Edhy Aruman - Wartawan Utama (2868-PWI/WU/DP/VI/2012...), pernah menjadi redaktur di majalah SWA. Aruman pernah meniti karier kewartawanan di harian Jawa Pos, Berita Buana, majalah Prospek, Harian Republika dan editor eksekutif di Liputan 6 SCTV, sebelum pindah ke SWA (http://www.detik.com/berita/199902/990212-1319.html). Lulus S3 Komunikasi IPB, Redaktur Senior Majalah MIX, dosen LSPR Jakarta, dosen PR FISIP UI (2015-2022), dan salah satu ketua BPP Perhumas periode 2011-2014.
Rabu, 05 Agustus 2015
Salah Kaprah dalam Strategi Membendung Produk Asing
Sampai saat ini sebagian besar hasil pertanian masih diposisikan sebagai barang komoditi. Ini yang melatarbelakangi pola konsumsi konsumen di Tanah Air dalam membeli buah-buahan misalnya. Konsumen jarang membeli buah-buahan berdasarkan pertimbangan brand tertentu.
Kalaupun ada, masih dikalahkan oleh pertimbangan atribut produk seperti rasa manis, harga, atau asal produk seperti manga Indramayu, jeruk medan, dan sebagainya. Jangan heran, baik di outlet modern maupun tradisional, banyak sekali pedagang yang menawarkan produk buah-buhaan dijual kiloan tanpa kemasan.
Ironisnya, buah-buahan yang beredar pun di pasar, terutama modern, mulai didominasi oleh produk impor seperti asal Cina—yang notabene senantiasa menawarkan harga murah. Dikhawatirkanm, situasinya makin parah sejalan makin dekatnya pemberlakuan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) pada akhir tahun 2015.
“Kalau kita tidak siap, dikhawatirkan konsumsi saudara-saudara kita, anak cucu kita nantinya beralih ke buah-buahan impor, seperti dari Thailand, Taiwan, Tiongkok, Australia atau Amerika dan lain-lain,” kata Wakil Gubernur Lampung Bakhtiar Basri, di Bandarlampung, Kamis.
Padahal, Indonesia banyak menghasilkan beragam varitas buah-buahan yang masing-masing daerah memiliki karakteristik-karakteristik sendiri. Ada manga inramayu, manga probolinggo, magga kuweni, dan sebagainya. Demikian pula durian, apalagi kopi yang keragaman karateristinya sangat bergantung pada ketinggian lokasi tumbuhnya.
Menjelang diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) Tahun 2015 mendatang, pemerintah memang menetapkan aturan, seluruh komoditi buah nasional diwajibkan mengantongi sertifikasi produk Good Agriculture Products (GAP). Label GAP ini menjadi syarat bagi komoditi buah untuk bisa masuk ke pasar ASEAN.
Namun, persoalan utama tidak hanya pada sertifikat itu saja. Persoalan branding juga menjadi persoalan yang cukup penting. Konsumen melihat sebuah produk sebagai sekumpulan atribut (bundle of attributes) dengan kemampuan yang berbeda-beda untuk setiap produk.
Konsumen membedakan satu produk dengan produk yang lainnya melalui atribut ini. Sehingga sering muncul pasar untuk suatu produk dapat begitu tersegmen mengacu pada atribut yang menonjol untuk kelompok konsumen yang berbeda.
Dengan adanya atribut yang melekat pada suatu produk yang digunakan konsumen untuk menilai dan mengukur kesesuaian karakteristik produk dengan kebutuhan dan keinginan. Atribut produk adalah faktor yang melekat pada suatu produk.
Keputusan mengenai atribut produk merupakan unsur-unsur produk yang dipandang penting oleh konsumen dan dijadikan dasar dalam keputusan pembelian. Tingkat kinerja produk dapat diukur atau dilihat pada tingkat kepentingannya berdasarkan atribut-atribut kunci yang sudah diidentifikasi oleh konsumen.
Atribut produk ini merupakan titik tolak penilaian bagi konsumen tentang terpenuhi atau tidaknya kebutuhan dan keinginan konsumen yang diharapkan dari suatu produk yang sebenarnya. Itu sebabnya , tantangannya adalah bagaimana memudahkan konsumen mengidentifikasi atribut-atribut yang menyertai suatu produk.
Langkah itu bisa dilakukan melalui branding sehingga bisa membangun sikap tertentu terhadap suatu produk di dalam pikiran konsumen. Langkah ini bukanlah tentang apa yang Anda lakukan terhadap sebuah produk melainkan apa yang Anda perbuat terhadap pikiran konsumen.
Dalam mencari keunggulan kompetitif dari suatu pembedaan produk, praktisi komunikasi pemasaran sering membuat salah satu dua kesalahan. Yang pertama, mempromosikan penampilan/sifat-sifat produk yang tidak begitu penting artinya bagi konsumen atau menerima sebagaimana adanya. Misalnya, produsen buah-buahan memiliki toko yang jalan-jalan yang lebih luas dari pada toko lainnya. Pertanyaannya adalah apakah ini penting artinya bagi konsumen buah?
Kesalahan kedua yang dibuat oleh praktisi komunikasi pemasaran adalah mengabaikan manfaat-manfaat konsumen yang berbagi dengan merek-merek lainnya, tetapi belum dikomunikasikan kepada konsumen. Misalnya, sebagian bir diminum pada malam hari.
Michelob melihat kenyataannya sebagai peluang dan memanfaatkannya sebagai sebuah sebuah tema promosi, “Malam adalah Milik Michelob.” Dengan mengkombinasikan tema itu dan komunukasi pemasaran, terutama iklan, yang canggih, perusahaan ini berhasil membedakan dirinya sendiri dari bir-bir terkenal lainnya.
Komoditas buah-buahan, Provinsi Lampung termasuk lima besar sentra produksi nasional dengan rata-rata total produksi per tahun untuk 22 jenis buah-buahan sebesar 1,4 juta ton. “Jumlah itu memberikan kontribusi terhadap produksi nasional sebesar 7,3 persen dan terhadap produksi Sumatera sebesar 26,9 persen. Dari rata – rata total produksi tersebut,” kata Bakhtiar.
Ia menyebutkan prakiraan permintaan pasar lokal atau konsumsi untuk Lampung sebesar 42 persen, dan kapasitas pasokan produk buah-buahan Lampung ke daerah lain di Pulau Jawa, sebesar 58 persen.
Komoditas unggulan buah-buahan Lampung adalah pisang, manggis, pepaya, nenas, durian, dan sayurannya adalah cabai. Produksi pisang segar Lampung tahun 2013 mencapai 984.298 ton atau meningkat 20,40 persen jika dibandingkan produksi tahun 2012 sebesar 817.606 ton, dengan kontribusi terhadap nasional sebesar 13,21 persen (urutan ke tiga).
Penyumbang terbesar produksi pisang Lampung adalah Kabupaten Pesawaran dengan realisasi produksi tahun 2013 mencapai 538.416 ton atau 54,70 persen dari produksi Provinsi Lampung, sehingga layak ditetapkan sebagai kawasan pisang nasional.
Berbagai jenis produk pisang yang dipasarkan melalui Pelabuhan Bakauheni rata-rata sebesar 577 ton per hari, dengan tujuan pasar ke DKI Jakarta (47,40 persen), Jawa Barat (29,10 persen) dan Banten (21,70 persen). “Pisang segar dalam bentuk curah atau ramesan yang keluar dari Kecamatan Padangcermin, Kabupaten pesawaran rata-rata per hari sebesar 70 ton,” katanya pula.
Produksi manggis Lampung pada 2013, mencapai 3.715 ton yang diproduksi dari sentra utama di Kabupaten Tanggamus dengan kontribusi sebesar 81,90 persen. Sebagian besar produk manggis Lampung dipasarkan ke Pulau Jawa, baik untuk konsumsi lokal maupun tujuan ekspor. “Produk unggulan dari Tanggamus adalah Manggis Saburai yang telah mendapatkan Sertifikasi Prima 3,” kata Wagub pula.
Sebagai salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan pertanian, kinerja produksi tersebut harusnya tidak menjadikan Provinsi Lampung berpuas diri. Lampung masih masih menghadapi permasalahan yang mendasar pada produk pertanian termasuk buah-buahan, yaitu belum optimalnya nilai tambah dan rendahnya daya saing.
Persoalan kedua, perlahan tetapi pasti, terjadi penurunan kepercayaan terhadap kualitas produk lokal, dan kemampuan merek lokal untuk bisa bersaing di pasar sendiri. Jika dulu produsen berlomba membuat nama mereknya ‘keBarat-baratan’ agar dianggap keren dan bermutu tinggi, maka trend terbaru adalah merek-merek lokal dibuatlah “keCina-Cinaan”.
Gebrakan meluncurkan merek yang nasionalis adalah sebuah gebrakan yang berdampak positif secara luas. Cara ini perlu dilakukan agar tidak seenaknya saja jalan pintas, mencari sukses dengan menggunakan brand yang berbau asing misalnya, dan kemudian meraup keuntungan sebanyak-banyaknya, di atas penderitaan produk lokal lain yang sedang berjuang melawan produk asing.
Intinya, di era sekarang ini, Anda tidak cukup hanya menemukan atau mengungkapkan sesuatu yang baru, tetapi juga harus masuk ke dalam pikiran konsumen yang Anda target. Dalam konteks ini, komunikasi pemasaran harus menyampaikan sebuah pesan yang memisahkan produk dari semua produk lainnya (pesaing).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar