Aturan baku komunikasi krisis adalah saat terjadi krisis, perusahaan harus sesegera mungkin merespon dan menyampaikan informasi kepada semua khalayak kunci melalui pesan sederhana dan mudah dipahami.
Akan tetapi, yang terdengar sederhana di atas kertas jadi lebih sulit dalam praktek. Sebab dalam krisis yang sebenarnya, budaya dan struktur organisasi sangat mempengaruhi penerapan komunikasi krisis. Yang sering dijumpai bahwa organisasi menemui kesulitan menyesuaikan diri dengan situasi krisis dengan persyaratan yang semuanya barunya.
Pada kondisi ini seringkali muncul benturan atau hambatan baik disebabkan oleh budaya maupun struktur organisasi. Simak pengalaman Sony ketika ada masalah dengan film the Interview bebwrapa hari lalu.
Sony secara resmi membatalkan rilis teater The Interview pada Rabu (17/12). Sony sedianya merilis film tersebut pada 25 Desember. Keputusan itu diambil merespon gejolak yang muncul sehari paska ancaman sekelompok hacker yang menamakan dirinya “Guardians of Peace”. Kelompok ini akan membuat kasus 11 September terulang kembali dan memperingatkan para theatergoers untuk menjauhi film tersebut.
Namun setelah dikritik luas, termasuk oleh Presiden Barack Obama dan bintang Hollywood George Clooney, studio ini memilih rilis terbatas secara online hari Rabu waktu AS dan di bioskop-bioskop independen Kamis kemarin. “Anda bisa menyaksikan The Interview SEKARANG JUGA di https://www.seetheinterview.com! Merdeka Berbicara,” cuit Jonah Hill kepada lebih dari 4,5 juta follower-nya.
Di Twitter, rilis film ini menjadi penguji untuk kebelanegaaran sekaligus sensitivitas warga negara.
“Bahwa sekarang The Interview telah tersedia untuk disaksikan, akankah ini membuat ketidakpatriotan pupus?” tulis David Axelrod, mantan penasehat Obama, dalam Twitter.
“Bahwa sekarang The Interview telah tersedia untuk disaksikan, akankah ini membuat ketidakpatriotan pupus?” tulis David Axelrod, mantan penasehat Obama, dalam Twitter.
Pada pukul 4.15 sore waktu AS atau Kamis dini hari WIB lalu, sekitar tiga jam setelah film ini dirilis secara online, 10.671 pengunjung membanjiri YouTube dengan memberi pujian thumb up, sedangkan 822 lainnya memberi predikat buruk thumb down. Sementara itu 989 pengunjung Google Play memberi bintang rata-rata 4,7 dari total 5 bintang.
Tiket pemutaran film tersebut juga ludes. Para penonton menyesaki halaman bioskop sembari memegang gelas minuman hangat selama menunggu pemutaran film dimulai. Mereka mengaku menonton film itu sebagai bentuk dukungan atas kebebasan berbicara dan menentukan pilihan.
Pertanyaannya, dari sudut pandang PR, apakah strategi mengalah lebih dulu strategi yang dilakukan Sony itu sebagai sesuatu yang tepat? Dalam kasus Sony, mungkin keputusan menarik tersebut adalah yang terbaik? Dalam situasi yang perusahaan dikepung publik, Sony memilih bersikap hati-hati. Keputusan untuk menarik Interview bisa jadi merupakan bagian dari keluar masalah.
Sebelumnya para peretas membobol sistem komputer Sony sehingga ratusan dokumen penting bocor untuk disebarluaskan via internet. Senin (1/12) sistem komputer Sony Pictures tumbang. Sebelum layar menjadi gelap, terdapat tampilan tengkorak merah dan kalimat “Hacked By #GOP” singkatan Guardian of Peace (Penjaga Perdamaian), dikutip dari Los Angeles Times. Para peretas juga memperingatkan mereka akan merilis “rahasia” yang mereka curi dari Sony, Times melaporkan.
Beberapa dokumen internal penting seperti informasi penting seperti gaji karyawan, data pribadi, rencana pemasaran dan kontrak dengan partner bisnis juga dibocorkan. Tidak hanya itu, dalam sebuah email, Co-Chairman Amy Pascal kabarnya bercanda berbau rasisme terkait Presiden Obama.
Untuk menjaga kredibilitas dengan para stakeholder, manajemen harus bereaksi dan merespon dengan cepat, informasi dikelola secara efektif dan diberikan pada saat yang sama kepada semua pihak yang terkena dampak. Tidak ada pengganti kebenaran dalam komunikasi krisis.
Penipuan dan rekayasa oleh organisasi baik sebelum, selama, atau setelah krisis, akhirnya diungkap oleh media. Sikap jujur sangat penting untuk komunikasi krisis. Satu aturan dasar untuk menangani krisis adalah dengan mengatakan kebenaran secara cepat sebelum spekulasi dan rumor menyebar.
Namun demikian, terlalu cepat berkomunikasi sedangkan situasinya masih belum jelas, seringkali perusahaan harus menarik kembali pernyataan mereka. Situasi akan diperhatikan oleh para stakeholder dan media secara kritis. Ulmer et al. (2007) mengemukakan bahwa pada tingkat tertentu ambiguitas dalam laporan awal dapat berguna untuk memungkinkan organisasi berkomunikasi dengan para pemangku kepentingan sampai analisa situasi dan informasi yang akurat tersedia.
Ketika itu, Sony belum mengonfirmasikan kebenaran pembocoran ini, tetapi dikutip oleh majalah Variety mengatakan, “Pencurian konten Sony Pictures Entertainment merupakan tindakan kriminal, dan kami tengah bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengatasinya.” Setelah media melaporkan informasi tersebut, Pascal meminta maaf kepada publik terkait email sensitif dan tidak pantas itu
Para peretas juga mengancam Sony untuk tidak menayangkan film itu. Beberapa pihak meyakini ancaman terhadap Sony yang akan merilis film the Interview itu. Juni lalu, Korea Utara mengeluh kepada PBB terkait film yang dibintangi Seth Rogen dan James Franco, menuduh Amerika Serikat mensponsori terorisme dan melakukan tindakan perang karena mengizinkan produksi film.
Dari sudut pandang komunikasi, situasi yang dihadapi Sony menempatkan perusahaan tersebut berada dalam posisi yang dilematis. Banyak pihak yang menyalahkan Sony dengan mengatakan buruknya sistem keamanan di internal Sony. Apalagi peretasan tersebut dikait-kaitkan dengan Korea Utara.
Dilihat dari sudursudut pandang PR, ada kesalahan langkah dalam mengatasi situasi tersebut. Sikap tak segera mengakui adanya peretasan tersebut dan meminta maaf, membuat Sony makin menjadi bulan-bulanan publik. Baru pertengahan Desember lalu Sony mengakui itu dan meminta maaf. Namun kerusakan sudah terjadi. PR News menyebut ini sebagai skandal PR terbesar 2014.
Dilema kedua terkait film the Interview, bila perusahaan tersebut terus melanjutkan rencananya merilis dan memutar film tersebut pada 25 Desember, sesuatu yang mengerikan bisa saja terjadi di sebuah teater yang tengah memutar film itu. Perusahaan bisa dituduh mengumpankan belasan, puluhan atau bahkan ribuan orang sebagai umpan ke serigala. Bila itu terjadi, nyaris tidak ada upaya public relations yang bisa menyelamatkannya.
Di sisi lain, jika studio membatalkan rencana rilisnya, itu menunjukkan kelemahan — karakteristik yang tidak populer dalam bisnis, terutama di Hollywood.
Setelah pengumumkan itu, Sony menghadapi tuduhan bahwa keputusan itu dibuat karena ketakutan. Aaron Sorkin dan Judd Apatow menyebut keputusan “serangan terhadap kebebasan berbicara,” dan Steve Carrell, melalui Twitter, menyesalinya sebagai “hari yang menyedihkan bagi ekspresi kreatif.” Presiden Obama juga ikut bersuara dengan mengatakan kepada ABC News bahwa orang harus terus pergi ke bioskop.
Gambaran diatas menunjukkan dengan jelas bahwa satu dan kejadian yang sama dapat menciptakan reaksi audience yang sama sekali berbeda. Sebuah strategi yang efektif dalam satu budaya atau negara tidak dijamin akan sukses di tempat lain. Ini karena pada dasarnya setiap krisis itu unik.
Sony melakukan sesuatu yang tidak boleh dilakukan ketika berhadapan dengan pengganggu. Sony gagal untuk membela diri. Memang benar bahwa ada dugaan ancaman kekerasan dilakukan dalam hal Sony merilis The Interview. Namun, dengan adanya tuntutan hacker dan tidak melepaskan film, Sony membiarkan orang-orang jahat memenangkan pertempuran ini.
The Interview memang tetap diminati orang. Namun apapun yang terjadi, saat ini Sony harus mengevaluasi kembali staf mereka. Reorganisasi beberapa posisi kunci harus dilakukan untuk tidak mengulang kegagalan mereka dalam melindungi sistem tekonologi informasi mereka.
Hal kedua adalah publik kini menunggu apa yang dilakukan Sony terkait dengan perbaikan sistem keamanan IT-nya itu. Salah satu contoh manajemen dan komunikasi krisis yang sukses diperontonkan oleh Tylenol pada 1982. Merek Johnson & Johnson ini dihadapkan pada persoalan gangguan kapsul yang mengakibatkan kematian pelanggan.
Johnson & Johnson segera meluncurkan kampanye humas besar-besaran untuk menginformasikan publik mengingat saat itu telah beredar 31 juta kapsul Tylenol di pasar. Perusahaan membawa produk ke pasar dengan kemasan tamper-resistant, tapi setelah gangguan produk lain pada 1986, perusahaan mengganti kapsul dengan pil dan kaplet. Insiden ini yang berpotensi menghancurkan ini dikelola secara efektif. Respon yang cepat dan terbuka tidak hanya membantu perusahaan berhasil memulihkan kepercayaan stakeholder, tapi juga membuat kasus Tylenol mejnadi salah satu contoh buku teks tentang bagaimana mengelola krisis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar