Bisnis berbasis sharing economy berkembang pesat. Namun realitasnya,
sharing economy juga memunculkan sikap negatif. Bagaimana dengan crowd economy?
Dalam beberapa tahun terakhir, bisnis sharing economy menunjukkan
perkembangan yang cepat. PricewaterhouseCoopers memperkirakan nilai transkasi
bisnis ini mencapai $ 335 miliar pada
2025. Lonjakan yang luar biasa karena saat ini “baru” mencaai $ 15 miliar.
Namun ada temuan yang
menarik dari hasil survei yang dilakukan First Advantage. Data temuan hasil
survey itu menunjukkan hampir 86 persen orang Amerika akan berpartisipasi dalam sharing economy jika
penyedia transparan. Artinya, konsumen sangat antusias menggunakan jasa bisnis
ini, namun dengan syarat ada kejujuran engelola sehingga konsumen percaya.
Dengan kata lain,
bisnis ini tidak akan berkembang jika konsumen skeptis terhadap kondisi aturan
main para penyedia jasa yang dibutuhkannya, apakah mereka bermain sesuai
aturan, dan transkasinya mulai dari booking hingga sistem pembayarannya aman.
Sebab seperti diketahui, dalam bisnis ini, transaski mulai dari pemesan hingga
pembayaran dilakukan dengan sistem online. Ini dapat dilihat dari hasil survey
Advantage dimana dikatakan bahwa untuk jasa peer-to-peer lending lebih dari 80
persen resonden mengatakan bahwa bisnis ini membutuhkan sistem keamanan
tambahan. Hanya 11 persen yang mengatakan tidak ada pemeriksaan tambahan atau
langkah-langkah keamanan yang diperlukan untuk setiap jenis layanan.
Temuan lainnya, di
antara responden yang akrab dengan sharing economy, orang-orang yang
usianya lebih muda lebih mungkin untuk
berpartisipasi di dalamnya. Mereka yang berusia 18-44, 85 persen mengatakan
bahwa mereka telah menggunakan layanan sharing economy, sementara mereka yang
berusia 45-68, hanya 15 persen menjawab dengan tegas.
Namun demikian, jarang
ditemui bahwa penyedia jasa ini jarang promosi melalui iklan. Word-of-mulut
memainkan peran dalam pertumbuhan sharing economy. Lebih dari lima puluh tiga
persen dari mereka yang menggunakan layanan ini direkomendasikan oleh seorang
teman. Konsekuensi dari romosi WOM adalah bahea pengelola bisnis jasa ini harus
mempertahankan dan terus meningkatkan kepercayaan baik mereka yang menyediakan
fasilitasnya atau penggunanya.
Beberapa waktu
lalu, Pemerintah AS mengungkapkan
kekhawatirannya atas munculnya masalah-masalah dalam bisnis sharing
economyberbagai platform yang menyediakan layanan ekonomi berbagi itu.
Pemerintah AS juga tengah menyelidiki kemungkinan pelanggaran yang dilakukan
Uber, platform penyedia layanan angkutan, yang bisa menekan bisnis taksi
tradisional. Beberapa pengusaha taksi telah mengajukan keberatan terkait
keberadaan Uber. Masalah lain adalah sejauh mana penyedia platform berhak
memiliki data mobilitas pelanggan serta sejauh mana mereka memproteksi privasi.
Platform penyedia
layanan akomodasi AirBnB terpaksa memberikan ganti rugi kepada pemilik rumah
setelah tamunya melakukan perusakan dan pelanggaran. AirBnB berusaha meminta
data formal pemilik rumah dan tamunya. Namun, ada saja kejadian yang mencoreng
bisnis berbagi kamar yang bisa menggerus bisnis perhotelan. Masalah-masalah
seperti ini muncul di tengah maraknya gairah ekonomi berbagi.
Orang-orang yang bergerak di teknologi sering mengklaim
bahwa dengan teknologi, model bisnis baru kini bisa mengeksploitasi kemungkinan
membuat sesuatu yang luar biasa. Pada kenyataannya, teknologi saja tidak cukup.
Mereka masih membutuhkan hubungan dengan pelanggan yang bentuknya kini sama
sekali baru, meski memiliki satu kesamaan, yakni pelanggan memiliki kontrol
atas seluruh proses, dari awal sampai akhir. Kuncinya adalah layanan optimal.
Ini yang seringkali membuat pelanggan berbahagia.
Hubungan sosial yang didorong oleh web dan jaringan mobile telah
menciptakan kolaborasi dan kerjasama tidak pernah terjadi sebelumnya. Ironisnya
semua teknologi ini lah membantu meningkatkan interaksi manusia ini bukan persoalan
suka atau berbagi. Teknologi memfasilitasi hubungan pelanggan baru. Pengalaman
pelanggan menjadi semakin penting sebagai sumber keunggulan kompetitif. Dalam
sebuah penelitian, 73% responden menyatakan bahwa bahkan ketika saluran digital
perusahaan bekerja dengan sempurna, mereka masih menginginkan memiliki akses ke manusia secara nyata.
Digital customer relationship bisa mengarahkan perusahaan
pada keunggulan operasional digital (efisiensi dan peningkatan pengalaman
pelanggan). Bagi sebagian besar perusahaan, ini akan menjadi suatu kondisi
minimum untuk sukses. Akan tapi sekadar operasi digital tidak akan cukup untuk
membedakan mereka dari pesaing. Dengan kata lain, transformasi digital memang
dapat menjangkau sesuatu sesuatu yang jauh, mahal dan sebelumnya sepertinya
sulit. Tapi itu saja tidaklah cukup.
Membawa orang untuk berbagi kepentingan bersama selalu
menciptakan suasana yang menyenangkan. Jika Anda mengetahui sebuah kafe yang
berhasil membuat pengunjungnya bahagia, itu mungkin itu café favorit Anda dan
juga kafe favorit banyak orang lain.
Jika pemilik café ini kreatif, memiliki empati dan gairah, dia dapat mengubah tempat itu menjadi
tambang emas. Ini adalah elemen yang dibutuhkan untuk menciptakan hubungan
manusia yang sempurna. Itulah inti dari membangun hubungan melalui serangkaian
interaksi manusia. Hubungan pelanggan modern tidak hanya butuh digitalisasi,
tapi juga perlu elemen emosional yang kuat.
Disinilah muncul gagasan untuk menggunakan model crowd economy
ketimbang sharing economy. Crowd economy merupakan pengembangan dari
crowdsourcing. Secara sederhana, crowdsourcing merupakan cara kolektif dengan
mengajak khalayak umum berpartisipasi untuk memecahkan masalah yang dihadapi
oleh seorang individu maupun organisasi. Umumnya, masalah akan dipecahkan
sendiri secara individual maupun institusional oleh pihak internal atau
dialihdayakan (outsourced) kepada pihak tertentu sebagai pihak ketiga.
Dalam bentuk yang lebih kecil dikenal dengan istilah
Expertsource. Pekerjaan yang dialihdayakan kepada sekelompok para ahli termasuk
dalam implementasi jenis ini. Eli Lily and DuPont memberdayakan jaringan
periset handal dan para teknokrat dan memberikan penghargaan dalam bentuk finansial
bagi pihak apabila dapat memecahkan masalah teknis nan kompleks yang dihadapi.
P&G menggunakan pasar yang demokratis Ideagoras dengan
forum InnoCentive.com dimana para ilmuwan bekerja sama untuk memecahkan masalah
riset dan pengembangan dan memperoleh sejumlah uang sebesar USD 10 ribu sampai
dengan USD 100 ribu sebagai imbalannya.
Sementara itu konsumen yang berperan sebagai produsen dengan
menciptakan produk untuk digunakan sendiri di permainan Second Life dikenal
sebagai Prosumer. Aktivitas pekerjaan yang dilakukan berulang atau merupakan
bagian dari proyek besar seperti Amazon Mechanical Turk dikenal sebagai
worksource. Menurut Jeff sendiri, ada berbagai tipe crowdsourcing: Crowdvoting,
Crowdfunding, Microwork, Prize Contest dan Wisdom of the Crowd.
Layanan populer dari Threadless.com dimana kalangan pecinta
T-Shirt dapat mengirimkan desain yang mereka inginkan dan memilih desain mana
yang akan diproduksi merupakan contoh Crowdvoting, CrowdSpring, GetAFreelancer,
TopCoder dan 99designs adalah contoh lain.
Crowd economy adalah pemberdayaan, inklusif, mengganggu serta
manusia sentris. Nilai-nilai yang berpusat pada kemanusiaan tertanam dalam
aplikasi crowd economy. Ini merupakan aksi kolektif, bukan tentang perilaku massa tetapi solusi kerjasama
yang memiliki sumber daya sangat bertarget uuntuk membantu masyarakat sehingga
menjadi lebih baik hidup.
Crowd economy menciptakan pengalaman nyang berarti dan nilai
bersama. Crow economy mewujudkan budaya bersama penciptaan nilai dan tanggung
jawab sosial yang membedakan diri dari pemikiran dan praktek ekonomi
tradisional. Orang didorong terus berinisiatif untuk mewujudkan misi yang lebih
besar untuk menciptakan solusi yang bekerja untuk, dan, dengan semua pemangku
kepentingan. Hubungan pelanggan modern tidak hanya butuh digitalisasi, tapi
juga perlu elemen emosional yang kuat. Bagian ketiga buku ini menggambarkan
saat ketika unsur manusia (melalui emosi) membawa nilai tambah bagi hubungan
pelanggan digital.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar