Suatu saat Anda mungkin pernah jengkel. Ketika Anda
meluncurkan produk baru, yang menurut
Anda memiliki keunggulan dibandingkan pesaing atau bahkan sama sekali baru –
tiba-tiba dalam waktu yang tidak begitu lama, pesaing berat Anda yang kebetulan menjadi market leader
untuk kategori produk itu meluncurkan produk yang sama.
Karena market
leader, maka ketika Anda meluncurkan produk baru di dalam kategori itu, Anda
bisa dicap sebagai penggoyang pasar. Respon yang biasa terjadi adalah sang
market leader berusaha menghambat pertumbuhan penjualan merek Anda dan membalas
'serangan' Anda. Pesaing Anda itu pun gencar berpromosi, sedikit demi sedikit
pasar yang pernah dapat kini digerogoti oleh pesaing Anda tadi.
Masih ingat bagaimana
tanggapan Indofood saat Mie Sedaap masuk pasar mie instant Indonesia. Kala itu,
Indofood sempat kelabakan karena sedikit-demi sedikit pasar Mie Sedaap
membesar. Awalnya Indoofod mengikuti cara bermain Mie Sedaap di pasar dengan
menawarkan harga murah atau diskon dan hadiah. Beruntung respon Indofood itu
tidak terlalu lama. Indofood menggunakan Supermi untuk melawan Mie Sedaap
sambil melakukan konsolidasi untuk Indomie.
Indofood mengubah
desain packaging Supermi menjadi lebih mirip Mie Sedaap, lengkap dengan
memperkecil atau menampilkan brand degan ukuran sama, namun tipografi dari
”Sedaap” yang berada di bawah brand Supermi sengaja dibuat seukuran brand Mie
Sedaap. Warnanya juga dipermak habis menyerupai kemasan Mie Sedaap.
Beberapa peminat
pemasaran menilai ini merupakan langkah panik dari Indofood. Namun, Indofood
bergeming dengan kemasan itu. Promo pun diusung dengan iklan tertema Gobang,
Goso, Gokar mengikuti varian rasa produk yang ditawarkannya plus bintang iklan
oleh sederet artis yang termasuk dalam kelompok group band yang saat itu sedang
naik daun.
Dengan kata lain,
Indofood mencoba menggunakan strategi pembingungan konsumen dengan menampilkan
desain kemasan yang sama yang dibarengi dengan iklan yang cukup gencar.
Iklan-iklan Supermi pun kini semakin bervariatif meski saat ini cenderung
dikurangi. Indofood kini seperti menggenjot Sarimi dengan memunculkan iklan
yang menampilkan kelompok band ST12 dengan makin intensif.
Kemasan adalah
iklan lima detik. Demikian tulis Michael Gershman dalam artikelnya di
Management Review, lebih dari 20 tahun lalu. Apakah pernyataan itu masih
relevan untuk masa kini? Berbagai studi perilaku konsumen dalam berbelanja
menunjukkan bahwa persentase tertinggi dari seluruh pembelian di pasar
swalayan, toko-toko obat serta gerai-gerai ritel lainnya, adalah tak terencana
(Shimp, 2003: 334). Dalam pengertian umum, ini berarti banyak keputusan
pemilihan produk dan merek dibuat sembari konsumen berada di dalam toko.
Sebuah laporan
penelitian yang diterbitkan Media Week menyatakan, sebuah packaging yang
dijajar di rak toko rata-rata dilihat konsumen sekitar 0,11 detik. Sebaliknya,
sebuah iklan bisa diperhatikan konsumen selama hingga 30 detik. Sementara
kampanye periklanan – baik pesan, kreatif dan fiturnya bisa berubah dalam enam
bulan, kemasan tetap sama selama bertahun-tahun.
Implikasi dari
studi ini adalah mengkomunikasi merek kepada pengunjung toko saat berada di
dalam toko sangat penting guna mempengaruhi keputusan sebuah merek. Dalam konteks ini, salah satu bentuk komunikasi
yang dilakukan adalah melalui kemasan. Ini karena kemasan dipercaya dapat menyampaikan pesan mengenai produk,
brand, kategori produk, tipe konsumen, maupun keuntungan yang ditawarkan oleh
produk.
Selain itu,
kemasan juga mampu menyampaikan pesan terselubung. Sebagai contoh, warna,
bentuk, ukuran, dan tekstur dapat menimbulkan kesan mewah (emboss, foil, atau
kertas yang tidak biasa). Demikian pula, kemasan transparan, bentuk struktur
yang tidak biasa, atau kemasan yang dapat digunakan kembali (botol, tabung
kaca, atau kotak) juga memberikan pesan yang berbeda.
Menurut Connolly
dan Davison (1996) desain merek, termasuk warna dan bentuk misalnya,
diekspresikan pemasar melalaui kemasan. Mereka mengklaim bahwa banyak merek
gagal dalam mengeksploitasi kemasan sehingga membuat banyak merek yang tidak
menonjol. Dengan kata lain, Connolly dan Davison (1996) mengklaim bahwa ini
berarti bahwa desain banyak merek gagal untuk menarik konsumen.
Ini tidak
mengherankan bahwa begitu banyak kemasan bermerek terlihat mirip, atau
setidaknya tidak cukup berbeda dari kompetisi kategori untuk membuat yang
serius dampak pada konsumen. Padahal, bila dilaksanakan dengan baik – dalam
arti strategi kreatif-nya dilaksanakan dengan baik – sebuah kemasan bisa
memberikan efek kejutan, menyenangkan dan menarik konsumen. Intinya, sebuah
kemasan yang baik memeiliki kemampuan mengubah sikap dan perilaku pengunjung
saat berada di depan rak supermarket atau toko.
Idealnya, karena
hanya dinikmati oleh pengunjung hanya dalam sepersekian detik, kemasan tentunya
harus bertindak lebih tajam dan bekerja lebih keras serta lebih lama untuk
memainkan perannya dalam membangun hubungan dengan konsumen. Desain kemasan
yang membingungkan biasanya terjadi bila perancang kemasan bergantung pada
paradigma kategori. Di sini aturan visual dan perilaku yang membangun dari
waktu ke waktu sebagai merek hanya merupakan reaksi terhadap apa yang dilakukan
pesaing.
Terobosan untuk
memecah paradigma ini – dan ini yang seyogyanya dilakukan oleh sang penantang –
adalah perancang desain harus menganalisis pasar secara berbeda. Dalam konteks
kualitas desain, yang diperlukan di sini adalah mengubah paradigma dari desain
kemasan sebagai media ‘ekspresif’ yang mewakili cita rasa produsennya sendiri,
ke paradigma bahwa design kemasan sebagai media ‘komunikatif’ yang mewakili
gaya hidup konsumennya. Desain kemasan yang komunikatif terhadap konsumen,
setidaknya adalah bentuk kemasan dan desain grafis kemasannya yang sesuai
dengan ketertarikan, keinginan, dan kenyamanan penggunanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar