembeli. Bila fenomena kelesuan ekonomi ini
berlanjut, bisa dierkirakan yang terjadi kemudian adalah perang harga. Pertanyaannya
kemudian adalah apakah branding tetap penting? Tentu saja, namun strateginya harus
disesuaikan dengan situasi konsumen dan ditargetkan untuk membangun dan
mempertahankan loyalitas konsumen.
Karena itu, merek harus
tetap memberikan nilai ekonomi kepada pelanggan. Mereka harus memberikan
pengembalian manfaat kepada pelanggan lebih besar dari yang mereka bayarkan.
Mereka harus melakukan seperti yang dijanjikan dan kualitasnya memenuhi
harapan pelanggan. Dalam masa sulit
seperti sekarang ini, memberikan harga dan pesan yang baik kepada pelanggan
juga tak boleh dilupakan.
Dalam situasi seperti
ini, biasanya hanya perusahaan kuat yang dapat bertahan. Mereka bisa terus
beriklan dan berromosi yang lain, sedangkan yang kecil hanya mencari
kemungkinan untuk bertahan hidup. Untuk sementara, untuk menarik konsumen, yang
kecil bisa saja menurunkan harga atau memangkas biaya produksi, namun ini
biasanya diikuti dengan pengurangan kualitas. Juga ada kemungkinan melakukan
aktivitas pemasaran tanpa biaya investasi besar seperti di media sosial, dan
sebagainya.
Dalam pemasaran dan
komunikasi pemasaran mempelajari perilaku pembelanja sangat bermanfaat. Karena
dari gambaran perilaku pembelanjalah pemasar menentukan promosi yang akan dijalankan.
Disini termasuk mempelajari apa saja pilihan pembelanja dan bagaimana pilihan
itu mempengaruhi perusahaan Anda pada saat ekonomi melemah sangat penting. Namun
yang paling penting adalah mengetahui apa saja pilihan mereka saat perekonomian
menjadi semakin buruk.
Ini memang bukan
pertama kalinya Indonesia mengalami situasi seperti ini. Dengan kata lain, kata
orang, Indonesia memiliki pengalaman menghadapi situasi menurunnya kinerja
ekonomi. Bahkan pada 1998 silam, Indonesia dilanda krisis ekonomi yang
memporakporandakan sendi-sendi ekonomi yang dibangun sebelumnya dan akhirnya
bisa bangkit kembali, meski dampak sosialnya masih terasa hingga saat ini.
Kini, meski dengan
kualitas yang jauh lebih rendah, Indonesia mengalami pelemahan ekonomi. Semester
pertama tahun ini Indonesia memasuki situasi yang hampir sama dengan tahun
2008. Tahun 2015 ini pertumbuhan ekonomi berpotensi untuk jatuh di angka 4.5%
hingga 4.8% saja. Jauh dari target pemerintah 5.5%. Pertumbuhan volume
penjualan FMCG secara nasional sudah mendekati angka nol, bahkan perdagangan
tradisional sudah minus.
Awal 2008, Indonesia
memasuki era kenaikan harga pangan yang luar biasa. Saat itu pertumbuhan
ekonomi sekitar 4.5% dan pertumbuhan ritel fast moving consumer goods (FMCG)
hanya 4.7%. Ini merupakan dampak dari kenaikan harga minyak dunia. Awal 2008,
harga minyak goreng bermerek naik 52.2%, margarine 38.1%, instant noodle 28.8%,
powder milk 20.3% (Nielsen top 30 SKU, January-April 2008 vs. 2007). Kenaikan
harga itu jauh lebih tinggi dari yang diakibatkan kenaikan harga BBM dalam
negeri, sebab menurut catatan, pada 2005 kenaikan harga makanan akibat kenaikan
harga BBM sbesar 28% dan 126% hanya sekitar 5%.
Di balik berita-berita
besar mengenai merosotnya perekonomian, para pembelanja setiap hari dipaksa
untuk berpikir keras untuk memutuskan apa yang mereka beli hari itu. Ini karena
hari-hari ini tak ada komoditas atau produk yang harganya tidak beranjak ke atas.
Dampaknya terasa di hampir semua kelas, meski dengan tingkat perubahan pola
belanja rumah tangga yang berbeda-beda.
Yang pasti, yang paling
terpukul karena kenaikan harga itu adalah konsumen kelas bawah. Hal ini
disebabkan proporsi uang belanja terbesar mereka terkonsentrasi (setidaknya
70%) untuk makanan. Mereka kemudian mengubah pola belanja. Secara drastis
mereka berhenti memakai/mengkonsumsi beberapa macam produk dan menggantinya
dengan merek yang lebih murah, mengganti dengan produk dengan ukuran lebih
kecil (sehingga pas penggunaannya), serta mengurangi kuantitas pembelian.
Sedangkan kelas
menengah akan lebih mengarahkan perhatiannya pada toko-toko yang berpromosi dan
memberi diskon harga. Pada intinya, mereka berusaha mendapatkan tawaran terbaik/best
deal. Konsumen kelas menengah juga mulai mengganti dengan merek yang lebih
murah terutama untuk produk-produk rumah tangga, mengurangi kuantitas belanjaan
dibuat secukupnya dan tidak berlebihan seperti sebelumnya, termasuk misalnya
berusaha makan di rumah dan mengurangi makan di luar rumah. Untuk konsumen
kelas atas, mereka lebih condong untuk mempertahankan gaya hidup dan loyalitas
merek, sehingga mereka berusaha untuk mencari income tambahan. Bila krisis
berlanjut, mereka akan mengurangi frekuensi rekreasi.
Beruntung, sebentar
lagi lebaran, event keagamaan yang selalu memunculkan tradisi belanjanya. Ekan
lalu, saya lihat beberapa supermarket mulai ramai meski produk dengan penawaran
khususnya tak seheboh dua minggu sebelumnya.
Sejatinya, fenomena ini telah diperkirakan banyak pihak dengan
mengatakan bahwa pelambatan ekonomi mungkin bersifat sementara. Ekonomi bakal
melaju lagi pada kuartal kedua karena anggaran belanja pemerintah mulai keluar,
masa lebaran dan pilkada.
Yang dikhawatirkan
adalah gonjang-gonjing politik yang masih berotensi muncul terus. Ini bisa jadi
berdampak negatif terhadap konerja ekonomi nasional yang selanjutnya
berpengaruh terhadap kinerja perusahaan dan merek. Karena itulah para pemasar
sekarang dituntut untuk lebih awas terhada perkembangan di sekelilingnya dan
memersiakan langkah-langkah kontingensi untukmengejar target seerti yang
ditetapkan akhir tahun lalu.
Dalam masa ekonomi yang
melambat, ada tiga perubahan yang terjadi. Yang pertama adalah perubahan
anggaran. Saat ekonomi melemah, biasanya perusahaan memangkas belanja iklannya.
Dalam jangka pendek, langkah tersebut positif karena setidaknya menyelamatkan
laba yang ditargetkan sebelumnya. Meski demikian, langkah itu diragukan karena
bisa saja volume penjualannya jadi turun. Perusahaan juga menghadapi risiko
kehilangan pangsa pasar setelah perekonomian pulih dan stabil.
Yang kedua adalah
perubahan perilaku konsumen. Ini paling
banyak dibahas. Karena itu sudah menjadi pengetahuan publik bahwa ketika
perekonomian melemah, konsumen akan mengurangi porsi pendapatannya untuk
belanja. Ini dilakukan dengan cara misalnya mencari barang yang harganya lebih
murah, mengurangi volume pembeliannya, atau menunda pembelian barang-barang
yang sekiranya tidak mendesak kebutuhannya.
Mereka tidak berhenti
belanja. Hanya saja mereka menyesuaikan pembelanjaannya sesuai dengan
kondisinya saat itu dan persepsinya terhadap nasib dirinya ke depan. Kalau
mereka merasa masa depannya terancam, misalnya bakal di PHK, mereka makin ketat
berbelanja. Intinya mereka tetap berbelanja.
Dalam beberapa
kesempatan, pemerintah mengatakan bahwa sitausi saat ini, selain dikarenakan
melambatnya ekonomi dunia, yang juga penting adalah kurang lancarnya belanja
pemerintah. Semester ini, pemerintah akan melancarkan penyaliran belanja
itu. Dalam kondisi seperti ini,
mempertahankan loyalitas konsumen terhadap merek kita adalah penting. Dengan
demikian, ketika perekonomian pulih atau stabil, konsumen tidak beralih ke merek
lain.
Pereseran Pola
Berbelanja
Hasil studi yang
dilakukan di Unilever Amerika Serikat – pada 14 Maret hingga 3 April 2008
terhadap 47 ribu rumah tangga -- menunjukkan bahwa dalam kondisi perekonomian
sulit seperti sekarang ini, pembelanja atau konsumen semakin hati-hati dalam
merencanakan belanja sehari-harinya. Konsumen kelas bawah merupakan pembelanja
yang sangat cerdas. Sebelum pergi ke toko atau pasar, mereka melakukan riset
terlebih dulu, menyusun prioritas, dan membuat perbandingan.
Konsumen kelas bawah
mengawali ritual belanjanya dengan melihat-lihat dapur untuk mengetahui apa
saja yang harus dibeli dan mengumpulkan kupon diskon yang diiklankan melalui
surat kabar, edaran, dan pos surat langsung. Karena itu, sebelum mereka
beranjak dari dapur, mereka telah memiliki daftar panjang barang atau produk
yang akan merekabeli, mencocokan dengan kupon yang tersedia, dan beberapa menu
yang mereka rencanakan selama sepekan ke depan. Yang paling penting dari temuan
studi adalah bahwa mereka berencana belanja dengan tunai dan sebisa mungkin tidak
menggunakan kartu kredit.
Di super atau
hipermarket mereka langsung menuju rak tempat produk atau makanan yang ada di
daftar yang dibuat di rumah. Atau produk yang biasa mereka beli seperti makanan
dan perawatan diri. Mereka hanya membeli snack kalau ada sale. Mereka melewati
lorong pajangan produk yang tidak ada di daftar. Di lorong pajangan produk atau
makanan yang ada di daftar mereka pun tidak tertuju pada satu merek. Mereka
mencoba membandingkan dan mencari produk atau makanan yang ada didiskon. Itu
pun dicocokkan dengan kupon diskon yang mereka dapatkan dari guntingan surat
kabar yang mereka bawa dari rumah.
Konsumen kelas menengah
memiliki beberapa persamaan dengan konsumen kelas bawah. Mereka juga
memanfaatkan kupon diskon. Bedanya, di kelas ini kupon diskon yang mereka cari
adalah untuk produk-produk yang mempunyai kualitas lebih dari yang biasa mereka
beli. Dengan kata lain terjadi premiumisasi produk yang mereka konsumsi. Mereka
memang merencanakan belanja makanan. Namun itu lebih sebagai upaya mencari
diversifikasi ketimbang penghematan. Mereka mencari kemasan yang lebih besar
tetapi tetap membeli merek yang mereka kenal, terutama untuk produk perawatan
pribadi.
Di super atau
hypermarket, perilaku mereka juga sama dengan kosumen kelas bawah. Mereka lebih
jarang blusak-blusuk mencari barang. Mereka juga langsung ke lorong yang
memajang produk yang biasa mereka beli.
Dari 47 ribu responden
tersebut, untuk produk makanan, hampir semua responden mengatakan tidak ingin
untuk berpindah dari merek yang biasa mereka konsumsi. Untuk konsumen kelas
menengah misalnya, untuk produk rumah tangga dan makanan termasuk mentega, kopi
dan teh, tidak ingin pindah ke private label misalnya. Mereka masih berusaha
mengkonsumsi merek yang biasa digunakan, bahkan kalau perlu untuk mendapatkan
itu mereka bersedia untuk mengurangi belanja nonton film atau tur. Mereka juga
tidak keberatan untuk berkendara ke super atau hypermarket yang lebih jauh
untuk mendapatkan belanjaan berkualitas sama tapi volume lebih banyak dengan
pengeluaran yang sama.
Untuk kategori non
makanan memang terjadi trade-down. Misalnya, untuk produk-produk pembersih
rumah, 34% rumah tangga kelas bawah, 33 % rumah tangga kelas menengah, dan 30%
rumah tangga kelas atas menyatakan berpindah merek. Demikian pula untuk produk
perawatan tubuh seperti shampo, dan sebagainya.
Apa yang dilakukan
marketer?
Berdasarkan temuan itu,
Unilever Amerika Serikat merekomendasikan berbagai macam taktik. Pertama,
karena begitu pentingnya selebaran yang dikirim dari rumah ke rumah sebagai
sumber informasi dalam keputusan berbelanja, maka penyebaran selebaran yang
berisi informasi diskon makanan ditingkatkan.
Kedua, adaya
kecenderungan masih besarnya keiningan konsumen untuk tidak berpindah merek dan
pilihan lebih baik mencari tempat belanja yang bisa memberikan value yang sama,
maka penjualan silang berbagai tingkatan kualitas di dalam satu kategori perlu
dilakukan.
Ketiga, karena
kecenderungan kemungkinan berpindah merek, sampling produk di dalam toko dapat
mendorong konsumen bawah membeli produk yang sebelumnya tidak ingin mereka
beli. Keempat, karena banyak pembelanja yang melewati lorong pajangan produk
yang termasuk dalam daftar produk yang mereka siapkan dari rumah, usahakan
mereka melewati semua lorong. Usahakan mereka memperhatikan produk yang
dipajang di rak lorong itu dengan menampilkan produk atau merek-merek menarik
berharga super murah.
Kelima, meningkatnya
kecenderungan konsumen berhemat mendorong mereka untuk membeli produk dengan
ukuran kecil (kethengan) atau besar. Intinya pada kondisi seperti itu konsumen
ingin mendapatkan manfaat atau keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya. Karena
itu, biarkan mereka mengetahui perbedaan nyata antara kemasan ukuran kecil dan
besar dari produk yang Anda tawarkan.
Keenam, begitu konsumen
menjadi lebih proaktif dalam menyusun rencana belanja mereka. Karena itu,
usahakan merayu mereka dengan produk komplementernya (pelengkap). Jadi
misalnya, tawarkan salad dengan dressing favoritnya dengan harga hemat.
Ketujuh, cros-promotion di rak untuk mendorong penjualan poduk dimana konsumen
mulai menghapusnya dari daftar belanja mereka. Misalnya, dengan kupon diskon
pembelian snack di rak susu.
Kedelapan, dengan
kecenderungan pembelian bulk oleh konsumen untuk menstok, tawarkan kemasan
”pertemanan dan keluarga” khusus. Kesembilan, cantumkan pernyataan bahwa produk
Anda memiliki kualitas tinggi. Ini karena dua pertiga ari konsumen – meski
pingin berhemat – namun masih memperhatikan kesehatan mereka, sehingga faktor
higinitas dan kesehatan masih tetap menjadi daya tarik yang tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar