Pembuat kebijakan di
perkotaan atau nasional sering menganggap bahwa konsep sharing economy sekadar ride-sharing
dan berbagi rumah. Mereka tak menyadari bahwa berbagai macam barang dan jasa
bisa dibagi, yang rentangnya sangat luas mulai dari makanan dan bahan habis
pakai lainnya untuk waktu tertentu dan individu. Rentang bisnis itu juga bisa
menjadi peluang bagi pemerintah kota melibatkan aset alat-alat berat mereka yang
dalam kurun waktu tertentu sering tidak terpakai dalam sharing economy sehingga
daat mengurangi biaya pemeliharaan dan dan bahkan pengadaan alat-alat baru.
Sharing economy juga
biasa disebut sebagai konsumsi kolaboratif, ekonomi kolaboratif, atau ekonomi
peer-to-peer. Istilah ini mengacu pada model bisnis yang memungkinkan penyedia
dan konsumen untuk berbagi sumber daya dan jasa, dari perumahan ke kendaraan
dan banyak lagi. Transaksi model bisnis ini biasanya menggunakan platform
online dan atau aplikasi berbasis online. Perbedaan besar dalam jenis platform
sharing economy bisa jadi membingungkan. Ini karena banyaknya ragam dari binis
model sharing economy ini, mulai dari layanan berbagi murni tanpa uang
berpindah tangan ke layanan komersial dan segala sesuatu di antaranya.
Di Indonesia dalam beberapa waktu terakhir berkembang jasa layanan transportasi seperti Uber Taxi, Grabe Taxi, Go-Jek dan sebagainya. Bahkan di Amerika, sejak beberapa tahun
lalu misalnya, berkembang Lending Club yang menawarkan fasilitas kredit diantara
konsumen. Dengan kata lain, melalui Lending Club, konsumen A bisa meminjamkan
uangnya ke konsumem lainnya B misalnya, dengan Lending Club sebagai
fasilitatornya. Model pinjam meminjam uang ini tentu saja menghilangkan fungsi
utama dari bank-bank sebagai perantara.
Perkembangan terakhir
menunjukkan meski ada awalnya muncul kekhawatiran tentang perkembangan bisnis
sharing economy, namun belakangan banyak pejabat kota di Amerika Serikat yang menyambut
baik bisnis model baru ini meskipun ada gagasan untuk mengaturnya melalui peraturan
daerah. Tantangannya adalah bagaimana meneyimbangkan antara kebebasan kewirausahaan dengan
kebutuhan untuk menetapkan standar dasar kesehatan dan keselamatan.
Dalam press releasenya,
3 Juni lalu, setelah melakukan survey, Liga Kota Nasional Liga (National League
of Cities) mengakui bahwa bisnis sharing economy memberikan damak positif bagi
peningkatan efisiensi pelayanan dan informasi on-demand. Laporan, City Survey
on the Sharing Economy: Shifting Perceptions of Collaborative Consumption,
menemukan bahwa 71 persen dari kota yang disurvei mendukung pertumbuhan sharing
economy - terutama dengan layanan ride-sharing seperti Uber dan Lyft – meski banyak juga yang prihatin tentang damak
sharing economy pada keselamatan publik.
Secara keseluruhan,
kota ingin mendorong pembangunan ekonomi dan mengakomodasi layanan yang
diinginkan oleh konstituen mereka. "Pemerintah Kota akan mendorong agar
sharing economy berhasil,” kata Presiden National League of Cities, Ralph
Becker, walikota Salt Lake City. "Jelas bahwa pejabat kota memahami bahwa
masyarakat menuntut layanan yang inovatif yang disediakan oleh sharing
economy."
Lalu bagaimana sharing
economy akan mengubah fungsi kota ? Para pendukung mengatakan sharing economy dapat
menciptakan lapangan kerja, mengurangi gas rumah kaca, mengurangi kemacetan lalu
lintas dan memerlambat keausan pada jalan serta jembatan, memerangi kejahatan
dan mengurangi dampak dari bencana alam. Dalam dunia di mana
"kepemilikan" adalah konsep yang berubah dengan cepat, pemerintah
kota dapat belajar dengan cara warganya berbagi.
Harus diakui bahwa
begitu bisnis sharing economy berkembang, kota akan kehilangan sebagian
pendapatannya dari pajak jasa tradisional seperti hotel dan taksi. Beberapa
kota mulai meresponnya dengan mengatur dengan cara yang berbeda. Di Washington,
DC memberlakukan peraturan daerah tentang perusahaan jejaring transportasi (Transportation
Network Companies - TNC) termasuk ketentuan yang mengharuskan TNC untuk
membayar pajak setara satu persen dari seluruh pendapatan dari perjalanan yang
berasal dari kota; total tahunan diperkirakan mencapai jutaan.
Di Seattle, TNC harus
membayar biaya 10 sen untuk setiap perjalanan yang berasal di kota. Hal ini
diharapkan dapat menutupi biaya penegakan dan regulasi TNC (Perusahaan
Transportasi Jaringan (TNC) seperti Uber dan Lyft yang beroperasi dalam
batas-batasnya - lisensi, tetapi masih harus dilihat apakah ini akan menjadi
sumber pendapatan bagi kota. Kota-kota lain, seperti Dallas, memutuskan untuk
tidak menyentuh isu penggalian pendapatan karena percaya bahwa peningkatan aktivitas
ekonomi akan membantu meningkatkan belanja lokal.
Perubahan dramatis juga
menjadi inspirasi bagi para pejabat publik dan memberikan peluang baru bagi
mereka untuk melakukan transformasi pemerintahan. Terinspirasi oleh sharing economy,
muncul pemikiran untuk memanfaatkan aset dan sumber daya pemerintah kota yang selama
ini tidak termanfaatkan. Bagaimana kota bisa berbagi bangunan dan ruang mereka dengan
masyarakat? Apakah ada peluang baru untuk memaksimalkan penggunaan armada kota
dan kendaraan lainnya? Bagaimana kota bisa berbagi peralatan, personil dan
sumber daya lainnya di seluruh wilayah hukumnya?
Uber sendiri di Indonesia sedang menghadapi masalah dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta lantaran tidak membangun badan hukum, misalnya perseroan terbatas (PT), dan diklaim tidak membayar pajak di Indonesia.
International Launcher and Acting GM Uber Jakarta, Alan Jiang mengatakan, pihaknya selama ini selalu mendukung dan mendekati pemerintah di berbagai wilayah. Alan juga berkata Uber punya rencana membangun kantor di Jakarta dalam waktu dekat untuk memenuhi permintaan pemerintah setempat.
Uber memasuki pasar Indonesia pada Agustus 2014 dan memiliki kantor representatif di kawasan Pacific Place, SCBD, Jakarta. Di Tanah Air, Uber bekerjasama dengan perusahaan rental mobil yang telah memiliki izin usaha. Untuk pengemudi perorangan di Jakarta yang hendak bergabung di Uber, dapat mendaftarkan diri di Koperasi Trans Usaha Bersama untuk selanjutnya dievaluasi latar belakang, keinginan usaha, dan alamat, lalu diberikan akun pengemudi Uber.
Uber sendiri di Indonesia sedang menghadapi masalah dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta lantaran tidak membangun badan hukum, misalnya perseroan terbatas (PT), dan diklaim tidak membayar pajak di Indonesia.
International Launcher and Acting GM Uber Jakarta, Alan Jiang mengatakan, pihaknya selama ini selalu mendukung dan mendekati pemerintah di berbagai wilayah. Alan juga berkata Uber punya rencana membangun kantor di Jakarta dalam waktu dekat untuk memenuhi permintaan pemerintah setempat.
Uber memasuki pasar Indonesia pada Agustus 2014 dan memiliki kantor representatif di kawasan Pacific Place, SCBD, Jakarta. Di Tanah Air, Uber bekerjasama dengan perusahaan rental mobil yang telah memiliki izin usaha. Untuk pengemudi perorangan di Jakarta yang hendak bergabung di Uber, dapat mendaftarkan diri di Koperasi Trans Usaha Bersama untuk selanjutnya dievaluasi latar belakang, keinginan usaha, dan alamat, lalu diberikan akun pengemudi Uber.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar