Edhy Aruman - Wartawan Utama (2868-PWI/WU/DP/VI/2012...), pernah menjadi redaktur di majalah SWA. Aruman pernah meniti karier kewartawanan di harian Jawa Pos, Berita Buana, majalah Prospek, Harian Republika dan editor eksekutif di Liputan 6 SCTV, sebelum pindah ke SWA (http://www.detik.com/berita/199902/990212-1319.html). Lulus S3 Komunikasi IPB, Redaktur Senior Majalah MIX, dosen LSPR Jakarta, dosen PR FISIP UI (2015-2022), dan salah satu ketua BPP Perhumas periode 2011-2014.
Rabu, 05 Agustus 2015
Dalam Situasi Krisis, Menciptakan Kesan Bertanggung Jawab itu Penting
Pada Desember 2014, Sears Holdings Co. CEO Eddie Lampert mengumumkan rencana penutupan lebih dari 200 Kmart dan Sears di AS. Penutupan itu terpaksa dilakukan karena dalam waktu lalu lama toko-toko tadi tak lagi menguntungkan.
Lampert juga mengatakan bahwa bahwa keputusan itu diabil dengan berat hati mengingat dampak negatifnya yang mungkin bakal menimpa para tenaga kerja yang selama ini dinilai meningkatkan kinerja toko-toko tersebut selama bertahun-tahun.
Memasuki tahun 2015, Lampert berjanji berusaha keras meningkatkan kinerja Sears yang masih memiliki sekitar 1.700 toko Sears dan Kmart yang beroperasi dan mewakili sekitar 200 juta kaki persegi ruang. Saya bangga dengan pekerjaan rekan-rekan yang telah berkontribusi melayani anggota kami di seluruh toko dan percaya bahwa keputusan untuk menyimpan beberapa kinerja toko terburuk kami di masa lalu… Kami telah bereksperimen dengan format yang berbeda, berbagai tingkat investasi dan proses yang berbeda untuk menghasilkan hasil yang lebih baik. Perubahan dilakukan, baik dalam industri ritel dan di perusahaan kami, namun kami tidak bisa lagi mampu atau membenarkan mempertahankan toko-toko ini tetap beroperasi.”
Krisis memang bisa terjadi dan berkembang di tempat kerja dan mungkin juga bisa Anda kenali. Namun demikian, ada pula krisis yang mungkin benar-benar tak diharapkan dan tak diperkirakan. Terlepas dari seberapa baik suatu perusahaan menjalankan jadwal kerjanya sehari-hari, “Hukum Murphy” adalah sebuah kenyataan. Hukum ini menyatakan bahwa krisis akan terjadi ketika orang tidak mengharapkannya, terjadi pada saat kemungkinan terburuk dan ketika orang secara pasti melakukannya tanpa itu.
Meski tidak terduga, krisis atau bencana masih bisa diantisipasi dengan mempersiapkan diri dalam bentuk latihan-latihan atau simulasi bila terjadi krisis. Latihan yang membantu mengantisipasi hal-hal yang terburuk adalah kompilasi dari setiap jenis kemungkinan bencana yang bisa dibayangkan bakal terjadi. Dari pengamatan pribadi dan pengalaman program komunikasi krisis baru muncul pada saat krisis terjadi. Ini seperti yang terjadi pada sebuah perusahaan penerbangan lokal beberapa waktu lalu.
Kesimpulan saya adalah sederhana dan mudah! Setiap organisasi membutuhkan program komunikasi krisis. Program ini harus mampu memberikan kerangka dan prosedur untuk membantu organisasi untuk mengambil langkah yang mungkin dan tiba-tiba pada saat organisasi mengalami krisis.
Pada saat krisis mengelola kesan pada stakeholder bahwa pengelola perusahaan bertanggung jawab adalah penting. Tidak peduli apapun yang terjadi, tidaklah masuk akal bila pada saat krisis perusahaan sengaja membentuk kesan yang tidak menguntungkan bagi perusahaan, kecuali perusahaan tersebut diyakini bertanggung jawab atas tindakannya itu. Tindakan tidak bertanggung jawab bisa muncul dalam berbagai bentuk yang tersamar mulai dari misalnya, tidak mengambil tindakan perbaikan, memerintahkan, mendorong, memfasilitasi, atau mengizinkan krisis terjadi.
Selain itu, tindakan tidak bertanggung jawab juga bisa muncul manakala pengelola perusahaan mempunyai pikiran bahwa saat itu tidak terjadi apa-apa – atau jika apa yang terjadi tidak dianggap ofensif – dan beranggapan bahwa citra perusahaan tidak terancam. Yang penting, audiense yang berpengaruh dianggap menyetujui tindakan.
Pada kedua kondisi tersebut, persepsi lebih penting daripada kenyataan. Yang penting adalah bukan apakah bisnis sebenarnya bertanggung jawab atas tindakan ofensif, tapi apakah perusahaan tersebut dianggap bertanggung jawab oleh audiense yang relevan. Tentu saja, jika perusahaan tidak benar-benar harus disalahkan untuk tindakan ofensif, ini bisa menjadi komponen penting dari respon. Selama audiense berpikir perusahaan bersalah, citra berada di ujung tanduk.
Pada sistuasi krisis, perencanaan dan keterusterangan adalah kunci untuk bertahan. Ini berarti perusahaan memiliki rencana untuk mempersiapkan diri ketika Anda tiba-tiba harus mengkomunikasikan fakta dan menjawab pertanyaan-pertanyaan di tengah-tengah mimpi buruk yang berlangsung. Disini keterusterangan adalah kinerja Anda dalam melakukan pekerjaan ini.
Pogram komunikasi krisis merupakan bagian dari rencana penanggulangan bencana yang dihadapi perusahaan dan kelangsungan bisnis. Ini berarti, para pengambil keputusan paling senior dalam organisasi harus menunjukkan komitmen yang kuat terhadap seluruh proses. Tanpa komitmen tidak mungkin rencana komunikasi krisis akan berhasil.
Komunikasi yang berlangsung pada jam-jam pertama – atau bahkan menit – situasi darurat dapat berimplikasi dramatis pada citra perusahaan (Dawar dan Pillutla, 2000). Sebuah studi yang dilakukan terhadap 2.645 konsumen oleh agensi periklanan DDB Needham menunjukkan bahwa penanganan krisis perusahaan menempati peringkat ketiga terpenting dalam mempengaruhi keputusan pembelian oleh konsumen, kemudian diikuti masalah kualitas produk dan penanganan keluhan (Marketing News, 1995).
Para ahli manajemen krisis sepakat bahwa manajamen krisis bukan suatu masalah ketika sebuah perusahaan menghadapi krisis. Yang jadi persoalan adalah kapan dan bagaimana eksekutif menyiapkan segaa sesuatunya dengan baik bila terjadi badai tersebut (Albrecht, 1996). Memang, tidak ada perusahaan yang kebal terhadap krisis, terutama yang disebabkan oleh produk cacat, pemerasan oleh konsumen yang tidak bermoral, tindakan tidak jujur oleh karyawan atau manajer, kematian mendadak seorang eksekutif senior, tindakan teroris atau bencana alam.
Namun, dalam salah satu situasi tersebut, menunjukkan kepedulian yang nyata dan empati serta empati dengan tindakan yang konsisten dapat menyelamatkan perusahaan dari berbagai kesulitan. Bahkan jika manajemen merasakan krisis sebagai “tidak berdasar” atau “tidak adil” karena di bawah-the-belt serangan atau karena mereka meremehkan masalah yang dihadapi, bertahun-tahun upaya untuk k membangun brand yang kuat dan reputasi bisa hancur dalam waktu singkat Cuma gara-gara mengatakan “no comment”.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar