Seperti
halnya pelanggan akhir, peritel kini posisinya semakin kuat. Benarkah kekuatan
peritel itu membuat produsen takluk kepada tuntutan peritel?
Tiga tahun lalu saya sempat berbincang dengan salah seorang manajer perusahaan
rokok. Menurut sang manajer, ke depan, bagi industri rokok, peran peritel atau
pedagang toko dalam penjualan rokok menjadi sangat penting. Ini karena ruang
gerak promosi rokok dari hari ke hari makin dibatasi. Pemkot Bogor – seperti yang disampaikan Dinas Pendapatan Derah (Dispenda) Kota
Bogor – tak lagi mengizinkan spanduk atau banner merek atau produk rokok di
fasilitas umum, seperti taman kota dan bahu jalan.
Pelarangan
itu terkait Peraturan Daerah (Perda) No 12 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa
Rokok (KTR). “Pada 2013 tidak ada lagi iklan rokok yang terpampang di
jalan,” ujar Kepala Bidang Penetapan Dispenda Kota Bogor, Lia Kania Dewi saat itu.
Apabila masih ada spanduk yang mempromosikan rokok, lanjut dia, pihaknya tidak
segan-segan mencopotnya. Untuk itu, demi menegakkan Perda KTR, warga harus
mendukung program pemerintah menuju Bogor Bebas Asap Rokok. “Apabila warga
melihat masih ada baliho atau spanduk rokok, jangan sungkan untuk melaporkan
kepada kami,” ucapnya.
Itu
sebabnya, saluran distribusi bakal memasuki babak baru. Ke depan, saluran bukan
hanya untuk menjamin ketersediaan produk, tapi juga untuk kepentingan lainnya,
yaitu sebagai medium membangun merek. Dengan kata lain, ke depan, jangan heran
bila melihat -- selain memajang produk rokok di etalase (blocking display) -- warung atau toko makin
“dihiasai” dengan spanduk berikut nama toko (shop blind with name), poster, dan
sebagainya. Saat ini saja, ada kecenderungan produsen memberi insentif baik
eruoa uang maupun produk untuk membujuk peritel, termasuk pengecer tradisional,
untuk memberi ruang khusus bagi merek produsen tersebut.
Apakah
ini sekaligus menandai pergeseran kekuatan dari produsen ke pengecer? Seperti
diketahui, salah satu kompetisi utama yang memaksa -- menurut model lima
kekuatan dari Porter -- adalah kekuatan negosiasi dari pelanggan. Pelanggan
yang kuat memiliki kemungkinan untuk menetapkan kerjasama yang mereka inginkan
dan karenanya mereka ingin mengatur dan memperoleh kondisi yang menguntungkan
(Porter, 1999). Dalam konteks pemasaran, pelanggan disini bisa konsumen akhir,
bisa juga perantara yang dalam hal ini adalah peritel.
Jadi,
apakah sekarang ini pengecer mendapatkan kekuatan atau
posisi yang lebih besar dibandingkan produsen? Pertanyaan ini relevan karena
bila salah satu dari pelaku bisnis tersebut memiliki “kekuasaan” yang lebih
besar, kecenderungannya adalah memiliki margin keuntungan terbesar. Dengan kata
lain, pemain yang memiliki daya yang lebih besar memiliki kemungkinan untuk
mengubah perilaku orang lain (Ailawadi, Borin, Farris, 1995, hlm 211-248).
Dalam
beberapa tahun terakhir, makin kuatnya peran pengecer tersebut diakui oleh
produsen. Makin banyaknya dan makin mudahnya public mengakses infornasi
tersebut membuat konsumen makin menuntut. Ini yang membat terjadinya
transformas dari pasar produksi ke pasar permintaan pelanggan makin kuat. Di
sisi lain, karena kontaknya dengan konsumen langsung, pengecer makin mengetahui
kebutuhan konsumen tersebut. Artinya,
dalam saluran distribusi, pengecer lebih dekat dengan konsumen akhir sebagai
produsen.
Perkembangan
teknologi, seperti scanner atau program loyalitas pelanggan terkomputerisasi
memungkinkan pengecer mendapatkan informasi lebih banyak tentang pelanggan,
kebutuhan mereka, kebiasaan serta preferensi mereka. Sebuah analisis
menunjukkan bahwa pengecer yang lebih dekat dengan pelanggan memiliki kekuatan
untuk memutuskan produk yang akan dijual di toko, di mana mereka ditempatkan,
mana yang harus dipromosikan atau direkomendasikan kepada pelanggan akhir,
berapa harganya, dan sebagainya.
Jadi
pengecer semakin mengenal pelanggan mereka dan memiliki pengaruh lebih besar
pada mereka sebagaimana yang produsen
lakukan. Kekuatan informasi seperti yang kini dibangun dan dimiliki oleh
peritel modern. Beberapa peritel tradisional yang memiliki sekala besar juga
memiliki kekuatan ini. Toko-toko mereka kini tak lagi kumuh.
“Di
Sumenep, ada anggota Sampoerna Retail Community yang sudah dilengkapi dengan
AC. Jadi sudah tidak kalah kenyamanannya dengan ritel moderen. Di Baturaja,
Sumatra lengkap dengan ATM dari bank nasional terkemuka. Demikian juga dengan
anggota di Cianjur, Tulungagung dan banyak lagi. Ini tentunya melengkapi daya
saing mereka dalam memberikan pelayanan terbaik untuk pelanggan,” kata Ivan Cahyadi, Head of Sales Operations Central PT HM
Sampoerna Tbk. Karena itu, produsen kini
melihat peritel bukan lagi sebagai pelanggan melainkan sebagai mitra (Zentes,
Janz, Morschett, 2005, hal 5).
Sampoerna
Retail Community adalah suatu program pembinaan terhadap outlet retail
potensial yang terpilih sebagai partner bagi Sampoerna. Mereka tergabung dalam
suatu komunitas yang bertujuan untuk melakukan aktivitas promosi dan distribusi
produk A Mild secara lebih agresif dan exclusive. Konsep program ini sendiri
adalah membuat outlet retail menjadi semi modern outlet plus entertainment
corner.
Seperti
dimaklumi, pengecer (retailer) adalah salah satu komponan dari saluran
distribusi dan merupakan tahap akhir dari suatu saluran distribusi. Dengan
demikian, di tingkat pengecer terjadi perpindahan fisik dan transfer
kepemilikan barang dan jasa dari produsen ke pelanggan. Menurut Kotler (2000:592),
pengecer (retailer) adalah usaha penjualan eceran meliputi semua kegiatan yang
terlibat dalam penjualan barang dan jasa secara langsung ke konsumen akhir
untuk penggunaan pribadi dan bukan bisnis. Pengecer atau toko adalah usaha
bisnis yang volume penjualannya berasal dari penjualan eceran.
Salah
satu studi yang dilakukan Ailawadi, Borin dan Farris terhadap 909 produsen dan
274 pengecer di Amerika Serikat menunjukkan bahwa sebenarnya tidak ada
pergeseran kekuasaan dari produsen ke pengecer. Yang terjadi adalah makin
intensifnya persaingan di antara pengecer. Hal yang terakhir ini juga terjadi
di Indonesia. Banyak pendapat mengatakan bahwa peritel tradisional saat ini
posisinya makin tergencet oleh peritel modern.
Salah
satu penyebabnya adalah pertumbuhan peritel modern yang makin agresif. Di sisi
lain, jumlah peritel tradisional juga terus tumbuh. Dengan demikian, dalam satu wilayah, mereka
saling bersaing. “Pertumbuhan pengecer
yang tinggi, terutama pengecer modern, merupakan refleksi pertumbuhan
ekonomi dan meningkatnya pendapatan masyarakat yang berimplikasi pada
meningkatnya kebutuhan untuk belanja dengan cara modern yang nyaman, Hal ini
akan berdampak akan semakin ketatnya persaingan antar pengecer sehingga
menuntut pengecer menemukan diferensiasinya agar tidak harus bertarung harga,”
kata FM. Siddharta, konsultan Trade Marketing Indonesia.
Di
daerah-daerah atau kantong-kantong tertentu yang dinilai produsen prospektif
untuk produk atau merek mereka, produsen berani memberi insentif lebih agar
pengecer tersebut bersedia melebihkan perlakuannya terhadap merek mereka.
Tujuannya, agar merek yang berada di tengah-tengah kerumunan merek pesaing,
merek tersebut bisa menjadi pilihan pelanggan.
Dengan
kata lain, yang terjadi sebenarnya adalah sikap produsen yang melihat pengecer sebagai salah satu pelanggan yang
harus diyakinkan untuk menjual dan mempromosikan produk-produk mereka.
Karenanya, sebagian besar produsen melihat bahwa tantangan utama adalah
memperoleh kerjasama dengan peritel. Untuk itu mereka sering menggunakan
motivator positif , seperti marjin yang lebih tinggi, transaksi khusus,
premium, tunjangan iklan bersama, tunjangan pajangan (display allowance), dan
kontes penjualan. Bilamana mereka puas
dengan semua layanan itu, mereka tidak akan segan-segan untuk memenuhi
kebutuhan produsen tadi.
Sehingga
tak diragukan lagi bahwa kepuasan peritel, merupakan faktor utama yang dapat
membuat makin tinggi komitmen mereka.
Kepuasan disini didefinisikan sebagai pernyataan positif secara keseluruhan
yang dihasilkan dari penilaian dari semua aspek hubungan produsen dan peritel
(Frazier, Gill dan Kale 1989, Gaski dan Nevin 1985).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar