Dunia dan bentangan
bisnis saat ini memang masuk ke era perubahan dengan keceatan yang luar biasa.
Rentang periode keberhasilan perusahaan telah mengalami beberapa kali
pemendekan rentang waktunya. Selama tahun 1980, di Fortune 500 hampir secara
eksklusif diisi oleh perusahaan-perusahaan yang telah masuk dalam daftar itu
selama 35 tahun. Saat ini, perusahaan yang masuk di klub eksklusif ini
rata-rata 15 tahun. Sekarang, hampir 40
persen daftar itu diisi oleh perusahaan yang 20 tahun lalu hampir tidak pernah
terdengar.
Perubahan memang
membawa bisnis masuk ke bidang persaingan baru. Pasar berkembang lebih cepat
dan mengarah pada penciptaan lapangan baru kompetisi. Bentuk yang paling
berbahaya dari persaingan tidak lagi
berasal dari dalam pasar Anda sendiri. Sebaliknya, pesaing sering datang dari
arah yang Anda tidak menduganya. Lihat saja di pasar keuangan. Sampai dua tiga
tahun lalu, semua bank melakukan kurang lebih hal yang sama. Mereka masing-masing
memberikan penawaran kepada pelanggan yang sebanding. Kadang-kadang, ada bank
yang mungkin memperkenalkan inovasi atau reposisi kecil. Tapi kejutan nyata
hanya sedikit dan jauh dari nyata. Namun, kini berubah.
Perusahaan tradisional
sekarang menghadapi peasing baru yang muncul dari bisnis startups "sharing
economy." Perusahaan-perusahaan baru tersebut berplatform Web yang
menyatukan individu-individu yang selama itu tidak memanfaatkan asetnya secara optimal
dengan orang-orang yang ingin menyewa aset mereka dalam jangka pendek. Aset
ditargetkan oleh startups ini berkisar dari waktu luang untuk tugas-tugas
sehari-hari (TaskRabbit, Fiverr), waktu luang dan mobil untuk mengantar orang lain
di sekitarnya (Uber, Lyft), kamar tambahan (Airbnb, Alii, Roomba) dan alat-alat
dan barang-barang rumah tangga lainnya yang cuma kadang-kadang digunakan (Streetbank,
Snap-Barang / simplist).
Di beberaa kota di
Indonesia ada GOJEK, Uber-Taxi, GrabTaxi, GrabBike dan bisnis sharing economy
lainnya begitu populer. Kehadiran bisnis dengan aplikasi-aplikasi mobile
"sharing economy" tersebut menurut beberapa ahli semakin menggoyahkan
sekaligus mengubah model bisnis industri pelayanan tradisional. Meskipun di
awal kemunculannya, banyak orang yang skeptis pada keberhasilan perusahaan
bermodel bisnis semacam ini, namun saat ini sulit rasanya untuk tidak mengakui
keberadaan mereka.
Menurut perkiraan, saat
ini ada lebih dari 9.000 perusahaan menerapkan model bisnis sharing economy,
mulai dari perusahaan peminjaman uang bersifat peer-to-peer hingga pengiriman
barang. Nilai ekonomi yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan ini juga tidak
main-main, PwC memperkirakan bahwa mereka dapat memperoleh lebih dari US $ 335
milyar di tahun 2015.
Menurut Josh Goldman,
Global Leader for Shopping Measurement di Nielsen, “perusahaan-perusahaan ini
telah membangun nilai ekonomi baru serta mengacaukan para pemain industri.”
Sementara itu, Lisa Gansk, penulis buku The Mesh: Why the Future of Businesses
is Sharing juga sependapat. “Akan ada perubahan masif yang terjadi, dan saya
percaya bahwa semua industri akan atau telah terkena dampaknya”.
Ingin bukti? Di San
Fransisco, kehadiran Uber telah membuat perusahaan taksi mengalami penurunan
jumlah penumpang hingga 65 persen. Kehadiran Airbnb yang menawarkan alternatif
akomodasi bagi para pelancong pun telah membuat pendapatan industri hotel
menurun. Menurut temuan peneliti dari Universitas Boston, setiap 10 persen
kenaikan permintaan Airbnb di Texas menyebabkan penurunan pendapatan bulanan
hotel sebesar 0.35 persen.
Bahkan, saat ini
semakin banyak hotel yang terpaksa memangkas harga sewa per malamnya guna
menarik minat pelancong. “Orang-orang tertarik pada model peer-to-peer ini
karena faktor ekonomi, lingkungan, gaya hidup, serta alasan personal,” ungkap
James McClure, GM Airbnb untuk kawasan UK & Ireland. Sharing economy telah
membuat konsumen sadar akan pilihan-pilihan yang belum pernah terpikir
sebelumnya.
Lalu bagaimana
perusahaan tradisional menghadapi gelombang pesaing baru ini? Salah satu keberhasilan yang luar biasa dari
bisnis ini adalah kemampuan teknologi yang bisa memecah regulasi yang menjadi
hambatan masuk ke bisnis taksi misalnya. Kebanyakan kota, misalnya, membatasi
jumlah taksi yang bisa beroperasi. Akibatnya, harga seringkali – terutama dalam
persesi masyarakat - lebih tinggi daripada yang disebutkan atau permintaan
taksi yang tidak bisa dienuhi, terutama saat jamjam sibuk. Di New York
misalnya, kurangnya pasokan relatif terhadap permintaan memunculkan jual beli
izin taksi yang harganya bisa mencapai lebih dari $ 1 juta pada 2013. Tahun
ini, harga itu anjlok hingga sekitar 25 persen sebagai tanggapan atas adanya
jasa taxi-sharing.
Sementara konsumen
berbondong-bondong ke layanan baru, hotel dan taksi perusahaan tradisional
berbondong-bondong ke regulator dan politisi berharap untuk memblokir ini
competitors. Banyak regulator bersimpati kepada klaim mereka. Beberapa kota dan
negara bahkan telah melarang layanan ini. Namun, permintaan layanan ini telah
begitu kuat sehingga mereka kewalahan mengatasi banyak permusuhan ini (dengan
pengecualian, tentu saja, seperti Perancis dan Las Vegas).
Kesuksesan
perusahaan-perusahaan ini diwarnai pula oleh kontroversi. Lihat saja, berapa
banyak protes dan boikot terhadap keberadaan Uber yang dilancarkan oleh
beberapa negara, atau perdebatan mengenai Airbnb dan operator hotel ilegal
lainnya yang disinyalir membuat krisis rumah murah di beberapa negara. Di
beberapa kota di Indonesia, GOJEK mendapatkan tentang dari lingkungan.
Banyak negara yang
berencana untuk memperkuat regulasi serta meningkatkan pajak untuk mengerem
pertumbuhan perusahaan bermodal bisnis sharing economy. Namun rencana ini sama
saja mempersulit keberadaan sharing economy yang memang didesain untuk
memangkas harga serta menjauhkan konsumen dari pihak otoritas yang teralu ikut
campur. Namun terlepas dari apapun kebijakan yang ditetapkan, pemerintah perlu
menyadari bahwa perusahaan ini turut membantu menggerakkan roda perekonomian di
negara mereka.
Dalam kolom Salon, Mr.
Reich melihat tantangan dalam "mengalokasikan ... keuntungan dari pekerja
yang lebih sopan." Dia mengatakan dalam pekerja "on-demand"
sharing economy, dasar beroperasinya mirip dengan kondisi pekerja abad
kesembilan belas. Saat itu para pekerja tidak memiliki kekuatan dan hak-hak
hukum, menerima semua risiko, dan bekerja sepanjang jam untuk sesuatu yang
hampir dia tidak dapatkan.
"Sebagian besar pendapatan diambil perusahaan yang memiliki perangkat
lunak. Sisanya pergi ke pekerja on-demand," tulisnya.
Ketika perusahaan tradisional harus bersaing dengan mereka, pertanyaan pertama yang harus dicari
jawabannya adalah "Apa yang membuat
perusahaan seperti Airbnb dan Uber begitu populer dengan pelanggan?"
Berhenti mengeluh karena kemunculan pesaing baru akan menjadi langkah pertama
yang baik. Sebaliknya, industri tradisional memperkuat diri dan tidak merengek
meminta GO-JEK dan sebagainya menghentikan kegiatannya.
Seperti dimaklumi, dalam konteks komunikasi pemasaran, setiap produk atau merek memiliki pasar sendiri. Sekarang, cermati hal-hal yang membuat perusahaan seperti Airbnb dan Uber begitu populer di kalangan pelanggan. Kecepatan dan harga yang lebih murah. Strategi bersaing yang mungkin disarankan adalah dengan kolaborasi atau memadukan antara lain dengan berkolaborasi bisnis diantara bisnis tradisional. Itu yang antara lain dilakukan GrabTaxi. Kelemahannya GrabTaxi adalah word of mouth marketingnya nya yang kurang terkelola dengan baik. Demikian ula dengan GrabBikenya, promosinya masih jauh di bawah aktivitas GoJek.
Seperti dimaklumi, dalam konteks komunikasi pemasaran, setiap produk atau merek memiliki pasar sendiri. Sekarang, cermati hal-hal yang membuat perusahaan seperti Airbnb dan Uber begitu populer di kalangan pelanggan. Kecepatan dan harga yang lebih murah. Strategi bersaing yang mungkin disarankan adalah dengan kolaborasi atau memadukan antara lain dengan berkolaborasi bisnis diantara bisnis tradisional. Itu yang antara lain dilakukan GrabTaxi. Kelemahannya GrabTaxi adalah word of mouth marketingnya nya yang kurang terkelola dengan baik. Demikian ula dengan GrabBikenya, promosinya masih jauh di bawah aktivitas GoJek.
Tahun 2012 lalu, agency
periklanan di Minneapolis, Campbell Mithun, bermitra dengan Biro Riset
Carbonview melakukan penelitian untuk mengukur respon konsumen terhadap konsep
sharing economy. Hasil penelitian tersebut memberikan gambaran, benefit utama yang dirasakan penggunanya adalah personal
value. Dalam konteks ini, ketika menggunakan jasa bisnis sharing economy
pelanggan merasa di”orang”kan. Ini karena meski pemesanan dilakukan melalui
gadjet misalnya, namun jasa sesungguhnya yang mereka nikmati benar-benar
privat.
Persoalannya adalah
tidak ada jaminan bahwa layanan yang mereka terima bisa diandalkan. Artinya,
karena jasa tersebut sebenarnya diberikan oleh orang yang menyewakan rumah misalnya,
karena setiap orang bisa menyewakan rumah tak jaminan bahwa level kualitas
layanannya sama.
Manfaat yang paling –
urutan kedua -- dirasakan oleh pelanggan adalah lebih bersifat rasional. Tidak
mengherankan bila "lebih hemat" menduduki puncak daftar manfaat
rasional. Dengan kata lain, pelanggan ingin membayar lebih sedikit tetapi
mendapatkan lebih besar. Tetapi ketika disinggung soal manfaat emosional dari
penghematan itu, responden mengatakan
bahwa dengan berhemat mereka "kemurahan hati kepada diri sendiri
dan orang lain." Jadi dalam berbisnis model sharing economy, pemasar merek
juga harus memberikan nilai dengan makna pribadi, dan disini tergantung pada
konsumen.
Juni lalu, untuk
menghadapi persaingan dari bisnis sharing economy, semetara jaringan hotel lain
merayu generasi milenium dengan desain trendi, Hyatt Hotel Corp menginvestasikan
jutaan dolar untuk perusahaan yang bergerak dalam bisnis sewa rumah tinggal mewah,
Onefinestay. Jaringan hotel yang berbasis di London menawarkan penyewaan
properti jangka pendek di London, Los Angeles, Paris, dan London mulai harga
dari $ 140 sampai lebih dari $ 1.520 per malam.
Terdapat beberapa alternative
yang bisa digunakan hotel agar bisa
bersaing. Misalnya dengan memberikan layanan yang kualitasnya konsisten,
mengadakan event besar, dan membangun loyalitas pribadi. Dalam hal biaya, seperti
diketahui sharing economy memang menawarkan harga yang lebih murah. Karena itu bisnis
tradisional bisa bersaing dengan menawarkan pilihan beragam harga dengan kisaran
perbedaan yang layak.
Dalam kasus Uber,
diferensiasi tidak begitu mudah, meskipun bisa dilihat bahwa pengiriman
on-demand dapat dan akan dilaksanakan untuk layanan perjalanan konvensional.
Singkatnya, perusahaan konvensional dapat meniru aspek yang disebut sharing economy
yang didukung oleh keuntungan yang tidak sedikit dari sebuah organisasi dan
merek global.
Yang juga perlu dicatat,
pada dasarnya layanan taksi diatur dengan maksud untuk memberikan layanan
pengangkutan umum secara universal, seperti juga penginapan hotel. Dengan tidak
diaturnya layanan "peer-to-peer", layanan yang diskriminatif dan /
atau penyalahgunaan pelanggan - dan Uber telah menciptakan mode baru
diskriminasi dan pelecehan - pasti akan memunculkan ketidakpuasan pelanggan.
Sebuah model bisnis
berdasarkan "efek jaringan" bisa tumbuh cepat, tetapi juga dapat
mengecilkan dengan cepat. Implikasinya, karena membangun bisnis startus reatif
lebih mudah, yang bakal terjadi adalah jual beli bisnis ini. Karena itu, beberapa
orang menyarankanm, cara untuk mengatasi persaingan adalah dengan membeli perusahaan
startups pesaig tadi. Tidak ada alasan mengapa Airbnb tidak bisa dibeli oleh
sebuah jaringan hotel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar