Di dunia kerja, rumor dan gosip merupakan bagian dari
kehidupan yang selalu menyertainya. Rumor dan gossip ada yang menghibur,
menginformasikan dan seringkali membuat orang menjadi terhubung. Akan tetapi,
gosip dan rumor juga dapat merusak reputasi, menghancurkan kepercayaan,
menciptakan sikap buruk dan bahkan mengurangi produktivitas.
Artinya, rumor jahat dan fitnah bisa mempengaruhi kinerja organisasi,
minimal orang-orang yang objek dalam rumor tersebut, bila mendengar semangat
kerjanya terganggu. Menurut sebuah artikel yang diterbitkan di majalah Fortune,
rumor sudah menjadi menu sehari-hari di industri di Amerika. Hampir setahun, ribuan
rumor dan firnah beredar (Rowan, 1979).
Survei yang dilakukan Mitroff, Pauchant dan Shrivastava
(1988) terhadap 114 perusahaan Fortune 1000 menemukan bahwa fenomena rumor adalah salah
satu jenis krisis yang paling berkorelasi dengan fenomena lainnya. Artinya,
rumor seringkali hadir memicu atau dipicu oleh sejumlah peristiwa, seperti
kerusakan komputer, pelecehan seksual, gangguan, kesalahan operator atau
kecelakaan lingkungan.
Peneliti-peneliti tersebut selanjutnya menemukan bahwa, selama tiga tahun saat penelitian dilakukan, setiap perusahaan mengalami dan menanggapi
dua kasus utama rumor berbahaya. Hasil ini didukung oleh sejumlah contoh krisis
yang muncul karena rumor. Misalnya, pada tahun 1981, perusahaan multinasional Amerika,
Procter and Gamble (P&G), digoyang rumor bahwa perusahaan itu secara finansial didukung oleh sebuah
sekte setan. Akibat rumor itu, P&G menghabiskan jutaan dolar untuk melawan
propaganda berbahaya ini yang mengakibatkan penurunan penjualan di wilayah
barat Amerika Serikat.
Secara umum rumor dipahami sebagai pernyataan yang belum
diverifikasi mengenai isu-isu penting terkait suatu masalah (DiFonzo &
Bordia, 2002a, 2002b; Rosnow & Kimmel, 2000). Mereka dapat dibedakan dari
berita karena rumor tidak berdasar suatu fakta, sedangkan berita berdasarkan
fakta yang telah diverifikasi. Rumor juga berbeda dari genre lain dari
komunikasi informal, seperti gosip, yang cenderung membicarakan tentang
orang-orang dan biasanya terkait dengan masalah sosial dan politik (Kurland
& Pelled, 2000; Noon & Delbridge, 1993; Rosnow, 2001).
Yang menarik, seperti dikatakan Bovee dan Thill (1999), 75-95
informasi yang mengalir di jalur ini biasanya akurat. Disini tantangannya
adalah menentukan apakah gosip dan rumor itu berbahaya atau tidak. Beberapa ahli
mengatakan bahwa apakah rumor dan gosi itu berbahaya membedakannya adalah dengan
melihat maksud di balik pernyataannya, bagaimana informasi tersebut dirasakan
dan diperlakukan, dan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menyebarluas.
Persoalan kedua adalah berkaitan dengan isi gossip yang bisa
menimbulkan efek psikologi. Gosip dan rumor sering menimbulkan perasaan ketidakadilan
dan ketidakseimbangan kekuasaan, atau emosi seperti cemburu, dendam, kebosanan
dan bahkan kebencian. Ketika seseorang tidak bisa menghadapi masalah misalnya,
orang langsung chatting dengan rekan-rekannya sebagai bentuk pelampiasan rasa frustrasi.
Apakah rumor dan gossip hanya rumor dan gosip? Orang mungkin
menduga bahwa rumor yang menyebar selama gejolak segera menghilang tanpa
meninggalkan jejak begitu individu mengabaikan, mengingkari, atau setidaknya
ada anggaan bahwa informasi tersebut tak tidak dapat diandalkan. Kembali ke hasil
penelitian Mitroff, Pauchant dan Shrivastava (1988) bahwa rumor tidak pernah
berdiri sendiri, ada yang menyebabkan dan bahkan bisa menyebabkan terjadinya
sesuatu.
Dalam kasus misalnya tentang perubahan pimpinan di perusahaan atau pejabat pemerintahan, pemicunya adalah kinerja perusahaan yang melemah. Target pertumbuhan keuntungan atau bahkan keuntungannya tercapai. Artinya, kalau sang pejabat atau pimpinan bisa mengatasi persoalan ini dan hasilnya bagus sesuai dengan yang diharapkan rumor meredup. Pengecualiannya, bila peniup rumor memiliki agenda sendiri misalnya, ingin memasukkan orang-orangnya ke struktur pimpinan perusahaan atau pemerintahan. Bila demikian, mereka akan mencari tema baru lagi untuk mencitakan rumor baru lagi.
Beberapa peristiwa menunjukkan bahwa rumor menjadi senjata efektif
dalam memobilisasi warga untuk melakukan tindakan. Kabar tentang keluarga
Mubarak yang terbukti salah misalnya, beberapa saat kemudian dimanfaatkan oleh oposisi
menjadikannya sebagai bahan kampanye yang menandai fase baru mereka (World-Tribune.com
2011).
Contoh lain yang terkenal adalah Revolusi Velvet di
Cekoslowakia, yang digambarkan sebagai "revolusi yang berakar ada desas-desus"
(Bilefsky 2009). Pada awal revolusi pada tahun 1989, rumor yang menonjol adalah
tentang seorang mahasiswa berusia 19
tahun yang secara brutal dibunuh oleh polisi. Ini memicu banyak warga untuk turun ke jalan.
Revolusi mendapatkan momentum tepat setelah itu. Sejarah Cina juga menawarkan
anekdot di mana rumor berhasil memobilisasi partisipasi massa dalam Revolusi
Republik, dan Gerakan 4 Mei. Demikian pula, kerusuhan sering dipicu oleh rumor
juga.
Gosip dan rumor bisa meninggikan tensi kegelisahan manakala
masyarakat berada dalam situasi perubahan
dan ketidakpastian, seperti ketika perusahaan akan melakukan restrukturisasi, perubahan
kepemimpinan atau melakukan merger atau akuisisi. Situasi itu terutama ada pada
pimpinan yang khawatir tentang pengaruh dari perubahan tersebut. Siapa yang akan
dipromosikan atau diturunkan, yang tugasnya akan hilang atau berubah, dan yang apakah
mereka masih akan dipekerjakan atau dibayar meruakan tema-tema yang muncul
dalam gossip dan rumor.
Penelitian menunjukkan bahwa rumor adalah sesuatu yang umum
terjadi di kebanyakan organisasi (DiFonzo, Bordia, & Rosnow, 1994;
Michelson & Mouly, 2002). Sebuah survei yang dilakukan terhadap para
profesional public relations dan komunikasi perusahaan mengungkapkan bahwa
hampir setiap minggu para manajer selalu dihadapkan pada masalah rumor negatif
atau yang merusak atau yang berpotensi merusak (DiFonzo & Bordia, 2000).
Orang bisa mengatakan itu dalam gurauan saat berkumpul atau
jalan bersama. Biasanya embicaraan tidak langsung ke toik yang menjadi gosip. Pembicaraan
biasanya dimulai dari masalah tempat tinggal, makanan, dan terus meningkat ke
masalah yang agak serius seperti masalah pergantian menteri dan sebagainya yang
kemudian ditarik ke persoalan kantor atau sebaliknya. Namun, biasanya 80 persen
gossip dan rumor temanya adalah bisnis.
Dengan tidak adanya informasi yang memadai dari manajemen,
orang secara alami membuat narasi untuk mengisi kekosongan. Ketika para
eksekutif sedang mempertimbangkan untuk membuat keputusan, orang-orang mulai
makin cemas dan menjadi rumor yang mengisi kekosongan dan membuat rasa
ketidakpastian.
Dalam kehidupan organisasi, rumor atau selentingan ini telah
menjadi sumber utama informasi bagi karyawan terutama menyangkut isu seputar
perusahaan mereka (Foehrenbach & Rosenberg, 1983; Garnett, 1992; Harcourt,
Richerson, & Wattier, 1991). Isi rumor bisa mengenai berbagai fenomena
(seperti bencana alam, insiden yang diklaim kejahatan atau kekerasan, masalah
keuangan seperti harga saham, atau hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan
seperti PHK) dan biasanya bagi orang-orang tertentu isu-isu tersebut sangat
penting seperti mengenai keselamatan pribadi atau mata pencaharian.
Ketika perusahaan atau organisasi melakukan perubahan, rumor
bisa semakin berkembang (DiFonzo et al, 1994;. Hellweg, 1987; Isabella, 1990).
Saat suatu perusahaan melakukan perubahan, rumor-rumor ini sering bertebaran
mendahului pengumuman resmi yang dikeluarkan oleh manajemen. Bahkan seringkali
isinya ditambahi dengan perkiraan atau spekulasi mengenai sifat dan dampak
perubahan, misalnya perusahaan X dan Y akan bergabung.
Pembicaraannya bukan sekadar tentang penggabungan itu sendiri melainkan ditambahi dengan perkiraan kemungkinan yang bakal terjadi atau dugaan konsekuensi bagi karyawan misalnya sejumlah besar karyawan akan diberhentikan dan sebagainya (DiFonzo et al, 1994;. Esposito & Rosnow, 1983).
Pembicaraannya bukan sekadar tentang penggabungan itu sendiri melainkan ditambahi dengan perkiraan kemungkinan yang bakal terjadi atau dugaan konsekuensi bagi karyawan misalnya sejumlah besar karyawan akan diberhentikan dan sebagainya (DiFonzo et al, 1994;. Esposito & Rosnow, 1983).
Penelitian yang dilakukan Isabella (1990) mendapati bahwa
pada tahap awal perubahan dalam suatu organisasi, rumor biasanya berisi tentang
perkiraan tentang kemungkinan arah perubahan. Rumor ini menyebar dengan cepat
melalui jaringan informal organisasi (Larkin & Larkin, 1996). Rumor yang
dipublikasikan media atau pers bisnis biasanya seputar merger, pemutusan hubungan kerja (PHK), dan
janji-janji atau pengunduran diri CEO (Cringely, 2001; Lingblom, 2001).
Terlepas dari pentingnya rumor dalam pembentukan opini para
staf dan pengelola perubahan (Larkin & Larkin, 1994; Smeltzer, 1991),
sangat sedikit penelitian tentang rumor selama perubahan organisasi. Beberapa
studi tentang kaitan antara menyebarnya rumor dan komunikasi perubahan sudah
dilakukan. Setelah mewawancarai karyawan
43 organisasi yang mengalami perubahan, Smeltzer (1991) menyimpulkan
bahwa upaya perubahan tidak efektif dengan adanya rumor.
Dalam sebuah studi yang meneliti reaksi pribadi enam manajer
selama tahap pra-merger dan akuisisi perusahaan, Burlew et al. (1994) menemukan
bahwa rumor aktif dan memiliki konsekuensi negatif, termasuk erosi kepercayaan,
makin rendahnya semangat kerja karyawan, emosi negatif, dan penurunan dedikasi
karyawan terhadap perusahaan. Studi yang dilakukan Smeltzer dan Zener (1992)
terhadap karyawan delapan perusahaan organisasi yang menghadapi PHK besar menemukan bahwa rumor
telah beredar mendahului pengumuman resmi PHK.
Kondisi tersebut semakin menjadi masalah bila perusahaan
tidak memiliki pendekatan sistematis untuk mengkomunikasikan PHK yang akan
dilakukan. Dari fenomena tersebut, para peneliti berkesimpulan bahwa rumor
memiliki dampak yang besar pada iklim dan budaya perusahaan. Mengingat
pentingnya peranan rumor dalam perubahaan,
perusahaan harus menyediakan waktu untuk memonitor rumor atau
selentingan, dan selama proses PHK
sistem kontrol rumor informal menjadi semakin penting.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa rumor menyebabkan
munculnya sikap ketidakpastian (misalnya, Allport & Postman 1947; Prasad
1935; Rosnow, Esposito, & Gibney, 1988). Ketidakpastian disini
didefinisikan sebagai keadaan psikologis keraguan tentang sesuatu yang bakal
dihadapinya (DiFonzo et al, 1994). Peneliti tentang rumor, Keith Davis (1972,
1975), menyatakan bahwa penyebab utama munculnya rumor adalah kurangnya
informasi tentang hal-hal penting untuk karyawan. Esposito (1987) menemukan
hubungan langsung antara pola pemogokan sistem angkutan terkait dengan tingkat ketidakpastian yang muncul karena
adanya rumor.
Teori pengurangan ketidakpastian (Berger, 1987) memberikan
wawasan tentang keterkaitan antara
rumor, ketidakpastian, dan komunikasi yang buruk. Transformasi
organisasi sering menandakan kejadian di masa depan yang tidak dapat diprediksi
dan atau disertai dengan kejadian ini yang kurang dijelaskan. Pada kondisi
seperti itu, karyawan mengalami ketidakamanan, ketidakpastian, dan hilangnya
rasa kontrol diri (Blake & Mouton, 1983; Hunsaker & Coombs, 1988; Mirvis,
1985). Kegiatan komunikasi seperti interaksi antarpribadi sering berguna untuk
mengurangi ketidakpastian tersebut, terutama dalam upaya untuk mendapatkan
kembali kontrol atas situasi ke depan dan jelas (Berger & Bradac, 1982;
Heider, 1958).
Namun demikian, rumor bisa dimanfaatkan sebagai sarana untuk
memberikan informasi tentang arti dari suatu peristiwa sehingga bisa memulihkan
kesiapan atau pemahaman kepada terlibat dengan
suatu rumor (DiFonzo &
Bordia, 1997; Shibutani, 1966). Karena bagaimanapun, ketika orang dihadapkan
pada peristiwa yag menjadi kepedulian mereka -- misalnya, tentang ada tidaknya
PHK - -- masih samar-samar perusahaan bisa membangun kesiapan dan memberikan pemahaman
mereka dengan mengisi kesenjangan informasi melalui rumor juga. Singkatnya, rumor adalah gejala
ketidakpastian yang sering menyertai perubahan organisasi dan bertahan atau
bahkan berkembang ketika strategi komunikasi dijalankan dengan buruk sehingga
gagal meredakan ketidakpastian secara memadai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar