Beberapa waktu lalu,
saya diajak seorang teman mengunjungi sebuah perusahaan di Medan. Perusahaan
merasa belum bisa menjalin hubungan dengan beberaa unsur stakeholdernya. Ini ditunjukkan
oleh beberapa pemberitaan miring oleh media setempat tentang aktivitas itu
perusahaan tersebut. Pengelola perusahaan tersebut menyadari bahwa beberapa
elemen stakeholder ingin perusahaan menjadi lebih bertanggung jawab secara
sosial.
Saat itu saya teringat
pada hasil studi Cone Communications/Echo Global CSR Study yang menunjukkan
bahwa hanya 6% dari konsumen global yang percaya perusahaan tidak memiliki
tanggung jawab terhadap isu-isu sosial atau lingkungan. Pada saat yang sama pemasar
sendiri kurang yakin bahwa cerita
tentang aktivitas sosial perusahaan yang mereka bagikan efektif. Laporan Edelman
Trust Barometer menemukan bahwa kepercayaan konsumen di owned media (dibayar
oleh sebuah merek) hanya 44% pada tahun 2014.
Sinisme konsumen terhadap
pemasaran yang dimaksud adalah bukan tanpa sebab. Kini orang semakin banyak
mendapatkan informasi, termasuk misalnya informasi tentang greenwashing,
causewashing, dan sebagainya yang membuat stakeholder atau konsumen menjadi
lebih cerdas dan media yang fasih dalam pemasaran media sosial. Karena itulah
tantangannya sekarang adalah bagaimana perusahaan melakukan kegiatan secara
otentik sehingga mencerminkan nilai-nilai inti dan memberitahu mereka cerita
jujur.
Sebuah contoh yang
bagus dari keseimbangan ini adalah yang dilakukan Target. Pada 2013 karyawan Target
memberikan kontribusi lebih dari 1 juta jam sebagai relawan. Pada tahun 2012 melalui
program United Way Worldwide dan Save the Children, karyawan Target menyumbangkan lebih dari $ 2.200.000 atas nama Target ke LSM
di 16 negara, dan mereka baru-baru ini mengumumkan rencana untuk memberikan $ 1
miliar untuk pendidikan pada akhir tahun fiskal 2015.
Harus diakui bahwa salah
satu senjata yang paling efektif dalam pemasaran adalah karyawan. Mereka ini
yang berinteraksi dengan konsumen sehingga banyak menyerap fenomena dan suara
konsumen. Karyawan juga brand ambassador
yang -- pada setiap 'titik sentuhan'
dengan klien mereka, akan dianggap sebagai bisnis. Setiap anggota staf yang
memberikan pengalaman yang buruk pada kliennya, itu akan memberikan cahaya yang
buruk bagi perusahaan, bukan hanya pada dirinya.
Martha Stewart menampilkan
rasa penyesalan sekaligus menantang ketika
melangkah keluar dari pengadilan untuk menghadapi kerumunan media
setelah dia menerima hukuman karena berusaha
menyesatkan publik dan pemerintah dalam kasus insider trading saham.
"Hari ini adalah
hari yang memalukan. Ini memalukan bagi saya, untuk keluarga saya, untuk
perusahaan saya tercinta, dan untuk semua karyawan dan mitra kami. Saya sangat
sangat menyesal bahwa... Masalah pribadi kecil ini telah dapat ditiup dari
semua proporsi, " katanya. Mengakui dukungan yang cukup dia menerima
seluruh percobaan. "Mungkin kalian semua di luar sana dapat terus
menunjukkan dukungan Anda dengan berlangganan majalah kami, dengan membeli
produk kami, dengan mendorong pengiklan untuk datang kembali dengan kekuatan
penuh untuk majalah kami . "
Bukti menunjukkan bahwa
penyampaian citra merek karyawan ke pada konstituen mempengaruhi kepuasan
pelanggan terhadap perputaran karyawan, kepuasan pelanggan, loyalitas, reputasi
dan posisi organisasi dan penyampaian citra yang terus-menerus dalam benak konsumen (Miles dan Mangold,
2005). Baru-baru ini, Raja dan Grace (2009) memperkenalkan ide ekuitas merek
berbasis karyawan dan mendalilkan bahwa dampak ekuitas merek berbasis konsumen
dan, pada akhirnya, ekuitas merek berbasis keuangan. Karena itu, perusahaan
yang secara konsisten dapat memenuhi janjinya kepada pelanggan mereka dan konstituen organisasi
lainnya, menikmati keunggulan kompetitif.
Karyawan dapat
mempengaruhi asosiasi pelanggan terhadap perusahaan tidak hanya dari yang
mereka lakukan dan bagaimana mereka melakukannya, tapi juga bagaimana mereka depan pelanggan. Karena itu dimaklumi bila pengecer
pakaian misalnya, merekrut karyawan (mereka menyebutnya "model")
lebih menekankan pada penampilan fisik seperti halnya kemamuan mereka menjual.
Restoran etnis mungkin lebih suka merekrut staf dari budaya yang sama dengan
tema restoran, karena yang mereka layani – bisa jadi – pelanggan dari etnis
yang sama guna menciptakan pengalaman pelanggan.
Karena itu pemasar
harus melihat karyawan sebagai target pasar internal. Perusahaan harus
melakukan aktivitas marketing kepada mereka. Tujuannya adalah untuk membuat
mereka merasa dihargai dan memberi mereka sense of belonging karena ini
merupakan kebutuhan dasar manusia. Pada saat yang sama, karyawan Anda harus
dipandang sebagai media untuk berkomunikasi dan membangun merek.
Realistis, orang tidak
akan menyampaikan nilai-nilai merek dalam pekerjaan mereka sepanjang waktu.
Akan tetapi jika mereka memahami peran mereka, termasuk dalam memberikan informasi
tentang merek keada pihak eksternal, maka hal itu sangat positif bagi
pembangunan merek perusahaan. Namun demikian, ini membutuhkan pengelolaan
internal yang memadai.
Ada dua elemen penting
yang diperlukan untuk membangun keunggulan kompetitif merek karyawan (Miles dan Mangold, 2005). Pertama, karyawan
harus mengetahui dan memahami citra merek yang diinginkan. Kedua, mereka harus
termotivasi untuk terlibat dalam perilaku yang diperlukan untuk memberikan
citra merek yang diinginkan orang lain.
Karyawan cenderung
untuk mengetahui dan memahami citra merek yang diinginkan bila nilai dan misi
perusahaan terumuskan secara jelas. Nilai-nilai itu dikomunikasikan kepada
pelanggan dan konstituen melalui sistem pesan yang mengartikulasikan
tentang apa yang penting bagi perusahaan
dan membentuk dasar dari citra merek yang diinginkan perusahaan dan karyawan. Citra ini merefleksikan merefleksikan nilai-nilai
yang ingin dicapai organisasi serta perilaku yang diperlukan untuk mencapai
hasil tersebut (Mangold dan Miles, 2007).
Memotivasi karyawan berarti
mendorong karyawan berperilaku sebagaimana
yang diinginkan organisasi. Terlepas dari seberapa baik suatu organisasi
mengartikulasikan nilai-nilai dan perilaku yang diinginkan pada karyawan,
pilihan akhirnya tercermin pada bagaimana karyawan berperilaku dengan cara tertentu
.
Penelitian sebelumnya
menunjukkan kontrak psikologis berperan penting dalam memotivasi karyawan untuk
terlibat sesuai dengan cara yang diinginkan organisasi (Rousseau, 1995). Rousseau
pertama kali memperkenalkan konsep kontrak psikologis, yang diasumsikan sebagai
persepsi yang terbentuk di benak karyawan tentang syarat dan perjanjian
hubungan kerja. Asumsikan, misalnya, selama proses perekrutan karyawan baru ditegaskan
bahwa promosi didasarkan pada kinerja. Karyawan baru itu kemudian mengamati
bahwa ternyata promosi sebagian besar didorong oleh jaringan politik. Dalam
keadaan seperti itu, kontrak psikologis kemungkinan akan terkena dampak
negatif. Karena itu, sejauh mana kontrak psikologis ditegakkan, akan berdampak
pada keinginan karyawan untuk memberikan citra merek yang diinginkan organisasi
(Mangold dan Miles, 2007).
Survey MORI pada 1999 menemukan bahwa karyawan atau staff memiliki daya untuk
membangun hubungan jangka panjang dan menguntungkan dengan pelanggan . Karena
itu, membuat mereka menjadi ‘brand yang hidup’ atau ‘living brand’
adalah sangat penting. Dalam perusahaan jasa keungan, membangun dan
mempertahankan hubungan dengan pelanggan di luar perusahaan adalah sangat bernilai,
sehingga dalam hal ini karyawan memegang titik penting.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar