Pada tahun 1939, psikolog Kurt Lewin dan tim risetnya mencoba mengkarakterisasikan berbagai gaya kepemimpinan melalui penelitian terhadap tiga kelompok anak. Setiap kelompok memiliki pemimpin yang dicirikan sebagai otokratis, demokratis, atau delegatif. Anak-anak diminta oleh pemimpinnya untuk menyelesaikan sebuah proyek seni dan kerajinan. Para peneliti mengamati perilaku anak-anak dalam menanggapi gaya kepemimpinan yang berbeda-beda.
Pada tahun 2009, psikolog organisasi Richard L. Daft dan
Andrew Pirola-Merlo melakukan teknik penelitian yang sama dengan studi Lewin
untuk menguji bahwa gaya kepemimpinan otokratis, demokratis dan delegatif masih
tetap relevan. Hasilnya, gaya kepemimpinan otokratis atau otoriter membuat
kesenjangan antara yang memberikan perintah dan yang diharapkan mengikuti perintah
tersebut.
Gaya otokrat cenderung membuat keputusan secara independen
namun cenderung menghasilkan penyalahgunaan kekuasaan dan membuat para
pengikutnya merasa dikecualikan. Lewin menemukan bahwa kreativitas menurun di
bawah kepemimpinan otokratis. Sementara itu, Daft dan Pirola-Merlo
mengidentifikasi gaya kepemimpinan otokratik membuat penguasaan menjadi terpusat.
Otoritas memiliki kontrol yang ketat terhadap situasi.
Dalam konteks organisasi, karyawan tidak dimintai masukan. Dalam
konteks politik, konstituen hanya
mengikuti tuntutan pemimpin. Apakah gaya ini buruk? Tidak selalu, karena
gaya ini dapat digunakan secara eksklusif oleh seorang pemimpin, atau dapat
digunakan ketika tersedia sedikit waktu untuk membuat keputusan atau
berkonsultasi dengan orang lain.
Lewin menemukan bahwa para pemimpin demokrasi umumnya lebih
efektif daripada otokrat. Pemimpin yang demokratis menawarkan bimbingan kepada
anggota tim mereka dan meminta masukan dari mereka untuk membuat keputusan.
Dalam studi Lewin, anak-anak dalam kelompok demokratis memiliki output yang
kurang dari kelompok otoriter. Akan tetapi pekerjaan mereka lebih berkualitas. Pirola-Merlo mencatat bahwa para pemimpin
demokratis mendorong anggota kelompok berpartisipasi, tetapi mempertahankan
hal-hal yang penting. Gaya ini menciptakan keseimbangan, membantu anggota tim
merasa dihargai dan sejalan lagi dengan pemerintah demokratis Barat.
Namun bagaimana realitas di lapangan? Terlepas dari kenyataan bayaknya negara-negara Amerika Latin telah pindah ke demokrasi, namun berapa bukti menunjukkan warga yang tinggal di daerah pinggiran terus hidup di bawah kekuasaan yang tidak demokratis. Ini mengukuhkan anggapan bahwa kemajuan berdemokrasi secara teritori tidak otomatis menghasilkan pemerataan demokrasi. Mekanisme demokrasi hanya terbatas pada tingkat nasional.
Banyak negara-negara demokrasi baru yang masih dalam
kategori -- yang oleh para ahli disebut sebagai "rezim penjajaran"
sebagai prevalensi rezim sub-nasional yang tidak demokratis yang hidup bersama
pemerintah nasional yang demokratis. Inti dari pandangan ini adalah politik
klientalis yang sudah mengakar khususnya di negara-negara bagian yang relative
miskin seperti di wilayah Timur Laut Brazil.
Presiden José Sarney (1985-1990) misalnya, memiliki sekutu militer sejak
dia menjabat Gubernur Maranhão. Penggantinya, Fernando Collor (1990-1992)
adalah keturunan klan politik dari negara bagian di Northeastern yang miskin,
Alagoas, sehingga mengukuhkan pemerintahan konservatif.
Bahkan dua presiden berturut-turut yang berniat melawan otoritarianisme, Fernando Henrique Cardoso
(1994-2002) dan Luiz Inacio Lula da Silva (2003-2010), tidak bisa menghapus
kesan masih kuatnya kubu konservatif. Beberapa pengamat Brazil percaya bahwa
demokratisasi negara bisa melonggarkan cengkeraman bos lokal yang
mempertahankan pengaruh mereka di negara-negara bagian seperti Bahia, Maranhão,
Ceara, dan Alagoas. Namun dalam pemilihan tahun 2006, tidak hanya memenangkan
lzula dalam pemilihan ulang, sejumlah politisi kiri menguasai kursi gubernur di
negara-negara miskin.
Dalam proses peralihan ke rejim demokratik, terdapat di beberapa
fenomena yang menarik. Salah satunya adalah hubungan saling menguntungkan dan bermotif
bukan sekadar ekonomi melainkan kepentingan. Pemerintah pusat mendukung otokrat
di negara-negara bagian dengan cara mengamankan sumber daya ekonomi yang mereka
butuhkan untuk mengkonsolidasikan rezim mereka, sebaiknya pemerintah negara
bagian memberikan dukungan politik dan ekonomi kepada pemerintah pusat,tak
peduli apapun partainya. Itu sebabnya, banyak ahli menyimpulkan bahwa demokrasi
di Brazil seakan terprogram untuk melanggengkan pemerintahan yang konservatif.
Demokrasi di Amerika Latin, nyata-nyata tidak melahirkan pemerintahan yang demokratis. Karena kekuatan ekonominya, negara bagian bisa “mengalahkan” kewenangan pemerintahn pusat. "Ini negara bagian saya," teriak José Murat (1998-2004), Gubernur Oaxacan dari Institutional Revolutionary Party (PRI) ke salah satu pejabat federal yang disandera di “negaranya." "Dan saya yang memutuskan siapa yang bertemu dengan siapa, dan apakah Anda mengadakan pertemuan di Oaxaca atau tidak."
Pada Agustus 2002, dua tahun setelah demokratisasi di
Meksiko berlangsung, sekelompok pejabat federal dari Kementerian Pembangunan
Sosial (Sedesol) diculik di kota Oaxaca Mitla. Saat dicuik, para pejabat
federal tengah melakukan perjalanan ke selatan dari Kota Meksiko untuk menjawab
klaim diajukan oleh sebagian walikota dari Partai Aksi Nasional (PAN) yang berkuasa
di Oaxaca.
Para walikota tadi berpendapat bahwa pemerintahan pusat yang
dipimpin PRI tidak mendistribusikan program Sedesol sesuai dengan kriteria
kelayakan. Para walikota tadi juga
menyatakan bahwa PRI mengalokasikan dana program hanya untuk sekutu politik dan
pendukungnya. Akibatnya dana tidak menjangkau pendukung pemerintah kota yang
dipimpin PAN.
Saat itu Gubernur marah. Dia ingin menunjukkan kepada Josefina
Vázquez Mota, Sekretaris Sedesol 2000-2006, bahwa pejabat federal PAN tidak
bisa ikut campur dalam politik daerah Oaxacan. Apalagi mendikte gubernur tentangb
bagaimana program sosial federal harus didistribusikan. Secara tidak langsung, ini
juga ingin mengirim pesan yang jelas: Presiden PAN Vicente Fox (2000-2006) telah
melanggar batas kewenangan gubernur atau negara bagian Oaxaca.
Tak lama setelah episode ini, pemerintah federal menolak
menandatangani perjanjian bantuan sosial berikutnya dan mengambil tindakan lain
untuk menentang dan melemahkan rezim di Oaxacan. Meskipun ada upaya dari
pemerintah federal merongrong rezim sub-nasional yang tidak demokratis di Oaxaca
(SUR), Murat, dan penggantinya Ulises Ruiz, berhasil menjaga rezim tetap hidup
dengan mengandalkan dukungan koalisi lokal yang kokoh, terutama pada dukungan
dari elite partai lokal .
Episode ini menggambarkan masih berlangsungnya praktek demokratis mapan subnasional 'setelah demokratisasi nasional Meksiko pada tahun 2000. Ini juga mengungkapkan aspek-aspek penting dari hubungan antara presiden yang demokratis dan beberapa rejim otokrat di level negara bagian. Dalam kasus Murat misalnya, fenomena itu menunjukkan ketidakmampuan presiden memegang kekuasaan atas salah satu penguasa demokratis yang paling bandel di Meksiko serta ketidakmampuan presiden untuk mendisiplinkan dan mendapatkan kerjasama gubernur.
Dari perspektif lain, episode itu menyoroti posisi gubernur
dan kapasitasnya dalam menantang otoritas presiden serta kemampuannya
mempertahankan rezim yang tidak demokratis meskipun pemerintah federal berupaya
melemahkannya.
Sebuah pola yang berbeda dari hubungan antara pemerintah
antara Presiden yang demokratis dan otokrat subnasional ada di negara tetangga
Oaxaca, Puebla, yang juga salah satu yang paling negara bbagian yang tidak demokratis
di Meksiko. Tidak seperti Oaxaca, kehadiran politik PAN dalam negara bagian
yang secara tradisional diperintah PRI selalu signifikan. Rata-rata 9,64 persen
kota-kota di Oaxaca antara 1998 dan 2007 diperintah oleh PAN. Di Puebla –
selama periode yang sama -- rata-rata 19,47 persen kota yang diperintah oleh
PAN.
Banyaknya wilayah kota yang diperintah PAN memunculkan tantangan
bagi Gubernur Poblano dari PRI -- Edward Gibson (2005 - 2013), melaksanakan
strategi kontrol terbatas. Dalam era kepresidenan PAN (2000-12), kehadiran yang
lebih besar dari PAN di kota Puebla itu menjadi penting untuk memfasilitasi
kapasitas Presiden dari PAN memegang kekuasaan dan kontrol melalui organisasi lokal
mereka, negara dan otokrat subnasionalnya. Kontrol yang lebih besar Gubernur
poblano, pada gilirannya, sangat menentukan untuk mendorong dan akhirnya
mendapatkan kerja sama politik dari otokrat Puebla ini.
Namun karena pengaruh presiden, mau tidak mau membuat
Gubernur Poblano bekerjasama dengan otokrat di Puebla. Tidak seperti
rekan-rekan mereka Oaxacan, Gubernur Poblano dianggap sebagai sekutu politik
utama presiden PAN. Selanjutnya, berbeda dengan SUR Oaxaca, SUR Puebla ini
jarang terlihat sebagai ancaman. Sebaliknya, presiden PAN melihat cocok untuk
mempertahankan dan mereproduksi rezim politik Puebla meskipun pemerintahannya
tidak demokratis.
Beberapa studi menunjukkan bahwa gubernur yang tidak
demokratis di beberapa negara bagian di Amerika Latin menjadi mitra kunci dalam
membangun koalisi. Mereka mengontrol ketat mesin-mesin partai lokal. Para gubernur di SUR dapat memberikan
penilaian yang berdampak pada penentuan arah pembangunan nasional jangka
menengah dan umum. Selain itu, gubernur yang tidak demokratis dapat memberikan
dukungan legislatif untuk meloloskan RUU. Akhirnya, gubernur ini dapat membantu
menjaga stabilitas politik dan mengelola ancaman keamanan, sehingga membantu
presiden di daerah yang memiliki strategis bagi keamanan dan pemerintahan
nasional. Misalnya, gubernur bandel yang biasanya mengontrol pasukan
paramiliter, dapat ditugaskan sebagai mewakili misi presiden dalam mengelola ancaman keamanan pada wilayah
geografis utama.
Buku ini sangat berharga bagi para pengambil keputusan dan
peminat politik terutama di bidang ekonomi dan politik ekonomi. Ada
pembelajaran dari peristiwa di Brazil misalnya. Salah satu kekecewaan yang
muncul pada dua dekade pertama demokrasi Brasil setelah transisi tahun 1985
juga penjajaran institusi demokrasi di tingkat nasional dan kelanjutan dari pemerintah
semi dan tidak demokratis di beberapa negara bagian di Brazil. Banyak ahli
menyimpulkan bahwa demokrasi di Brazil seakan terprogram untuk melanggengkan
pemerintahan yang konservatif.
Kedua, seperti yang dipaparkan di Bab 2 buku ini, kekuasaan otocratik memang cenderung korup. Paling tidak untuk melaggengkan kekuasaan presiden mengeksplorasi sumber daya kelembagaan dan ekonomi untuk melanggengkan kekuasaannya. Dua sumber utama untuk mengontrol otokrat, pertama adalah organisasi partai dan atau kedua, adalah dana federal yang dialokasikan untuk daerah. Pemerintahan otokrat subnasional di beberapa wilayah Brazil misalnya, menggunakan dua sumber yang berbeda untuk mencegah gangguan-gangguan mapan di level nasional: otonomi fiskal mereka vis-à-vis pemerintah pusat, dan sifat struktur negara lokal yang memfasilitasi konsentrasi kekuasaan di tangan penguasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar