Setelah Perang Dunia II dan dipelopori oleh Marshall Plan
tahun 1949, bidang pembangunan telah berkembang jauh. Pada 1950-an dan 60-an,
pembangunan hanya diartikan dengan indikator pertumbuhan ekonomi belaka dan kemajuan bangsa
diukur dari segi produk nasional bruto mereka (Rist, 1999).
Kini semua itu berubah. Hari ini, praktek-praktek
pembangunan berfokus pada pengembangan potensi manusia dan bekerja untuk
memperbaiki kualitas hidup masyarakat. Implikasinya adalah bahwa keberhasilan
pembangunan bukan lagi dilihat dari pertubuhan ekonomi belaka, namun diukur
dari kemajuan sosial, ekonomi dan kebebasan masyarakat untuk berpartisipasi
dalam proses politik yang mempengaruhi kehidupan mereka.
Partisipasi menguntungkan karena pengelola perubahan dapat
memperoleh informasi tentang perspektif stakeholder, terutama yang menyangkut
orientasi pada perubahan (Lines 2004). Dalam kaitan ini, stakeholder tidak
hanya merasa terlibat dan mampu memberikan masukan bermanfaat, partisipasi juga
menjadi masukan bagi para pengelola terkait dengan pengambilan kebijakan (Courpasson
et al 2012). Secara keseluruhan,
stakeholder yang merasa memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam
perencanaan perubahan cenderung menunjukkan keterlibatan yang lebih besar dan
sering lebih mendukung perubahan (Jimmieson et al 2008).
Dengan demikian, pembangunan didefinisikan sebagai proses
yang berpusat bahwa pembangunan yang memberikan kesempatan dan memberdayakan
masyarakat terutama yang paling terpinggirkan dan memberi mereka kontrol atas
hidup mereka (Melkote & Steeves, 2001) dan dapat membuat keputusan untuk
memperbaiki kondisi yang ada (Papa, Singhal, Ghanekar & Papa, 2000; Rogers
& Singhal, 2003; Putih, 2003). Disinilah pentingnya pemahaman dan pengakuan
bahwa hak rakyat untuk terlibat dan didengar adalah pusat pembangunan
partisipatif dan ini dicapai melalui pemberdayaan (Melkote & Steeves,
2001).
Banyak ahli berpendapat bahwa pada dasarnya pemberdayaan
memiliki dua dimensi. Pertama, tingkat pribadi, dimana orang-orang mendapatkan
rasa percaya diri dan meningkatkan harga diri mereka untuk mengambil
tugas-tugas baru dan menjadi peserta aktif dalam kegiatan pembangunan. Kedua, tingkat
grup, di mana masyarakat menjadi diberdayakan dan akses terhadap informasi dan orang
memiliki kesempatan untuk berpartisipasi sebagai pengambil keputusan (Melkote
& Steeves, 2001).
Pemberdayaan dioperasionalisasikan dengan mencapai lapisan
masyarakat yang paling tertindas, pelatihan untuk yang tertindas dan menarik
mereka dalam dialog, dan dengan menjadi fasilitator dalam proses perubahan.
Dengan model pemberdayaan seperti itu, kelompok masyarakat bawah, perempuan
buta huruf diharapkan menjadi cukup percaya diri untuk ikut mengambil peran dan
tanggung jawab mereka sebagai agen pembangunan.
Kurangnya partisipasi mencerminkan proses komunikasi yang
berlangsung cenderung satu arah atau linear, tidak partisipatif atau
interaktif. Dalam komunikasi model interaktif, pendengar atau penerima pesan
memberikan umpan balik (feedback) sebagai tanggapan atas suatu pesan yang
diterima (Wood 2010). Komunikasi partisipatif mengasumsikan adanya proses
humanis yang menempatkan individu sebagai aktor aktif dalam merespons setiap
stimulus yang muncul dalam lingkungan yang menjadi medan kehidupannya. Individu
bukanlah wujud yang pasif yang hanya bergerak jika ada yang menggerakkan.
Individu adalah wujud dinamis yang menjadi subyek dalam setiap perilaku yang
diperankan termasuk perilaku komunikasi (Hamijoyo 2005).
Komunikasi partisipatif adalah proses demokratis yang
melibatkan masyarakat dalam pembangunan melalui kesadaran diri dan kesadaran
lingkungan mereka. Hal ini dicapai melalui dialog, pemikiran kritis dan
tindakan kolektif (White, 2003). Komunikasi partisipatif berusaha untuk
melibatkan semua orang, terutama mereka yang sering dibungkam dan tidak
memiliki akses ke informasi atau pengambilan keputusan. Pada intinya, proses
komunikasi partisipatif membantu mewujudkan tiga prinsip kesetaraan, integrasi
dan pemberdayaan.
Ini berarti peran komunikasi untuk pembangunan bukan hanya
transmisi informasi dan ide-ide tentang pembangunan, tetapi sarana melalui mana
orang mendapatkan kontrol atas kehidupan mereka (Melkote & Steeves, 2001).
Ini mengimplikasikan perlu adanya lensa unik ketika seseorang ingin memahami
bagaimana komunikasi bisa menjadi pusat partisipasi masyarakat dalam
proyek-proyek pembangunan dan pentingnya komunikasi dalam mengorganisir
masyarakat untuk tindakan kolektif.
Disini memerlukan pemahaman baru atas peran agen perubahan
dalam pemberdayaan masyarakat dari sekadar menyampaikan pesan-pesan pembangunan
ke komunikasi partisipatif. Dalam tiga dekade terakhir, program pembangunan
telah mengadopsi pendekatan partisipatif yang memungkinkan orang untuk
berpartisipasi dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program yang
bertujuan kesejahteraan mereka (Jacobson, 1994; Morris, 2003; Servaes, 1996; White,
1994, 2003 ).
Namun, tidak semua program pembangunan benar-benar
partisipatif, dan bahkan dalam paradigma pembangunan partisipatif, program
dapat diplot pada sebuah kontinum dari partisipasi sebagai sarana (kolaborasi
antara agen perubahan dan masyarakat) untuk berpartisipasi sebagai pencapaian akhir
(pemberdayaan masyarakat) (Oakley & Kahssay, 1999; White, 1996, 2003).
Saat ini, internet dan media komunikasi elektronik lainnya
masuk ke daerah-daerah. Logikanya, masuknya internet membuat seseorang atau
kelomok menjadi semakin produktif. Nyatanya, beragam persoalan membuat
pertanian di Indonesia tidak berkembang seperti yang diharapkan. Hampir setiap
tahun muncul ersoalan disparitas harga.
Beras menghilang dari pasaran, harga daging melonjak, dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar