Dalam suatu organisasi, sumber daya manusia bukan hanya
sebagai alat dalam produksi tetapi memiliki peran penting dalam kegiatan
produksi suatu organisasi. Kedudukan SDM saat ini bukan hanya sebagai alat
produksi tetapi juga sebagai penggerak dan penentu berlangsungnya proses
produksi dan segala aktivitas organisasi.
SDM memiliki andil besar dalam menentukan maju atau
berkembangnya suatu organisasi. Oleh karena itu, kemajuan suatu organisasi ditentukan pula bagaimana
kualitas dan kapabilitas SDM di dalamnya. Buku yang ditulis Priyantono Rudito ,
kini Direktur Human Capital Management PT Telekomunikasi Indonesia Tbk., ini
mengulas pengalaman Telkom dalam melakukan akselerasi pembentukan
manusia-manusia hebat berkelas dunia.
Awalnya, ketika Telkom memutuskan untuk mengembangkan dan
mentransformasi perusahaan, manajemen Telkom memilih strategi yang menempatkan
orang (human capital) sebagai simpul dari keseluruhan proses tersebut. Konsekuensinya,
munculnya kebutuhan untuk mengembangkan orang-orang yang berkualifikasi great
people, great leader dengan global standars.
Atas dasar itu, Pryantono Rudito, penulis buku ini,
berpendapat bahwa sejatinya fungsi sebenarnya dari sebuah perusahaan adalah
menciptakan pemimpin. Ketika sebuah organisasi mampu menghasilkan para pemimpin
dalam jumlah besar maka para pemimpin hebat itu akan menjadi sandaran
keberlangsungan sukses organisasi tersebut dalam jangka panjang.
Pertanyaannya sekarang adalah darimana sumber daya manusia
tersebut? Dalam pikiran Rudito ada tiga pilihan sumber talenta tersebut.
Pertama membeli SDM mumpuni di pasar. Kedua, mengembangkan dari dalam, dan
ketiga, gabungan keduanya. Namun setelah ditimbang-timbang untung ruginya, maka
diputuskan untuk memilih opis ketiga, yakni menggabung antara membeli SDM
mumpuni dan mengembangkan sendiri.
Dari mana Rudito memulai? Ada tiga hal yang menginspirasi
Rudito. Pertama adalah penulis begitu terpengaruh oleh gagasan Thomas Friedman,
seorang wartawan the New York Times seperti yang dituangkannya adalam buku The
World Is Flat!
Kedua, saat Rudito mendapat mandate dari CEO Telkom untuk
mendukung program International Expansion, yakni upaya Telkom untuk go global
dengan menancapkan bisnisnya di berbegai negara yang menjadi target pasar seert
Hongkong, Australia, Timor Leste, Malaysia, dan sebagainya. Gagasan tersebut
melahirkan Global Talent Program yang mengirimkan 1000 orang karyawan ke luar
negeri sepanjang tahun 2013 agar mereka merasakan bagaimana bekerja di luar
negeri.
Ketiga, adalah bakal berlakunya Masyarakat Ekonomi Asean
(MEA). Ini bisa dianggap sebagai perdagangan bebas . Jika Indonesia tidak
menyiapkan orang-orang yang mampu bersaing, maka Indonesia hanya akan menjadi
pasar.
Buku ini terbagi dalam dua bagian. Bagian pertama membahas
tentang strategi dan kebijakan yang dijalankan Telkom dalam mengakselerasi
pembentukan talenta global. Dalam konteks ini Telkom menggunakan model 5E.
Bagian kedua, menampilkan studi kasus pelaksanaan ekspansi internasional dan
akselerasi penyiapan talenta.
Ketika membahas konsep, Rudito menawarkan model 5E
(Enthusiasm, Eduknowledge, Exposure, Equity, Enabler), sebuah konsep yang
dibangun Telkom untuk mengakselerasi penciptaan pemimpin-pemimpin hebat
berkelas dunia. Ge Model 5E merupakan strategic leverage yang
mentransformasikan Telkom menjadi a truly global company.
Enthusiasm berarti keinginan (desire) yang melahirkan
kesungguhan (passion) karena adanya harapan (hope) tertinggi untukmenjadi
talenta terbaik berkelas dunia. Untuk mempermudah penjelasan kredo ini, Rudito
memberikan ilustrasi dirinya saat ingin mencapai skor kemampuan bahasa Inggris
IELTS ketika mau sekolah di Australia. Berbekal niat, keinginan, dan
kesungguhan yang luar biasa untuk bisa belajar di luar negeri, Rudito mampu
mencapai skor IELTS yang diharapkan
Kredo kedua adalah Eduknowledgeaja (pembelajaran atau
learning). Dalam pemahaman Rudito, pembelajaran berarti proses akuisisi
pengetahuan (knowledge) dan ketrampilan (skill) yang sesuai dengan dinamika dan
perkembangan bisnis di tingkat global. Kredo ini dibangun dengan asumsi bahwa
agar bisa kompetitif di tingkat global, perusahaan harus memiliki karyawan yang
belajar terus menerus mengikuti perkembangan bisnis global.
Yang ketiga adalah Exposure. Ini adalah elemen terpenting
dalam pendekatan strategic leverage untuk mengakselerasi talenta hingga
mencapai kapasitas kelas dunia. Ini diabangun dari asumsi bahwa orang Indonesia
tidak bisa bersaing di luar negeri bukan karena mereka tidak memiliki kemampuan
teknis, melainkan karena tidak memiliki cukup kesempatan bekerja dan
mengekspresikan kemampuannya di luar negeri.
Yang keempat adalah Equity. Dalam pandangan Rudito,
eduknowledge dan exposure tidak akan langgeng jika pengembangan talenta global
tidak diikuti dengan terciptanya kinerja bisnis. Karena itu, orang yang
dikembangkan haruslah memiliki talenta global readiness dan mereka harus mampu
mencipatakan nilai berarti bagi perusahaan.
Rudito membagi equity ke dalam tiga jenis; yakni people
equity, market equity, dan financial equity. People equity berarti yang
bersangkutan mampu meningkatkan akumulasi penegtahuan, ketrampilan dan
kompetensi di tingkat karyawan maupun organisasi. Yang kedua, yang bersangkutan
mampu meningkatkan kinerja pasar seperti ekuitas merek, kepuasan konsumen, dan
loyalitas. Yang ketiga, yang bersangkutan mampu meningkatkan kinerja keuangan
sepertipendapatan dan nilai pasar perusahaan.
Kredo kelima adalah Enabler. Ini adalah platform, sistem,
dan infrastruktur yang memungkinkan empat elemen lainnya (enthusiasm,
eduknowledge, exposure, dan equity) bisa terwujud. Dalam konteks Telkom,
Enabler adalah CorpU yang didalamnya terdapat berbagai sistem, kebijakan,
programyang memfasilitasi proses akselerasi pembentukan talenta global.
CorpU seperti kawah candradimuka bagi pemimpin masa depan
Telkom. Sebagai center of excellence, CorpU memiliki tiga fungsi utama.
Pertama, sebagai center of chiefship yang bisa melahirkan great leader kelas
dunia. Kedua, sebagai center of competence yang dapat melahirkan great people.
Ketiga, sebagai center of certification yang akan melahirkan SDM yang memiliki
global standard.
Buku ini seakan menunjukkan betapa Telkom sangat menghargai
proses kerja ketimbang hasil jangka pendek. Ilustrasinya, ketika Telkom
mempromosikan Andy Revara menduduki posisi Band Posisi I di Myanmar. Pada awal
2012, Myanmar membuka tender proyek nation-wide Telecommunications. Boad of
Director Telkom sangat berharap memperoleh salah satu dari dua lisensi operator yang akan
ditenderkan itu.
Andy menginjakkan kakinya di Myanmar pada Januari 2013.
Posisinya adalah sebagai coordinator satuan tugas the Winning Team Myanmar dan
dibebani dua target tugas, pertama mendirikan perusahaan di Myanmar, dan kedua
mendapatkan bisnis inlicense.
Beberapa bulan setelah kemudian, ada tender mobile license
yang mencakup lisensi untuk seluruh wilayah negara bagi pemenangnya. Telkom
ikut dan harus bersaing dengan 90 perusahaan lainnya. Pemenangnya Telanor
(Norwegia) dan Oredo (Qatar) yang didukung penuh negaranya. Ini berarti Telkom
kalah, karena harga lisensi yang ditawarkan sangat tinggi.
Apakah Telkom menghukum Andy? Tidak. Agustus 2013 andy
ditunjuk sebagai country manager Telin Myanmar Branch. Sadar bahwa untuk
mendapatkan bisnis unlicensed tidak gampang, Andy melakukan pendekatan
emosional dengan mantan pemerintah Myanmar yang pada tahun 1980an pernah
ditugaskan ke Indonesia selama enam bulan.
Disini ada yang terpotong dari cerita tersebut. Namun pada
pragraf berikut, penulis buku menceritakan sukses Andy memenangkan IT
Transkripst. Itulah bisnis pertama mereka. Setelah itu, ada beberapa proyek
telekomunikasi lainnya di Myanmar yang dimenangkan Telkom.
Yang menarik adalah, di akhir paragraph yang membahas topic
ini, penulis mengutip pendapat Arief Yahya yang saat itu menjabat Direktur
Utama Telkom yang “mengatakan bahwa kekakalahan atau kegagalan bukanlah suatu
kejahatan. Di saat kekalahan melanda maka yang harus dilakukan adalah
menguatkan kembali tekad untuk melanjutkan perjuangan. Memahamikebali bahwa
kita adalah orang-orang terpilih.”
Bagaimanapun, buku ini layak dibaca oleh mereka yang
mncintai dan yang berkecimpung dalam pembinaan sumber daya manusia. Kepiawaian
Rudito dalam memperkuat argumentasi teorities makin memperkuat bobot kualitas
buku ini. Karena buku ini ditulis oleh tokoh yang terlibat langsung, buku ini
seakan memberikan gambaran utuh tentang sebuah perubahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar