Ungkapan bahwa
publisitas apapun adalah bagus tidaklah selalu berlaku. Ini karena bagaimanapun krisis
public relations dapat menyebabkan kerugian bagi bisnis, termasuk
penurunan penjualan dan kerusakan pada merek Anda.
Setelah Marathon 2017
Boston beberapa waktu lalu, Adidas mengirim email ke peserta ucapan selamat
karena mereka sampai ke tempat finish dengan selamat. Sebagian orang mungkin
menilai tindakan tersebut merupakan sesuatu yang baik. Akan tetapi, bagi
sementara orang mungkin hal itu tidak baik apalagi bila orang mengingat
peristiwa terkait dengan event tersebut.
Itu yang terjadi pada
kasus Adidas. Orang masih tidak bisa melupakan peristiwa pemboman pada lomba
marathon yang serupa pada tahun 2013 yang menyebabkan tiga orang meninggal dan
ratusan orang lainnya mengalami luka-luka. Orang-orang lalu ramai membicarakan
ucapan selamat itu di media sosial dan menyebutnya sebagai tindakan yang minim
pertimbangan masa lalu.
Adidas dengan cepat
meminta maaf. Beberapa pengamat menilai yang dilakukan Adidas bagus. Adidas
menunjukkan bagaimana menangani krisis PR dengan benar dengan mengambil
tanggung jawab dan segera meminta maaf tanpa diembel-embeli dengan alasan
apapun. Namun demikian, kasus ini memperkuat gagasan bahwa suatu tindakan
memang tidak bisa dilepaskan dari konteks atau relasi antara satu tindakan
dengan situasi sosial yang menyertainya.
Untuk mendekatkan merek
atau perusahaan dengan pelanggannya, banyak organisasi dan perusahaan memulainya dengan mengajak dialog atau
diskusi, terutama melalui media sosial. Ini karena dalam situasi seperti
sekarang, bila dikelola dengan baik, dialog dengan pelanggannya dapat menghasilkan
engagement dan meningkatkan profit
perusahaan. Namun, bila kampanye tersebut dijalankan dengan tidak hati-hati
bisa jadi malah meningkatkan kemarahan massa di online.
Contoh kasus adalah
kampanye #RaceTogether yang dilakukan Starbucks beberapa tahun lalu. Kampanye
yang dimulai dengan niat yang baik dengan memulai diskusi tentang ras tesebut
justru menjadi boomerang. Ini seakan mengukuhkan argumen bahwa masalah rasial
tetap saja sensitive, dimanapun termasuk di Amerika Serikat sebagai negara yang
menjadi kiblat demokrasi.
Howard Schultz, CEO
Starbucks, mungkin saja bermaksud baik. Dia berpikir jaringan gourmet kopi yang
dikelolanya harusnya memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan hubungan persahabatan
dan saling menghargai antar ras di Amerika Serikat. Atas dasar alasan itu, setelah
serangkaian rapat internal di perusahaan, dia memutuskan melaksanakan kampanye
“RaceTogether” tersebut bekerjasama dengan koran USA Today. Tujuannya,
menggugah percakapan, kasih sayang dan tindakan di sekitar ras di Amerika,
sementara mereka menunggu kopi mereka.
Yang jadi persoalan dan
ini mungkin luput dari radar Starbucks, masalah kesenjangan rasial sering ditabukan
perusahaan Amerika. Berbeda dengan sikap perusahaan-perusahaan lainnya, Starbucks
justru melihat bukan masalah untuk didisksuikan. Selama beberapa bulan terakhir
sebelum kampanye tersebut, Starbucks mengadakan diskusi forum terbuka bagi
karyawan untuk berbicara tentang hal itu.
Schultz mengakui bahwa pada pertemuan tahunan perusahaan dan
pemegang saham beberapa hari sebelumnya, dia sempat mengatakan bahwa “pada saat
orang lain melihat ras sebagai suatu biaya, risiko, alasan dan keputus-asaan,
kita melihat dan menciptakan jalur kesempatan lain. Itulah soal peran dan
tanggung jawab perusahaan publik.”
Karena itulah, Starbucks
mendorongnya lebih jauh. Starbucks mendorong baristanya untuk memulai
percakapan dengan pelanggan. Schultz berharap dapat mempromosikan satu
tingkatan baru pemahaman dan sensitivitas tentang masalah ras. “Kami memiliki
masalah di negeri ini dalam memandang ras, adanya ketidaksetaraan ras dan percaya
kami dan negara ini bisa menjadi lebih baik,” kata Schultz.
Meskipun tampaknya
bermaksud baik, kampanye menimbulkan reaksi negatif. Kampanye disambut dengan
cemoohan dari para wartawan dan dengan vitriol pengguna media sosial. Seorang
barista Starbucks, yang diundang untuk menulis #Racetogether pada cangkir kopi,
menanggapi dengan tweet mengejek. “Menjadi barista sudah cukup sulit. Membicarakan
#RaceTogether dengan seorang wanita di Lululemon saat menuangkan bumbu labu,
itu kejam, ” tweeted Ijeoma Oluo.
Corey duBrowa, Senior
Vice President Komunikasi Global, secara pribadi diserang badai tweet bernada
marah. Dia sempat menghapus account Twitter-nya Senin malam, tapi bergabung
kembali kurang dari 24 jam kemudian. “Tadi malam saya merasa diserang secara
pribadi dalam nada negatif,” kata duBrowa dalam sebuah posting di Medium. “Saya
kewalahan karena volume dan jangka waktu diskusi yang mepet, dan aku bereaksi.”
Sementara itu, Schultz
melalui CNN dan tempat-tempat lain untuk berusaha mempertahankan inisiatif.
Meskipun dia mendapatkan berita yang baik untuk dilaporkan kepada para pemegang
saham, sebagian besar diskusi hari itu dikhususkan untuk mengendalikan
kerusakan akibat #RaceTogether.
Sejak itu, Starbucks
menghapus frasa dan stiker #RaceTogether yang ada di cangkir kopi, dan merilis
pernyataan kepada karyawan bahwa kampanye secara keseluruhan akan berlanjut
hanya sampai 22 Maret.
Schultz menulis:
Meskipun muncul kritik atas inisiatif kami – dan saya tahu ini tidak mudah buat salah satu dari Anda
– izinkan saya meyakinkan Anda bahwa kami tidak mengharapkan pujian universal.
Jantung RaceTogether selalu tentang kemanusiaan: janji American Dream harus
tersedia untuk setiap orang di negeri ini, bukan hanya beberapa orang terpilih.
Kami menghormati karena kami percaya bahwa dengan memulai dialog seperti ini
adalah yang paling penting.
Jadi apa yang salah?
Kampanye media sosial memang mudah dibajak oleh para pengkritiknya. Ketika
suara pencela mulai menenggelamkan kampanye yang aslinya baik, secara tiba-tiba
merek menghentikan pesannya, dan mulai defensif. Jika organisasi tidak memiliki
rencana untuk melawan pesan negatif, seluruh kampanye bisa hilang.
Analis Networked
Insights Christina Dorn yang mempelajari kampanye tersebut menemukan bagaimana
pola respon negatif tersebut. Pada 17 Maret atau beberapa haru setelah kampanye
dimulai, volume diskusi tentang Starbucks meningkat 266 persen. Namun, sepertiga
dari mention yang muncul bisa dikategorikan sebagai “hate” dan 60 persen
tanggapan negatif. Hanya tujuh persen dari pesan dalam diskusi konsumen itu
yang positif.
Pada 18 Maret,
percakapan meningkat 408 persen di antara pemasaryang tergabung dalam grup
Networked Insights dibandingkan dengan tren beberapa bulan sebelumnya. Namun
demikian, 62 persen dari postingan mereka pada umumnya bernada negatif atau
sangat kritis terhadap kampanye.
Persepsi penghinaan
warga Amerika untuk #RaceTogether tampaknya berakar pada sintimen bahwa
Starbucks telah mengambil alih masalah sosial yang serius untuk keuntungan
ekonomi sendiri. Perhatian yang tiba-tiba Starbucks pada isu-isu rasial
dianggap sebagai gimmick pemasaran. Memang, merek cenderung dihargai ketika mereka
menyelaraskannya dengan hal-hal yang bersifat kebaikan. Konsumen sering
berterima kasih atas kesempatan untuk merasakan diri benar tanpa harus
melakukan sesuatu yang lebih dari melakukan pembelian.
Tetapi untuk kampanye
yng ini, Starbuck butuh sesuatu yang otentik dan bukan hanya kesan sinis atau
melayani diri sendiri. Kampanye TOMS Shoes, yang menyumbangkan sepasang sepatu
untuk anak miskin untuk setiap pasangan yang dibeli konsumen, berhasil meskipun
mendapatkan kritik dari beberapa ekonom.
Kampanye Dove “Real
Beauty” juga demikian. Tapi itu masuk akal untuk sebuah merek body-wash populer
dengan basis pelanggan wanita yang secara signifikan mengatasi masalah citra
tubuh. Inisiatif Starbucks dari “percakapan ras” ini sebaliknya terasa kurang
organik dan otentik.
Sebagian dari sumbernya
adalah masalah kepraktisan: bagaimana orang seharusnya berbicara tentang ras
dalam interaksi 30 detik dengan orang asing sambil mengambil kopi untuk pergi?
Masalah lainnya adalah branding. Mengingat kepemimpinan perusahaan didominasi
kulit putih, sekitar 40% barista adalah ras minoritas, tetapi hanya tiga dari
19 eksekutif Starbucks adalah orang-orang kulit berwarna dan kaya, percakapan
itu terasa dipaksakan dan canggung.
Starbucks memiliki
catatan memperlakukan karyawan lebih baik daripada kebanyakan jaringan ritel
makanan cepat saji. Musim panas lalu perusahaan menjadi berita utama karena
tawarannya untuk menutup biaya kuliah stafnya yang bekerja setidaknya 20 jam
seminggu. Tapi pendapatan barista masih sesedikit sekitar $ 7,60 per jam.
Banyak juga yang mengeluhkan terbatasnya akses terhadap asuransi, jam kerja
tidak dapat diandalkan dan toko-toko yang kekurangan staf. Mungkin karena itu,
bisa dimengerti jika beberapa orang tampak sangat bersemangat untuk
membicarakan tentang rasisme.
Lalu pelajaran apa yang
bisa dipetik Starbucks? Memang sulit untuk menjaga pesan kampanye sosial,
terutama ketika berkaitan dengan tema-tema yang sensitive seperti ras. Saat
menjalankan kampanye sosial, bersiaplah menerima hasilnya yang mungkin baik atau
positif, tapi juga bisa juga negatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar