Sampai beberapa tahun lalu para ekonom pembangunan menempatkan pertumbuhan ekonomi menjadi ukuran penting bagi pencapian pembangunan. Disini PDB digunakan sebagai kriteria yang diperlukan untuk melihat keberhasilan pembangunan ekonomi yang seringkali memberi sedikit kebebasan individu dan hak asasi manusia.
Ilustrasinya, dunia sempat sangat memuji pertumbuhan ekonomi
Asia Timur. Bahkan Bank Dunia
menerbitkan buku khusus, The East
Asian Miracle: Economic, Growth and Public Policy (1993) yang membahas
kesuksesan ekonomi yang terjadi di Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, dan
Singapura.
Model pembangunan yang menekankan pada petumbuhan dimulai
dari gagasan W.W Rostow yang amat dikenal sepanjang tahun 1950-an dan awal
tahun 1960-an. Menurut Rostow seperti dikutip Korten (1984), proses pembangunan
dapat dipandang sebagai rangkaian tahap pertumbuhan keluaran produksi berurutan
yang dicapai melalui penanaman modal dalam kapasitas produksi yang berteknologi
modern. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi suatu negara, tergantung
pertama-tama pada pencapaian tingkat penanaman modal yang diperlukan birokrasi
pemerintah mengorganisasi masyarakat menjadi satuan-satuan produksi yang
efisien dan dikendalikan secara terpusat.
Di bawah pengendalian ketat birokrasi pemerintah yang
seringkali cenderung berkembang eksesif, sistem-sistem pengolahannya secara
konsisten dirancang untuk memaksimalisasi tingkat pertumbuhan sistem sebagai
keseluruhan. Pendekatan pembangunan demikian, dapat disebut model pembangunan
yang berorientasi pertumbuhan atau yang berpusat pada produksi. Upaya yang
dilakukan adalah pemilihan struktur produksi dan kesempatan kerja yang
terencana, guna meningkatkan porsi industri jasa dan manufaktur.
Proses ini diharapkan mempunyai pengaruh luas terhadap
penduduk, melalui “tetesan ke bawah” (Trickle-Down
Effect), sehingga kaum miskin terkena ke dalam proses modernisasi ekonomi
dan ikut menikmati hasil-hasilnya. Namun dalam intinya, model ini mementingkan
produksi, tampil semata-mata dengan tujuan meraih sasaran-sasaran produksi dan
bukan sasaran yang diinginkan rakyat banyak dengan keyakinan bahwa rakyat
dengan sendirinya akan memetik manfaat sesudah sasaran produksi tercapat
(Korten, 1984).
Pada kenyataannya, pembangunan yang terlalu menekankan
pertumbuhan ekonomi, akhirnya tidak mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat
yang merupakan tujuan utama pembangunan. Salah seorang pengamat usaha
pembangunan secara terencana, Sazanami menyimpulkan bahwa kekurangberhasilan
upaya-upaya pembangunan yang terlalu menekankan aspek pertumbuhan ekonomi di
banyak negara berkembang, menunjukkan perlunya perhatian yang lebih besar
terhadap aspek pembangunan yang lebih luas.
Model pembangunan pertumbuhan seperti ini, memang telah
menunjukkan hasil-hasil yang amat menggembirakan dalam waktu yang relatif
singkat. Tetapi observasi yang dilakukan oleh pengamat pembangunan selama dua
dekade ini sampai kepada kesimpulan bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi
tersebut ternyata tidak diikuti oleh kemajuan-kemajuan sosial yang seimbang
(Effendi, 1989).
Beberapa testimoni yang diberikan oleh para pelaku
pembangunan juga memberikan gambaran bahwa pembangunan yang orientasi
pertumbuhan ekonomi cenderung berbanding terbalik dengan demokrasi. Dalam
wawancaranya dengan Majalah the Economist, bekas Perdana Menteri Singapura Lee
Kuan Yew (The Economist, 27 August 1994, p. 15) mengangkat soal nilai-nilai
Asia.
Lee menjelaskan bahwa kebudayaan Asia yang menekankan ketaatan pada otoritas kelompok, kerja keras, keluarga, penghematan dan pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi yang pesat dan belum pernah terjadi sebelumnya pada era paskaperang di Asia.
Lee menjelaskan bahwa kebudayaan Asia yang menekankan ketaatan pada otoritas kelompok, kerja keras, keluarga, penghematan dan pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi yang pesat dan belum pernah terjadi sebelumnya pada era paskaperang di Asia.
Nilai-nilai ini dikatakan memiliki komponen politis dalam
rezim-rezim soft authoritarian (otoritarian terselubung) yang dominan di Asia
Tenggara. Lee juga berbicara tentang bagaimana kekuasaan otoriter yang soft
membuat Singapura bisa mempertahankan
tingkat pertumbuhan yang tinggi. Karena
itu, dia yakin bahwa untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sebuah
negara harus lebih mengembangkan disiplin ketimbang demokrasi. Dalam wawancara
itu dia mengkhawatirkan euphoria demokrasi mengarah pada perilaku indisipliner
dan tidak teratur yang bertentangan dengan pembangunan.
Beberapa tahun sebelumnya, van Wolferen (1989) juga
menyuarakan bahwa sukses perekonomian Jepang terwujud karena ada represi
terhadap rakyat, meski itu dilakukan dengan sangat halus penuh aturan. Fenomena
ini terkait dengan pengaruh makna baru nilai Konfusianisme seperti yang
ditunjukkan oleh Bellah (1957).
Menurut Bellah, Konfusianisme Jepang sangat berbeda dengan
Konfusianisme China. Konfusianisme Jepang tidak lagi memperhatikan prinsip
harmoni dari berbagai elemen masyarakat, tetapi lebih menekankan akan
pentingnya subordinasi tanpa pamrih dan total seluruh bagian masyarakat untuk
kepentingan satu kolektivitas secara keseluruhan.
Dalam perkembangannya ketika beberapa negara tersebut
dilanda krisis ekonomi, muncul eksplorasi baru dari para analisis ekonomi tentang
pembangunan. Mereka mengajukan hipotesis bahwa kini terjadi pergeseran paradigm
pembangunan dengan penekanan lebih besar pada hak individu, kemampuan sumber
daya manusia, kebebasan fundamental dan hak asasi manusia. Dengan kata lain, pembangunan
adalah tentu proses perluasan dimana orang-orang di dalamnya memiliki kebebasan
yang nyata. (Sen, 1999).
Menjawab hipotesis Lee tadi, Sen (1997) mengatakan bahwa
pertumbuhan ekonomi bisa dicapai tanpa harus memunculkan pemerintahan yang
represif. Botswana misalnya adalah negara dengan pertumbuhan ekonominya paling
tinggi di dunia dan negara itu bukan negara otoriter. Ia bahkan menjadi oase
demokrasi di benua Afrika. Sen juga menunjukkan, data statistik 100 negara yang
membuktikan dampak positif sebuah pemerintahan yang otoriter terhadap
pertumbuhan ekonomi sejatinya sangatlah kecil.
Dibatasinya kebebasan di negara-negara otoriter memang
menghidupkan ekonomi. Namun, begitu sebuah tingkat demokrasi tercapai,
pertumbuhan ekonomi di negara-negara otoriter itu mundur. Hal ini disebabkan
karena masyarakat mulai menuntut
tambahan pembelanjaan untuk kesejahteraan sosial. Sementara negara
otoriter itu sendiri biasanya tidak memiliki sebuah mekanisme yang demokratis
untuk mengatur aspirasi masyarakat tersebut. Jadi, represi terhadap aspirasi
itulah yang menghambat pertumbuhan ekonomi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar