Bila Anda perhatikan, dalam
beberapa hari terakhir, iklan TRESemme di jaringan TV berbayar Fox, Anda akan
mungkin mengetahu bahwa TREsemme kini dijual dalam kemasan sachet. Ini memang
hal yang baru. Sabtu kemarin saya iseng ke supermarket dan hypermarket, saya
belum melihat TRESemme muncul di rak pajangan supermarket.
Lihat : Ini yang terjadi bila ekonomi melemah
Mengingat bahwa shampoo TRESemme adalah produk premium yang menyasar segmen savvy style seekers dan baru sekitar tiga tahun lalu diluncurkan PT Unilever Indonesia Tbk di Indonesia, ada tiga pertanyaan yang muncul dalam pikiran saya.
Mengingat bahwa shampoo TRESemme adalah produk premium yang menyasar segmen savvy style seekers dan baru sekitar tiga tahun lalu diluncurkan PT Unilever Indonesia Tbk di Indonesia, ada tiga pertanyaan yang muncul dalam pikiran saya.
Pertama, apakah ini seperti
test the water Unilever untuk melihat respon pasar sebelum kemasan sachet itu
benar-benar diluncurkan? Kedua, apakah itu taktik tersebut sebagai respon Unlever
terhada kondisi melemahnya ekonomi Indonesia saat ini?
Dalam meluncurkan produk
kemasan sachet, Unilever memang berpengalaman. Ketika krisis ekonomi melanda Indonesia
pada 1998, Unilever mulai menjual sabun dan sampo dalam sachet kecil.
Saat itu,
karena begitu banyak konsumen yang tiba-tiba berjuang untuk memenuhi kebutuhannya,
Unilever melihatnya sebagai peluang. Karena itulah, untuk menjaga agar penjualan
stabil, Unilever menawarkan produk-produk dalam ukuran yang lebih kecil dan
dengan harga yang lebih rendah.
Lihat : Ini yang dilakukan P&G
Hasilnya, kemasan sachet berhasil menyelamatkan penjualan Unilever yang ada saat itu merossot. Melihat hasil tersebut, kemasan sachet yang ada awalnya hanya sebagai sekadar taktik bertahan hidup, selanjutnya dijadikan dasar strategi Unilever lebih luas untuk pasar Indonesia. Sejak itu, Unilever menggenjot produk kemasan sachet dan menambahkan produk baru ke dalam daftar kemasan itu, termasuk untuk teh dan mentega.
Unilever Indonesia
memang tidak serta merta memanfaatkan kemasan sachet tersebut. Selama
bertahun-tahun sebelumnya, unit Unilever di India - Hindustan Lever Ltd - berhasil
menggunakan model sachet untuk menembus pasar segmen berpenghasilan rendah dan daerah
pedesaan.
Di Indonesia, penjualan produk
dalam kemasan sachet (kecil) juga bukan
hal baru. Awal 1990an misalnya, untuk melawan dominasi minuman berenergy dalam
botol saat itu, ExtraJoss meluncur dengan kemasan sachet. Merek lain dari perusahaan
yang sama, Komix juga melanggeng dengan kemasan sachet.
Saat itu, Unilever belum
mengadopsi kemasan sachet karena melihat bahwa model di India tersebut dianggap tidak efektif di Indonesia karena
situasinya yang berbeda dengan di Indonesia.
Di Indonesia, seperti di sebagian
besar negara berkembang, selama 1980- awal 1990, sejumlah besar penduduk
pedesaan bergabung dengan angkatan kerja perkotaan membanjiri kota-kota untuk
bekerja di sektor konstruksi atau pabrik. Di sebagian besar negara, ini adalah
tren satu arah yang jarang berbalik. Namun, seperti yang ditulis Wall Street
Journal, Eastern edition (20 Mar 2002), fenomena Asia Tenggara merupakan
pengecualian.
Sementara itu, ekskutif
Bintang Toedjoe melihat fenomena tersebut sebagai peluang. bagai Sebab
bagaimana pun sebagian besar para pedesaan yang bekerja di sektor konstruksi
dan pabrik di perkotaan masih berada di kelas ekonomi rendah. Di sisi lain, di
perkotaan mereka juga berhemat dan menyisihkan sebagian penghasilan untuk
dikirim ke keluarga di desa asalnya. Karena itulah meski ExtraJoss yang
membidik mereka berhasil.
Ketika krisis mulai terasa
pada tahun 1997, ribuan orang Indonesia pulang ke desa untuk bekerja di ladang.
Migrasi serupa juga terjadi di negara-negara seperti Thailand. Banyak perusahaan
melihat fenomena ini sebagai peluang.
Kemasan sachet semakin
nge-trend. Perusahaan-perusahaan global yang biasanya menjual produk dalam
kemasan standard dengan harga relatif mahal pun kini melirik pasar kemasan
ekonomis.
Nestle misalnya merambah
pasar kemasan kecil dengan sangat agresif. Produk minuman seperti Milo dan
Nescafe yang dulu hanya dijual dalam kaleng, botol, atau dus berukuran minimal
180 gram hingga 200 gram, dibuat dalam bungkus plastik ukuran kecil untuk
sekali minum. Untuk lebih praktisnya, produk tersebut bahkan sudah dicampur
(mix) dengan gula dan bahan lain seperti creamer.
Tidak hanya Nestle,
Procter & Gamble (P&G) juga melakukan hal yang sama. Sejak krisis
ekonomi melanda Indonesia pada 1998, P&G mulai memproduksi sampo Pantene
ukuran ekonomis untuk sekali pakai. Begitu pula dengan Nabisco yang mengemas
Oreo dalam bungkus kecil yang hanya berisi setangkap biskuit coklat ini.
Menyusul
kemudian, PT Sari Husada yang mengemas susu balita SGM ke dalam sachet yang
dikomunikasikan dengan tagline: SGM 3 sachet memang praktis! Anak-anak juga
bisa (menyeduhnya)! Wah, sedemikian besarkah pasar kemasan sachet sampai-sampai
pasar balita pun digarap?
Namun, ada kuartal II pertumbuhan ekonomi Indonesia justru
makin turun. Anggaran belanja pemerintah juga belum diserap – apalagi digunakan
– oleh departemen teknis. Jadi ? Bila kondisi seperti ini berlanjut, bisa ditebak
kemasan sachet bakal marak kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar