Edhy Aruman - Wartawan Utama (2868-PWI/WU/DP/VI/2012...), pernah menjadi redaktur di majalah SWA. Aruman pernah meniti karier kewartawanan di harian Jawa Pos, Berita Buana, majalah Prospek, Harian Republika dan editor eksekutif di Liputan 6 SCTV, sebelum pindah ke SWA (http://www.detik.com/berita/199902/990212-1319.html). Lulus S3 Komunikasi IPB, Redaktur Senior Majalah MIX, dosen LSPR Jakarta, dosen PR FISIP UI (2015-2022), dan salah satu ketua BPP Perhumas periode 2011-2014.
Rabu, 26 Agustus 2015
Jika Pasarnya Tak Ada, Maka Ciptakanlah Pasar
Ketika pendiri RedBull, Dietrich Mateschitz pertama kali terinspirasi oleh sesuatu yang manis, dan obat-obatan seperti obat kuat yang membantu merevitalisasi dia -- setelah perjalanan bisnis ke Thailand -- konsep minuman berenergi masih belum dikenal di kalangan Barat. Seperti kata Mateschitz, “Jika saya tidak membuat pasar, maka sampai sekarang RedBull tidak akan pernah ada.”
Ketika menyewa sebuah perusahaan riset pasar untuk menguji daya tarik produk RedBull, hasilnya sepintas seakan bencana bagi Mateschitz. Betapa tidak, menurut Mateschitz, temuan itu menggambarkan sesuatu yang mengerikan, “Orang-orang tidak percaya pada rasa, logo, nama merek RedBull. Sebelumnya saya tidak pernah mengalami bencana seperti itu.”
Apa artinya? Hasil riset itu seakan menunjukkan bahwa tak ada konsumen yang akan mengkonsumsi minuman berenergi itu. Dengan kata lain, sejatinya, pada saat penelitian pasar dilakukan, konsep minuman bereneri itu nggak ada.
Lalu apa yang dilakukan? Dia memilih untuk mengabaikan hasil-hasil penelitian dan memperkenalkan RedBull. Mateschitz yakin bila memang pasar tidak ada, kenapa tidak diciptakan? Bukankah oranng membutuhkan sesuatu yang mendorong semangat bekerja? Bukankah orang kini saling berebut bekerja sekeras mungkin?
Yang menarik adalah promosi yang dilakukan RedBull. Sejak awal, RedBull memang menghindari model pemasaran tradisional. Awalnya, Red Bull menghindari iklan televisi, dan tidak menggunakan iklan outdoor, cetak, atau apalagi iklan digital. Red Bull memilih masuk ke akar rumput dengan membangun pengalaman.
Red Bull membiarkan orang mencoba produk secara gratis melalui salah satu kegiatan manusia yang paling terkenal: tradisi menghormati kebaikan. Branding plannya adalah dengan membangun semangat, jiwa muda, dan mendorong mahasiswa untuk membuat acara mereka sendiri.
Red Bull kemudian akan memperluas taktik ini dengan membawa merek energik ke pengalaman yang lebih besar dengan mensponsori acara live yang mengandalkan fisik yang prima seperti olahraga menantang maut yang mesti kurang mainstream tapi sangat menggembirakan. Mensponsori atlet bintang rock up dan berasal dari generasi yang lebih baru yang menampilkan keberanian fisik dan kecakapan yang dikagumi laki-laki dan disukai kaum wanita.
Dilihat sepintas, kegiatan tersebut tampak seperti promosi penjualan sederhana dan pengambilan sampel produk gratis. Tetapi, kegiatan itu berbeda karena dalam keyakinan pemiliknya, RedBull adalah produk yang baik, dan kegiatan itu adalah tentang produk dan promosi. Itu semua adalah tentang acara sosial. Mateschitz menjelaskan, “Kami tidak membawa produk ke konsumen, kami membawa konsumen ke produk.” Tujuannya adalah untuk menciptakan acara terbaik, bukan minuman energi terbaik.
Singkatnya, mereka mem-brand-kan pengalaman yang paling menggembirakan dan kehidupan sosial remaja, menarik perhatian remaja yang memiliki energy tinggi dan menjadi target pasar utama dari minuman energi tinggi ini. Douglas Van Praet, penulis buku Unconscious Branding: How Neuroscience Can Empower (and Inspire) Marketing ini menyebut fenomena tersebut sebagai proses internalisasi nilai-nilai dari sebuah brand yang kemudian mempengaruhi perilaku melalui proses pembelajaran dari pengalaman tersebut. Dengan kata lain, penagalaman tersebut tersebut secara tidak disadari telah menghasilkan sebuah kecerdasan.
Menurut Van Praet, selama beberapa lama, pemasar sering mengajukan pertanyaan yang salah. Jika konsumen membuat keputusan secara sadar, mengapa kita masih meminta mereka secara langsung — melalui riset pemasaran tradisional – menjawab pertanyaan “mengapa mereka melakukan apa yang mereka lakukan?” Bukankah mereka sering tak bisa menjawab pertanyaan tersebut karena mereka sendiri tidak benar-benar mengetahuinya.
Karena itu, sebelum pemasar mengembangkan strategi, mereka harus mengakui bahwa konsumen memiliki strategi juga. . . strategi manusia, bukan strategi konsumen. Kita perlu melupakan pertanyaan mengapa, dan mulai bertanya tentang bagaimana, misalnya bagaimana perubahan perilaku bisa terjadi. Di sini, penulis Douglas Van Praet mengambil konsep yang paling brilian dan revolusioner dari ilmu kognitif dan berlaku mereka untuk bagaimana kita memasarkan, mengiklankan, dan mengkonsumsi di era digital modern.
Van Praet menyederhanakan objek paling kompleks di alam semesta yang dikenal-otak manusia-menjadi tujuh aksi kearah perubahan perilaku. Langkah-langkah ini diilustrasikan dengan menggunakan contoh-contoh nyata di dunia periklanan, pemasaran, media, dan bisnis, guna secara sadar mengungkap apa yang dilakukan pemasar dan praktisi iklan brilian yang secara intuitif mendekonstruksi kisah nyata di balik keberhasilan beberapa pemasaran dan bisnis terbesar dalam sejarah, seperti Nike dengan “Just Do It”.
Meskipun pemasar selalu berusaha mencari cara-cara halus dan berpengaruh guna mengarahkan pelanggan ke produk atau merek mereka, namun hanya dua dari sepuluh produk yang berhasil melewati fase peluncuran awal mereka, sisanya gagal. Untuk mengatasi kesenjangan ini, Van Praet membedahnya dari sudut pandang ilmu kognitif.
Dia lalu melakukan penelitian dan hasilnya menunjukkan bahwa manusia membuat sebagian besar keputusan mereka secara tidak sadar. Mereka tak dapat menjelaskan alasan mengapa mereka membeli atau tidak membeli produk tertentu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar