Seperti edisi sebelumnya, edisi keempat buku Crisis Communications: A Casebook Approach ini memfokuskan pada pembahasan tentang bagaimana organisasi, perusahaan, dan individu mengatasi krisis melalui komunikasi. Juga tentang bagaimana mereka seharusnya berkomunikasi dengan media berita, karyawan, dan konsumen. Dibahas pula tentang bagaimana mereka harus memilih kata-kata terbaik untuk disampaikan ke mereka melalui metode penyampaian pesan yang terbaik, kepada segmen masyarakat yang tepat.
Berbeda dengan sebelumnya, edisi keempat ini memasukkan enam studi kasus baru. Ada pembahasan tentang “Häagen-Dazs and Honey Bees” saat mengalami kesulitan mendapatkan madu dan bagaimana Haagen-Dazs mencari solusinya. ” Holland America Line and Cruise Crises” yang menunjukkan kepada kita tentang bagaimana krisis yang sebenarnya bersifat local bisa meluas.
“Saginaw Valley State University and the Theater Controversy” yang membahas tentang bagaimana sebuah universitas di Michigan yang bersusah payah mengajarkan toleransi kepada mahasiswanya. Selain empat kasus di Amerika, ada dua kasus di luar Amerika yang dibahas. Salah satunya adalah tentang “Yuhan-Kimberly and Baby Wet Wipes.” Pembahasannya seputar bagaimana perusahaan yang berbasis di Korea itu berkomunikasi dengan pelanggannya saat salah satu dariproduknya dianggap membahayakan konsumennya.
Penulis buku ini, Kathleen Fearn-Banks — profesor komunikasi di Departemen Komunikasi University of Washington – mendefinisikan krisis sebagai suatu peristiwa besar yang berpotensi menimbulkan pengaruh negatif kepada nama baik organisasi, perusahaan, atau industri, serta masyarakatnya, produk, dan jasa. Sebuah krisis juga memiliki potensi mengganggu transaksi bisnis yang normal dan kadang-kadang dapat mengancam keberadaan organisasi. Peristiwa tersebut dapat berupa pemogokan, terorisme, kebakaran, boikot, sabotase produk, kegagalan produk, atau kejadian lain (Bab 15, hal 308). Ukuran organisasi tidak relevan sebab krisis bisa menimpa perusahaan multinasional, bisnis perorangan, bahkan individu.
Tambahan lainnya adalah pembahasan tentang “Social Media and Crisis Communications” dan “Individuals in Crisis.” Tambahan pertama dirasa penting karena berkembangnya fenomen blogger dan social media. Berita kadang-kadang bisa lebih cepat diedarkan oleh media sosial daripada oleh media berita tradisional (lihat Bab 5). Di bagian ini penulis memberikan ilustrasi tetang pemanfaatan Twitter, Facebook, MySpace, YouTube, blog, dan media sosial lainnya untuk mengatasi krisis. Bab ini juga meliputi saran tentang cara menggunakan media sosial dan mengutip beberapa krisis yang disebabkan oleh penggunaan media sosial.
Satu ilustrasi menarik yang disajikan di Bab ini adalah tentang pernedaan antara wartawan dan blogger. Wartawan harus menghabiskan waktu untuk mendalami situasi dan tempat krisis berlangsung dan kemudian mengirimkan cerita. Sementara blogger yang sudah di lokasi, dengan sedikit keahlian atau bahkan tidak dalam pelaporan, bisa mendapatkan informasi yang dikirimkan segera. Karena mekanisme peliputan dan penulisan yang berbeda dengan wartawan, tulisan blogger bisa jadi belum dikonfirmasi.
Sementara itu, seorang wartawan terlatih diharapkan dapat menemukan informasi yang lebih lengkap daripada blogger atau teman di Facebook. Ini karena wartawan yang terlatih dalam mengajukan pertanyaan tahu benar tentang informasi yang harus digali bila menemukan suatu peristiwa. Namun, tanpa diragukan lagi, baik media sosial dan media tradisional harus menjadi target komunikasi secepat mungkin.
Idealnya, keduanya harus dihubungi secara bersamaan dan segera, karena jika data yang akurat tidak disebarluaskan, maka keduanya bisa menggunakan data yang tidak akurat ini. Jika krisis ini mengembara ke ranah online, maka komunikasi online mungkin terbaik (lihat Pizza Domino, Bab12, halaman 258). Jika staf komunikasi Anda terlalu kecil untuk melakukan komunikasi simultan, maka keputusan mendesak harus dibuat.
Buku ini juga secara mendalam menunjukkan bagaimana para professional di perusahaan mempersiapkan dan menanggapi krisis, serta bagaimana mereka mengembangkan rencana komunikasinya. Sebagai ilustrasi, Fearn-Banks mengungkap kembali ketika sebuah Southwest Airlines melakukan pendaratan darurat di Charleston, Virginia Barat, Juli 2009. Ketika itu, para penumpang selamat, namun para pejabat penerbangan tidak bisa memastikan bagaimana reaksi penumpang yang mengalami peristiwa tersebut.
Southwest yang memiliki Tim yang disebut “tim media yang darurat” mengamati blogTwitter, Facebook, dan situs web untuk memastikan reaksi penumpang. Tim menemukan komentar sebagian besar positif. Jadi Southwest menggunakan informasi tersebut untuk memposting tweets memuji kerja kru dan sikap penumpang di dalam pesawat saat pendarataan darurat itu berlangsung. Linda Rutherford, Linda Rutherford, Vice President, Communications and Strategic Outreach, mengatakan perusahaan mungkin memberikan reaksi yang berbeda bila menemukan komentar negatif. Mereka masih memuji kru untuk pendaratan yang aman, tapi dengan cara komunikasi yang berbeda.
Contoh lainnya adalah tentang pengalaman Coca-Cola menangani keluhan pelanggan yang informasinya diperoleh dari hasil pantauan Twitter. Dari pantauan itu, Coca-Cola Company menemukan posting dari pelanggan frustasi. Mereka mengungkapkan kesulitannya saat menebus hadiah dari program hadiah My Coke.
Saat itu, profil pelanggan menunjukkan lebih dari 10.000 followers di Twitter. Adam Brown, head of the social media Coca-Cola memposting permintaan maaf pada profil Twitter pelanggan dan menawarkan kesediaannya membantu mendapatkan hadiah. Pelanggan menerima hadiah dan mengapresiasinya dengan mengubah avatar Twitter dengan foto dirinya memegang Coke.
Menurut definisi, bagaimanapun, krisis mengganggu normalnya perjalanan suatu bisnis. Di sisi lain, krisis tidak harus menimbulkan bencana yang bisa menghancurkan sebiah organisasi. Exxon misalnya, mengalami krisis setelah tumpahan minyak pada tahun 1989. Namun, meski citranya sempat jatuh, perusahaan ini masih berkembang (Kasus Exxon di Bab 7). Karena itu, buku ini menyarankan Anda untuk merencanakan sesuatu bila menghadapi situasi terburuk, baik itu krisis maupun sekadar masalah. Intinya, penulis menekankan satu kata, “Bersiaplah.”
Southwest yang memiliki Tim yang disebut “tim media yang darurat” mengamati blogTwitter, Facebook, dan situs web untuk memastikan reaksi penumpang. Tim menemukan komentar sebagian besar positif. Jadi Southwest menggunakan informasi tersebut untuk memposting tweets memuji kerja kru dan sikap penumpang di dalam pesawat saat pendarataan darurat itu berlangsung. Linda Rutherford, Linda Rutherford, Vice President, Communications and Strategic Outreach, mengatakan perusahaan mungkin memberikan reaksi yang berbeda bila menemukan komentar negatif. Mereka masih memuji kru untuk pendaratan yang aman, tapi dengan cara komunikasi yang berbeda.
Contoh lainnya adalah tentang pengalaman Coca-Cola menangani keluhan pelanggan yang informasinya diperoleh dari hasil pantauan Twitter. Dari pantauan itu, Coca-Cola Company menemukan posting dari pelanggan frustasi. Mereka mengungkapkan kesulitannya saat menebus hadiah dari program hadiah My Coke.
Saat itu, profil pelanggan menunjukkan lebih dari 10.000 followers di Twitter. Adam Brown, head of the social media Coca-Cola memposting permintaan maaf pada profil Twitter pelanggan dan menawarkan kesediaannya membantu mendapatkan hadiah. Pelanggan menerima hadiah dan mengapresiasinya dengan mengubah avatar Twitter dengan foto dirinya memegang Coke.
Menurut definisi, bagaimanapun, krisis mengganggu normalnya perjalanan suatu bisnis. Di sisi lain, krisis tidak harus menimbulkan bencana yang bisa menghancurkan sebiah organisasi. Exxon misalnya, mengalami krisis setelah tumpahan minyak pada tahun 1989. Namun, meski citranya sempat jatuh, perusahaan ini masih berkembang (Kasus Exxon di Bab 7). Karena itu, buku ini menyarankan Anda untuk merencanakan sesuatu bila menghadapi situasi terburuk, baik itu krisis maupun sekadar masalah. Intinya, penulis menekankan satu kata, “Bersiaplah.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar