Agenda utama branding perguruan tinggi saat ini adalah menyeimbangkan
fokus komunikasi kepada pelanggan dan stakeholder dengan program external
branding dan branding yang ditagertkan untuk karyawan.
Sita, bukan nama sebenarnya, berbunga-bunga saat dia dinyatakan diterima di perguruan tinggi negeri melalui jalur undangan yang begitu diimpikannya. Betapa tidak, orang tuanya sudah pasrah karena sebenarnya nilai matematika Sita jauh dari harapan.
Karena itu, ketika dia mengikuti test sebuah perguruan tinggi bisnis dia tidak
diterima, meski nilai TOEFL-nya relative tinggi untuk ukuran siswa sebayanya,
540.
Tapi Sita sangat beruntung, sekolahnya dapat jatah undangan sebanyak 21 orang.
Sita sendiri sebenanarnya tak masuk peringkat 21 sekalipun. Prestasi Sita ada
di peringkat 35. Hanya saja, karena sekitar 15 orang yang masuk peringkat 21
tidak memanfaatkan undangan tersebut, Sita pun masuk ke dalam kelompok 21
undangan tadi. Sita sempat dites untuk kelas internasional dan dia berhasil
lolos.
Kenapa 15 orang teman Sita tadi tak memanfaatkan undangan tersebut? Bukankah
undangan itu dari perguruan tinggi ternama? “Mereka memilih sekolah di luar
negeri,” kata orang tua Sita. “Mereka memang berasal dari keluarga kaya
sehingga lenih suka kuliah di luar negeri ketimbang di dalam negeri.”
Siswa atau orang tua siswa yang memilih sekolah di luar negeri – bila mampu –
memang bukan hanya teman Sita. Masih banyak teman Sita yang lainyang nilainya
bagus lebih memilih sekolah di luar negeri. Angga Khoirul Imam (18) misalnya.
Siswa SMA Negeri10 Malang itu meraih nilai ujian nasional tertinggi se-Kota
Malang dengan pencapaian 57,65 atau rata-rata-rata 9,60. Selain unggul di
program IPA, nilai Angga juga jauh lebih tinggi dibanding program IPS dan
Bahasa.
Apakah Angga memilih sekolah di Malang atau Jakarta? Tidak. Angga memilih
melanjutkan kuliah di jurusan Teknik Industri Texas Tech University di Amerika
Serikat. Dapat bea siswa? Tidak juga. “Itu bukan beasiswa. Sampoerna Academy
memberi pinjaman dana hingga kuliah saya selesai dan pinjaman itu harus saya
ganti setelah saya kerja nanti,” ujarnya.
Jumlah dana yang dia pinjam untuk kuliah di Texas Tech University itu cukup
besar. Hingga lulus, Angga memperkirakan akan berutang Rp 1,5 miliar. “Awalnya
saya juga ragu bagaimana cara mengembalikan itu nanti. Tapi Sampoerna Academy
sudah seperti keluarga. Cicilannya sekitar 20 persen dari gaji setelah saya
bekerja nanti,” jelas penggemar buku-buku agama itu.
Bagi anak seusianya, memiliki pinjaman sebesar itu pasti menjadi beban
tersendiri. Begitu pula yang dirasakan Angga. Dalam pikirannya, kadang
terbersit ketakutan apabila tidak bisa membayar pinjaman itu.
Nyatanya, Angga tidak sendirian. “Bukan hanya saya yang punya pinjaman itu. Ada
13 teman saya juga. Jadi ada temannya dan justru memotivasi saya untuk belajar
dan bekerja keras di sana (Texas),” kata Angga. “Kalau bekerja di Indonesia,
gaji sedikit. Tapi kalau kerja di luar negeri, kemungkinan gaji saya lebih
banyak dan cepat untuk membayar utang,” harapnya.
Sita, Angga dan teman-temannya hanya satu fenomena. Yang lainnya adalah makin
gencarnya perguruan tinggi asing yang berusaha menjaring calon mahasiswanya
dari Indonesia. Mereka intensif beriklan dan mengadakan pameran, bahkan –
melalui agen mereka -- mendatangi sekolah-sekolah menengah guna mempromosikan
perguruan tinggi mereka.
Memperkuat pendapat bahwa pengelola perguruan tinggi di Indonesia saat ini tak
dapat lagi taken for granted bahwa calon mahasiswa berkualitas
(cerdas dan memiliki dana) akan kuliah di tempat mereka. “Mahasiswa semacam
Sita dan Angaa memiliki banyak sekali pilihan alternatif, sekolah negeri,
swasta atau ke luar negeri,” kata Dr. M. Gunawan Alif, dosen Pasca Sarjana Ilmu
Manajemen FEUI.
Calon mahasiswa yang berkualitas sangat menentukan kualitas sarjana yang
dilahirkannya. Hal itu disadari benar oleh Fakultas Ekonomi dan Manajemen
Institut Pertanian Bogor (IPB) dan IPB sendiri. Karena itu, IPB menjaring
sebagian besar mahasiswanya (63%) melalui SNMPTN jalur undangan.
Untuk mendapatkan mahasiswa terbaik, setiap tahun IPB melakukan Program
Canvassing ke berbagai daerah di Indonesia mencari bibit atau calon mahasiswa
yang bagus. “Dengan bibit yang bagus, maka brand IPB akan meningkat
pula,” kata Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec, Dekan FEM IPB.
Dalam beberapa tahun terakhir,tantangan bagi pengelola perguruan tinggi dalam
membangun merek yang kuat semakin berat. Ini karena persaingan di dunia
pendidikan tinggi relatif ketat karena makin banyaknya perguruan tinggi,
termasuk dari luar negeri. Pada kondisi seperti itu, mereka dituntut untuk
mendemonstrasikan keunggulan dan perbedaan perguruan tingginya dari kompetitor.
Kedua, mereka dituntut untuk memastikan pelanggan mendapatkan pengalaman
sebelum, selama dan sesudah mahasiswa berinteraksi dengan perguruan tinggi
dengan benar. Ketiga, bagaimana pengelola tinggi memastikan pengalaman tersebut
sesuai dengan program pemasaran yang menyertainya sehingga pikiran, perasaan,
image, keyakinan, persepsi, pendapat, dan sebagainya menjadi melekat dengan
merek (Keller, 2003, hal. 59).
Sebuah studi kualitatif di sebuah universitas di Australia yang membidik siswa
internasional (Gatfield et al., 1999) mendapati bahwa reputasi, kualitas dosen
dan tenaga akademik lainnya, kehidupan kampus (fitur tambahan) dan bimbingan
(cara mengakses layanan ) adalah fitur paling menonjol dalam promosi.
Survey the Best University yang dilakukan Majalah MIX, Maret
lalu juga memberikan hasil yang sama.
Ini memberikan inspirasi bahwa dalam melakukan branding, pengelola perguruan
tinggi perlu mempertimbangkan brand positioning statement dengan cermat.
Pengelola perguruan tinggi juga ditantang untuk memastikan media promosi dan
saluran komunikasi yang akan paling efektif dalam menjangkau khalayak target
mereka.
Persoalannya, dalam melakukan branding, kebanyakan perusahaan terpaku dan
terfokus pada komunikasi kepada pelanggan dan stakeholder dengan program
external branding, mulai dari beriklan, promosi penjualan dan sejenisnya. Satu
hal yang sering dilupakan adalah branding yang ditagertkan untuk
karyawan.
Seperti dimaklumi, tugas paling mendasar dari pengelola perguruan tinggi
sebagai pemasar adalah menyebarkan informasi tentang produk dan layanan mereka
sehingga membuat orang membeli atau menggunakan jasanya, dalam hal ini adalah
perguruan tinggi.
Untuk itu, pengelola menggunakan berbagai macam cara -- termasuk e-mail blast,
telemarketing, direct mail, TV, radio, dan iklan cetak, dan pameran dagang
(atau pameran) – guna menjangkau calon mahasiswa atau target pasarnya.
Masalahnya, dalam beberapa tahun terakhir teknik pemasaran tradisional tersebut
menjadi kurang efektif karena saat ini banyak orang yang memiliki kemampuan
yang lebih baik guna memblok informasi tadi.
Hal kedua adalah karena periklanan tradisional – melalui TV misalnya – hanya
membangun percakapan satu arah: pengirim ke penerima. Di sisi lain, target
market menginginkan dan mengharapkan percakapan dua arah. Mereka ingin
memberikan umpan balik.
Hal lainnya adalah perkembangan teknologi media yang memungkinkan calon
mahasiswa dan karyawan berinteraksi tanpa melalui saluran formal. Mereka
bisa berkomunikasi baik melalui sms mapun email. Melalui sosial media, calon
mahasiswa juga bisa bersuara tetang perguruan tinggi, dan karyawan perguruan
tinggi juga bisa bersuara tentang pekerjaannya.
Sudah menjadi tradisi di perguruan tinggi bahwa dosen atau staf akademik,
fakultas, mahasiswa, alumni dan konstituen lainnya terbiasa dan menyukai
dialog. Bila konsep ini dipahami dan diaplikasikan, maka ketika perguruan
tinggi melakukan branding, prosesnya menjadi lebih mudah. Ini karena bagi
banyak orang, branding itu pada dasarnya berarti percakapan.
Pada situasi seperti
ini tantangan pengelola perguruan tinggi adalah bagaimana mengelola situasi
tersebut sehingga menjadi kekuatan. Dalam hal ini kekuatan semua internal
stakeholder untuk menjadi brand ambassador perguruan tinggi.
Ini berarti tugas pengelola adalah bagaimana caranya agar pesan-pesan yang
disampaikan oleh pihak internal kepada internal mempunyai kekuatan mendukung
positioning yang ingin dibangun pengelola. Pesan disini bukan hanya pesan
verbal, tapi juga pesan non-verbal yang diimplementasikan dalam bentuk perilaku
para karyawan selama berinteraksi dengan pihak luar.
Seperti halnya
organisasi lainnya, dalam branding, karyawan merupakan asset tangible yang
paling berharga. Mereka adalah tulang punggung dalam menghidupkan brand.
Penelitian yang dilakukan oleh Conference Board Survey pada 2004 terhadap 700
CEO menemukan fakta bahwa isu utama bagi para CEO adalah bagaimana
menciptakan employee engagement (keterlibatan pekerja) ke dalam brand
vision, mission dan culture.
Riset lain yang dilakukan Gallup International menemukan bahwa perusahaan
dengan keterlibatan pekerja yang tinggi memiliki tingkat pelayanan pelanggan
12% lebih tinggi, produktivitas 18% lebih tinggi dan tingkat keuntungan 12%
lebih tinggi.
Sementar itu, sebuah survei yang dilakukan terhadap perusahaan yang tergabung
dalam Fortune 500 menemukan fakta bahwa internal branding berhasil
mempertahankan karyawan (93%), meningkatkan employee engagement (91%), menarik
minat pelamar kerja (90%), memotivasi karyawan (79%) dan mempengaruhi kinerja
bisnis (71%).
Itu sebabnya adalah penting bagi perguruan tinggi untuk melakukan internal
branding berdampingan dengan external branding. Dengan kata lain, membangkitkan
antusiasme dan gairah antusiasme dan gairah karyawan sehingga merek menjadi
komitmen mereka merupakan bagian penting dari strategi komunikasi internal yang
harus dibangun. Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa cara membangkitkan
yang paling efektif adalah dengan melibatkan mereka ke dalam proses branding.
Disini termasuk
perlunya komunikasi yang melibatkan edukasi karyawan dan mekanisme umpan
baliknya sehingga karyawan memiliki kesadaran dan pemahaman yang tinggi
terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam setiap atribut identitas hingga yang
dijanjikan perguruan tinggi. sehingga, perilaku karyawan benar-benar
mencerminkan nilai-nilai identitas dan janji perguruan tinggi.
Artinya, internal
brand dan PR adalah dua istilah yang berbeda namun saling berkaitan dalam dunia
bisnis. Internal brand adalah bagaimana perusahaan mempromosikan merek dan
nilai-nilai mereka kepada karyawan dan stakeholder internal mereka. Ini
termasuk memastikan bahwa karyawan memahami dan menerima visi, misi, dan
nilai-nilai perusahaan, serta memastikan bahwa praktik perusahaan selaras
dengan merek yang diinginkan.
PR atau public
relations adalah upaya perusahaan untuk membangun dan memelihara hubungan yang
baik dengan publik dan media. Ini meliputi aktivitas seperti membuat pernyataan
resmi, menjawab pertanyaan dari media, menjalankan kampanye media sosial, dan
mempromosikan acara dan program perusahaan kepada publik.
Kedua istilah ini
saling berkaitan karena PR memainkan peran penting dalam membantu membangun dan
memelihara citra perusahaan di mata publik, sementara internal brand memastikan
bahwa karyawan dan stakeholder internal perusahaan selaras dengan merek dan
nilai-nilai yang ditonjolkan ke publik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar