Dua belas bulan lalu,
bisnis berputar relatif cepat dan media dibanjiri dengan cerita cerita tentang
booming ekonomi. Hari ini, situasinya berubah dan bisnis kembali ke strategi
penurunan timehonored: penghematan.
Meskipun di permukaan
tampaknya tidak logis, ada argumen yang luar biasa dibuat untuk meluncurkan
produk baru sekarang. Bahkan, risiko yang terkait dengan perkenalan produk baru
benar-benar turun selama penurunan bisnis. Berikut ini alasannya:
* Lebih banyak menghasilkan
buzz. Pada saat Anda meluncurkan produk baru, ada kemungkinan produk baru Anda akan
sedikit lebih kompetitif. Kenapa? Biasanya, ketika ekonomi lesu, produsen lain
enggan atau ragu meluncurkan produk baru. Di sisi lain, dalam suasana seperti
itu, ketika Anda meluncurkan produk baru, Anda berpeluang mendapatkan lebih
banyak perhatian dari vendor, saluran, pelanggan, calon karyawan dan pemimpin
opini.
* Peningkatan margin.
Saat ekonomi lesu, ketika tak banyak produsen meluncurkan produk, Anda relative lebih leluasa karena relative tidak
memiliki terlalu banyak pesaing. Ini memberi peluang bagi perusahaand untuk
mendapatkan margin yang lebih besar dan bisa menutup biaya tambahan dari produk
baru itu.
* Pelanggan memiliki pilihan
baru. Selama penurunan, pembeli menjadi lebih selektif. Mereka mencari pilihan
baru, terutama orang-orang yang membuat operasi mereka lebih produktif.
* Ini akan melibatkan (engage)
pemasok Anda. Saat ekonomi lesu, pemasok juga berurusan dengan masalah pemotongan
anggaran. Sebuah produk baru yang menjanjikan akan mendapatkan bagian dukungan yang
lebih besar dari vendor Anda. Dan vendor lebih cenderung untuk berpartisiasi
melalui aliansi dalam engembangan produk
baru Anda, mungkin sebagai co-developer.
* Memberikan energi bagi
saluran distribusi Anda. Selama ekonomi lesu, mitra distribusi Anda juga
menghadapi margin yang makin rendah. Sebuah produk baru merepresentasikan baik potensi
peningkatan volume dan margin yang lebih baik.
* Jika Anda dapat
muncul dari penurunan ini dengan lini produk yang lebih luas, lebih banyak
kekuatan saluran, menambahkan pangsa pasar, maka Anda sudah berjalan ke arah
pemulihan.
Jika semua ini masih
kelihatan terlalu bagus untuk menjadi kenyataan, pertimbangkan ini. Berikut perusahaan-perusahaan
yang justru mengambil keuntungan selama kemerosotan ekonomi melalui peluncuran produk
baru (lihat juga di Mix):
Kraft Foods Luncurkan Miracle Whip
Menurut artikel yang
ditulis oleh Melanie Warner (2009), krisis bursa saham yang selanjutnya diikuti
oleh peristiwa “Great Depression” yang dialami oleh Amerika Serikat pada 2009
lalu membuat banyak brand penjualannya menurun secara signifikan. Hal tersebut
dirasakan juga oleh para pemain di kategori produk mayonnaise. Sempat mendapat
desakan dari para petingginya agar Kraft Foods keluar dari pasar mayonnaise,
sang founder sekaligus CEO JL Kraft justru memutuskan membuka ceruk pasar baru
dengan meluncurkan brand “Miracle Whip,” yaitu produk perpaduan antara
mayonnaise dengan salad dressing yang murah, sehingga dapat menjembatani demand
dari dua jenis pasar, yakni pasar mayonnaise dan salad dressing.
Walaupun kondisi pasar
sedang lesu, Kraft tidak ragu melaksanakan kampanye iklan yang menelan biaya
hingga US$ 1 juta. Pada kampanye tersebut, Kraft menyediakan berbagai resep
masakan mudah dan murah bagi para konsumen Miracle Whip. Hanya dalam waktu enam
bulan sejak diperkenalkan, angka penjualan Miracle Whip mengalahkan semua brand
salad dressing dan mayonnaise di negara tersebut.
Apple Malah Luncurkan iPod dan MacBook
Pada 2001 Amerika
Serikat mengalami resesi ekonomi. Kondisi tersebut diperparah dengan adanya
peristiwa serangan 9/11 yang pada akhirnya membuat Amerika Serikat mencetak rekor
utang terbesar sepanjang sejarah negaranya. Di tengah kondisi ekonomi yang
tidak kondusif tersebut, Apple justru meluncurkan produk iPod-nya.
Berselang beberapa
tahun sejak peristiwa serangan 9/11, kondisi ekonomi di Amerika Serikat masih
tidak menentu. Indeks Dow Jones menurun sebesar 22% dibandingkan sebelum
serangan tersebut. Berbeda dengan banyak perusahaan yang memilih strategi untuk
memangkas jumlah pegawai dan cost pasca-serangan tersebut, Apple justru memilih
untuk menciptakan dan memasarkan produk-produk barunya yang berkualitas
premium.“Kami percaya bahwa jika kami selalu menghadirkan produk-produk hebat
ke hadapan konsumen, mereka akan terus membuka dompet mereka. Kami akan
meluncurkan semakin banyak produk-produk baru,” ungkap Steve Jobs kepada
Business Week pada 2003 silam. Strategi ini tidak hanya membantu Apple bertahan
dalam menghadapi resesi ekonomi, namun juga mengantarkannya menjadi salah satu
brand raksasa dunia.
P&G Genjot Marketing Brand Deterjen
Berbeda dengan
perusahaan-perusahaan lainnya yang memangkas budget marketing ketika Great
Depression melanda Amerika Serikat pada dekade 1930-an, P&G justru
menggenjot marketing produk sabun cuci (deterjen) merek Oxydol yang merupakan
kebutuhan primer masyarakat. P&G mengevaluasi produk-produk yang
dimilikinya, mencari mana yang tetap harus dibeli konsumen walaupun kondisi
ekonomi rumah tangga mereka sedang kurang baik. Dari hasil evaluasi tersebut,
P&G menemukan sabun merupakan salah satu kebutuhan primer masyarakat
sehingga ketika depresi ekonomi menyerang, P&G berfokus pada brand
deterjennya.
Dengan tagline branding
“mencuci 25% hingga 40% lebih cepat” serta promosi bahwa produknya dapat
menghasilkan cucian yang 4 hingga 5 tingkat lebih putih dibanding sabun
lainnya, Oxydol mampu memperkuat posisinya di pasar Amerika Serikat kala itu.
Tidak hanya itu, P&G juga menggunakan strategi marketing melalui siaran
radio yang pada masa itu merupakan sumber hiburan yang paling banyak diakses
oleh ibu rumah tangga. Bahkan, pada 1933 Oxydol memiliki siaran opera sabun di
radionya sendiri, yang bertajuk “Oxydol’s Own Ma Perkins”. Siaran opera sabun
tersebut mengangkat cerita-cerita mengenai dillema yang dialami oleh para ibu
rumah tangga serta berbagai saran-saran bermanfaat bagi mereka. Konten sangat
relevan yang diangkat oleh Oxydol’s Own Ma Perkins ini membuat banyak sekali
ibu rumah tangga setia mengikuti siarannya. Inilah yang pada akhirnya membantu
P&G semakin memperkuat positioning Oxydol sebagai brand yang sangat sesuai
dengan kebutuhan para ibu rumah tangga. (dikutip dari situs www.landor.com)
Hyundai Luncurkan Program Jaminan Pengembalian Mobil
Pada 2008 Amerika
Serikat kembali mengalami resesi ekonomi. Pada saat itu, banyak konsumen yang
menahan untuk membeli barang-barang yang bukan kebutuhan primer. Tentu saja,
hal ini memukul telak industri mobil Amerika. Menurut artikel yang dilansir
oleh situs http://articles.latimes.com, pada masa resesi tersebut, penjualan
mobil menurun sebesar 25%.
Melihat bahwa banyak
konsumen enggan mengeluarkan uang untuk sebuah mobil baru, Hyundai lalu hadir
dengan program “Hyundai Assurance.” Program ini memberikan jaminan kepada
konsumen bahwa mereka dapat mengembalikan mobil yang mereka beli dalam waktu
satu tahun ke belakang jika mereka di-PHK, mengalami kecelakaan yang berakibat
kecacatan, kehilangan SIM karena alasan-alasan medis, kebangkrutan bagi para
wiraswasta, dan kematian yang disebabkan oleh kecelakaan. Program ini sengaja
dibuat oleh Hyundai untuk meyakinkan para konsumen agar mereka tidak perlu
khawatir membeli mobil walaupun resesi sedang berlangsung.
Strategi tersebut
sangat sukes. Menurut situs http://www.businesspundit.com, Pada Januari 2009,
tingkat penjualan Hyundai meningkat sebesar 14% dibandingkan tahun sebelumnya.
Market share Hyundai juga naik 0,7% berkat program tersebut.
Kellogg Justru Gandakan Budget Iklan
Pada akhir abad 19
Kellogg dan Post—dua perusahaan sereal, bersaing sengit memperebutkan posisi
market leader. Namun ketika Great Depression, kedua perusahaan tersebut memilih
strategi yang berbeda. Di tengah ketidakpastian arah demand konsumen pada masa
tersebut, Post memilih untuk menggunakan strategi bertahan, yakni memangkas
budget iklan dan pengeluaran lainnya, serta melakukan sedikit akuisisi, dan
cenderung mengesampingkan proses research and development.
Sebaliknya, Kellogg
justru memilih menggandakan budget iklannya dan beriklan secara agresif di
radio-radio. Tidak hanya itu, Kellogg juga meluncurkan produk sereal mereka
yang diberi merek Rice Krispies. Berkat strategi agresifnya, Kellogg mampu
meningkatkan penjualan mereka sebesar 30% walaupun depresi ekonomi masih
melanda Amerika.
Apa yang dialami oleh
Kellogg sejalan dengan temuan berbagai riset yang menyatakan bahwa
perusahaan-perusahaan yang tetap melakukan akuisisi, iklan, dan R&D selama
masa resesi memiliki performa lebih unggul secara signifikan dibanding
perusahaan-perusahaan yang melakukan strategi memangkas segala cost
(http://www.newyorker.com).
Tupperware Gunakan Sales PHK
Resesi ekonomi 2008
membuat banyak pekerja di Amerika Serikat terpaksa dirumahkan oleh kantornya.
Menurut artikel yang dilansir oleh www.newsweek.com, karyawan yang dirumahkan
tersebut banyak yang membanting stir menjadi sales multilevel marketing (MLM).
Dan salah satu perusahaan MLM yang mendapat berkah dari resesi yang
mengakibatkan pemutusan hubungan kerja karyawannya ini adalah Tupperware.
Pada 2007—sebelum
resesi melanda, jumlah sales representative Tupperware mencapai 1.851.450
orang, namun pada 2008 jumlah tersebut meningkat pesat menjadi 2.275.934 juta
orang. Peningkatan jumlah sales tersebut berbanding lurus dengan pertumbuhan
sales brand ini. Pada 2009, satu tahun sejak resesi ekonomi terjadi, penjualan
Tupperware meningkat 20%. Peningkatan penjualan tersebut juga didorong oleh
perubahan perilaku konsumen yang cenderung berhemat dalam segala hal, termasuk
dalam urusan makanan. Untuk mengimbangi tren tersebut, Tupperware meluncurkan
berbagai produk wadah yang dapat digunakan untuk menyimpan bahan-bahan makanan
maupun makanan sisa di kulkas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar