Dalam lima tahun terakhir,
peerintah China menetapkan kebijakan transparansi. Masyarakat bisa mengakses
informasi terutama yang menyangkut administrasi dan fiscal pemerintah daerah.
Perrtanyaannya adalah apa yang mendorong pemerintah melakukan itu?
Februari
2009, untuk pertama kalinya Perdana Menteri Wen Jiabao melakukan chatting
online dengan netizens China. Dia menawarkan kesempatan yang – bagi warga
negara biasa -- belum pernah terjadi sebelumnya, yakni secara langsung bisa menyampaikan
permasalahan mereka kepada pucuk pimpinan negara tersebut.
Selama
percakapan online, Premier Wen mengatakan, "Saya percaya bahwa masyarakat
memiliki hak untuk mengetahui apa yang pemerintahnya pikirkan dan lakukan.
Masyarakat juga memiliki hak untuk mengkritik dan memberi komentar pada
kebijakan pemerintah." Selama 2010-2011, dia mengadakan chatting online
lebih dari dua kali menanggapi isu-isu dari konsumen tentang meningkatnya harga
perumahan, korupsi dan akses ke perawatan kesehatan serta pendidikan pedesaan.
Kejadian-kejadian
tersebut menunjukkan bagaimana Partai berupaya untuk beradaptasi dengan
perubahan kondisi yang diakibatkan oleh perkembangan teknologi informasi, dan
bagaimana pimpinan puncak sedang mencoba untuk menunjukkan sikap berubah terkait
hubungan antara warga negara dan negara.
Di China
hari-hari ini, informasi semakin kencang mengalir melalui jejaring sosial.
Hubungan yang lebih bersifat horizontal ketimbang vertikal melalui lapisan
birokrasi. Isu-isu sosial naik ke permukaan melalui chat room internet, pesan
teks ponsel, dan blogosphere. Komunikasi ini kadang-kadang diizinkan oleh
otoritas pusat - seperti ketika di antara mereka terlibat dalam kegiatan penyalahgunaan
kekuasaan di tingkat local - dan kadang-kadang kebablasan seperti ketika mereka
menyentuh pada isu-isu politik yang sensitif seperti Tibet atau Lapangan
Tiananmen.
Pada
saat yang sama, tidak hanya pemimpin Cina seperti Wen yang online berkomunikasi
dengan melibatkan warga, instansi pemerintah juga semakin menempatkan informasi
pada posisi yang lebih proaktif melalui website dan siaran pers, dan menunjuk
juru bicara untuk berkomunikasi antarmuka dengan publik. Yang paling dramatis, baru-baru
ini China melakukan lompatan pada tren global yang berkembang dengan menerapkan
peraturan yang bilamana dilihat dari kacamata Cina kontemporer, yakni
diberlakukannya undang-undang tentang kebebasan informasi.
Apa yang
mendorong sebuah negara yang sebelumnya dicap sebagai totaliter -- sebuah negara yang memiliki sejarah ribuan
tahun menganut system pemerintahan terpusat -- tiba-tiba bergerak ke bawah dengan
meningkatkan transparansi pemerintahannya? Jawaban singkatnya adalah karena keharusan.
Hal ini secara luas diakui baik di dalam dan luar negeri bahwa pemerintahan di
China selama itu terlalu banyak menyumbat saluran informasi, menutupi kerahasiaan
dan minimnya akuntabilitas.
Memang
secara terencana pemerintah China membuka diri. Namun, ketika ekonomi mereka
berkembang, masalah mulai muncul. Sebab pada kondisi seperti itu, kemampuan pemerintah
pusat untuk memantau perilaku pejabat pemerintah di level bawah menjadi tidak
sebanding. Di satu sisi kompleksitas masalah akibat pergerakan ekonomi makin
tinggi, di sisi lain ada desakan agar pemerintah membuka diri karena masyarakat
yang makin terinformasikan.
Sejak
beberapa tahun lalu, pemerintah mulai mendesentralisasikan kewenangan fiscal
dan administrasi. Namun, desentralisasi birokrasi berarti bahwa pemerintah
pusat tidak lagi sepenuhnya mengendalikan informasi. Dalam arti informasi yang
masuk dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat semakin minim terutama
menyangkut kebenaran tentang besaran dan biaya pada tingkatan pemerintah
lainnya.
Dalam
struktur partai-negara, desentralisasi administrasi dan tanggung jawab fiskal tanpa
bangunan mekanisme akuntabilitas
vertikal melahirkan kompromi antara kemampuan kementerian pusat dalam menegakkan
kebijakan nasional dengan upaya menjaga agar pemerintah daerah tetap
berrtanggungjawab. Ini karena di dalam wilayah yang sama sekalipun, instansi
Pemerintah tidak mudah untuk satu sama lain berbagi informasi. Instansi yang
lebih tinggi juga tidak mendapatkan kebenaran informssi secara lengkap dan tak
diplintir bawahan mereka.
Sementara
itu, di tingkat warga biasa – kepada siapa akses ke informasi pemerintah dan
partai – informasi yang mereka dapatkan memberikan langkah minimal yang memungkinkan
mereka mendapatkan hak-hak mereka dan memaksa pejabat mereka bertanggung jawab.
Memang, argumen Minxin Pei bahwa evolusi politik China menjadi terperangkap
sebagian besar karena tingkat asimetri informasi akibat tidak adanya mekanisme akuntabilitas yang berarti.
Fenomena
itulah yang membuat penulis buku ini, Ann Florini, Hairong Lai, dan Yeling Tan,
sampai pada kesimpulan bahwa pergeseran dari pemerintahan China yang semula
tertutup menjadi pemerintahan yang lebih transparan lebih didorong oleh
kekuatan yang luar biasa dan spesifik ketimbang sekadar pengakuan bahwa Cina
memiliki masalah kerahasiaan.
Buku ini
membahas perubahan wawasan tentang hubungan antara negara dan masyarakatnya,
seperti yang ditunjukkan oleh berbagai upaya reformasi di tingkat subnasional,
dan mengeksplorasi implikasinya bagi China dan dunia. Ann Florini, Hairong Lai,
dan Yeling Tan menyusun analisisnya dalam konteks perbandingan, menyelidiki
bagaimana memahami perubahan alat pemerintah China perubahan dan perbandingan
konsep-konsep dengan perkembangan dan perdebatan di tempat lain.
Melalui
buku ini, penulis mengajukan tesis bahwa China kini bergerak menuju ke bentuk
baru dari otoritarianisme. Ini ditandai dengan menyediakan saluran kepada
masyarakat untuk menyuarakan aspirasinya secara lebih besar dan akuntabilitas.
Di sisi lain, langkah itu dinilai yang bisa mengaburkan perbedaannya dengan demokrasi.
Sebab seperti diketahui saat ini para pemimpin China menghadapi kebutuhan untuk
menyeimbangkan hubungan negara-masyarakat dan menumbuhkan legitimasi yang lebih
besar dalam menanggapi munculnya kelas menengah baru, media baru, dan kesadaran
hak yang makin besar di kalangan masyarakat.
Meskipun
system satu partai dinilai tetap sakral, namun penulis mengidentifikasi
berbagai eksperiment di tingkat lokal yang telah melonggarkan control dari atas
ke bawah dan membuka saluran kepada masyarakat untuk memberikan masukan. Disini
juga termasuk sistem pengawasan elektronik guna mencegah korupsi terutama dalam
penerbitan persetujuan administratif bagi bisnis baru di Shenzhen, penggunaan
berbagai bentuk jajak pendapat dan pemilihan semi-kompetitif untuk membantu
memilih pejabat pemerintah dan partai di tingkat terendah, pemberdayaan
kelompok masyarakat tertentu yang memberikan pelayanan sosial, dan penerapan
peraturan untuk meningkatkan akses publik terhadap informasi pemerintah.
Pertanyaannya adalah apakah eksperimen ini dirancang hanya untuk menyamarkan
struktur kekuasaan yang sebenarnya atau tanda-tanda awal dari perubahan nyata?
Beberapa
fenomena lain menyertai argument tentang desakan kuat dari luar tersebut. Yang
pertama adalah perkembangan teknologi informasi. Menurut penulis buku ini,
terjadi pergeseran tersebut, salah satu penggerak utamanya adalah interaksi
positif antara kekuatan pasar dan teknologi informasi. Sebab begitu reformasi
ekonomi China dan integrasi global berlangsung semakin dalam, maka kebutuhan untuk bergeser dari sistem
informasi yang didasarkan pada penimbunan dan penyebaran vertikal yang sangat selektif
ke sistem yang didasarkan pada arus bebas, semakin ditentukan oleh permintaan
dan penawaran. Itu berlaku tidak hanya bagi perusahaan, tetapi juga pada pemerintah.
Pada
saat yang sama, kemajuan teknologi informasi membuat pergeseran ke sistem
informasi baru menjadi semakin mudah. Sebab seperti diketahui, pemerintah China
mulai mengadopsi teknologi komputasi dan internet pada 1980-an, dan mendirikan
Leading Group on National Informatization pada tahun 1999, serta Kantor Dewan Negara untuk
urusan Informasi untuk melaksanakan kebijakan yang ditetapkan oleh Grup
Leading. Akan tetapi, penulis buku ini mengingatkan bahwa kebijakan pemerintah
ini diambil karena meningkatnya penggunaan internet di kalangan masyarakat, dan
meningkatnya tuntutan akan ketersediaan informasi tentang pemerintah melalui Internet.
Faktor
lain adalah WTO. Bergabungnya China ke Organisasi Perdagangan Dunia pada Desember
2001 memuncukan konseuensi bahwa diterimanya persyaratan transparansi yang
lebih besar dalam perdagangan – terutama yang menyangkut aturan dan peraturan. Pemerintah China
berusaha keras memenuhi kewajibannya karena mekanisme review keanggotaan WTO didasarkan
pada hasil pantauan atas implementasi dari persyaratan itu yang dilakukan
secara teratur.
Sebagai
bagian dari perubahan hukum, peraturan, dan administrasi yang luas sebagai
konsekuensi bergabungnya China ke WTO, China tidak hanya setuju mempublikasikan
aturan-aturan yang berkaitan dengan masalah hukum perdagangan, tetapi juga
untuk memungkinkan komentar publik sebelum peraturan tersebut dilaksanakan, dan
mengadakan pelatihan secara luas serta penelitian pada pendekatan internasional
untuk transparansi. Hal ini berarti pemerintah China harus membuka saluran
informasinya secara aktif sehingga masyarakat China dan dunia internasioanl
bisa mengakses dan medapatkan informasi yang dibutuhkan.
Faktor
ketiga adalah pemberantasan korupsi. Desentralisasi fiskal dan administrasi di
China telah memunculkan masalah seputar pemantauan dan penegakan hukum. Karena itu, pemerintah
mencari jalan bagaimana caranya bisa tetap mengontrol birokrasi. Disini ada dua cara yang dilakukan.
Pertama, pemerintah pusat perlu akses ke informasi yang lebih baik dan lebih
tepat waktu tentang perilaku pemerintah daerah agar bisa mendisiplinkan mereka.
Kedua, dengan
lebih banyak mengungkapkan informasi yang dikuasai pemerintah, sehingga memungkinkan
segmen masyarakat lainnya untuk ikut memaksa pemerintah daerah melaksanakan
tanggung jawabnya dan mengurangi korupsi. Sidang Pleno Keempat Komite Sentral Partai
pada 2004 misalnya, menyerukan pemerintah untuk memperkuat kemampuan
pemerintahan dan menggambarkan isu pemberantasan korupsi sebagai "masalah
hidup atau mati bagi partai."
Hal
lainnya adalah mediasi antara negara dan masyarakat. Sejak ratusan tahun silam,
masyarakat China lekat dengan tradisi xingfang dimana masyarakat dimungkinkan
untuk menyampaikan keluhan secara langsungatas layanan dan perilaku pejabat
yang kurang layak. Tradisi itu makin diperkuat degan perkembangan teknoogi
informasi sehingga memaksa pemerintah China meningkat ketersediaan saluran bagi
masyarakat yang semakin terhubung dan kompleks guna menyuarakan keluhan mereka.
Kemajuan
dalam komunikasi modern dan transportasi, bersama dengan masalah-masalah sosial
yang diakibatkan oleh perubahan sosial-ekonomi mempercepat proses pergeseran ke
transparansi tadi. Ini berarti bahwa sistem yang ada selama itu menjadi kewalahan
dan pemerintah menghabiskan lebih banyak energi bila bermaksud menghalangi
orang untuk menyampaikan petisinya terkait dengan masalah yang mereka temui. Pemerintah
yang lebih terbuka akan menyediakan lebih banyak saluran untuk menyelesaikan
isu-isu sosial yang muncul dan dengan demikian memperkuat akuntabilitas negara-masyarakat
dan legitimasi negara.
Sederhana.
Tapi justru itu yang menjadi kelebihan dari buku Buku China Experients.
Analisis ini dalam buku ini mengacu pada
kasus-kasus yang spesifik untuk menunjukkan bagaimana pihak berwenang setempat
menanggapi tantangan yang ditimbulkan oleh transformasi yang cepat seperti yang
telah digariskan Beijing. Buku ini dengan demikian berbeda dari dari buku lain
yang berfokus pada pernyataan intelektual. Analisis buku ini tergolong unik,
rinci dan membumi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar