Meskipun media baru belum
sepenuhnya menggantikan media tradisional, namun sedikit demi sedikit dominasi
media tradisional mulai terkikis. Cara konsumen berkomunikasi
berubah secara dramatis. Dmikian pula, cara konsumen mengumpulkan dan bertukar
informasi tentang produk, bagaimana mereka mendapatkan serta mengkonsumsinya
juga berubah.
Bagi setiap ekskutif pemasaran, mengalokasikan
anggaran pemasaran secara efisien tetap menjadi salah satu tantangan utama. Ini
terutama setelah kemunculan media online seperti jejaringan social. Mereka kini
dihadapkan pada persoalan apakah tetap menggunakan saluran komunikasi klasik
seperti televise, radio, dan cetak atau saluran online.
Menurut Stephanus Halim, Division Head of Marketing
SCTV, televisi tetap merupakan media yang paling powerful, paling banyak
dikonsumsi sejak 20 tahun terakhir. “Sejak munculnya TV swasta pertama, sampai saat ini penetrasi TV
sudah mencapai angka lebih dari 90%,” kata Stephanus empat tahun silam. Dengan perilaku konsumsi
yang relatif stabil tersebut, menurut Stephanus, pendapatan televisi dari iklan
juga diharapkan tetap stabil dan naik. “Menurut saya, angkanya (pendapatan
televisi—Red) bisa tumbuh di atas 10% pada tahun depan.”
Meskipun media baru belum sepenuhnya menggantikan
media tradisional, namun sedikit demi sedikit dominasi media tradisional mulai terkikis. Menurut Nielsen,
jumlah penonton TV pada awal-awal 2011 menurun. Di Januari dibuka hampir 7 juta
penonton TV, dengan rata-rata rating acara TV pada bulan itu mencapai 13.4%.
Pada Februari jumlah penonton turun menjadi 6,77 juta dengan rating 13%. Maret
2011 penonton TV naik sedikit menjadi 6.83 juta ratingnya 13.1% dan April 2011
menjadi 7,1 juta dengan rating 13.6%.
Munculnya media baru membuat pengiklan dihadapkan
pada sederet pilihan platform media yang panjang dan luas, terutama di media
digital, sponsorship, dan bentuk promosi langsung lainnya. Masing-masing
platform menawarkan cara baru untuk mencapai dan melibatkan konsumen. Padahal,
saat ini, sejalan dengan makin berkembangnya kota, pemasar juga tertantang
untuk meningkatnya jumlah toko dan titik distribusi ritel lainnya untuk membuat
merek menjadi lebih dekat dan visible, terutama di kota-kota yang
perkembangannya pesat, seperti Palembang dan sebagainya. Konsekuensinya, pemasar
harus berinvestasi lebih tinggi untuk mencapai dan menarik konsumen baru di
kota-kota kedua dan ketiga.
Baik media TV maupun cetak sangat mengandalkan
pemirsa dan pembaca di pedesaan. Segmen ini masih menjadi kekuatan pendorong
utama dalam pengembangan industri TV dan Koran. Beruntung pada saat yang sama,
beberapa merek melakukan ekspansi lanjutan ke kota-kota lapis kedua dan ketiga.
Mereka kini menganggap contact point di perkotaan utama bukan lagi media TV
konvensional misalnya.
Hasil studi menunjukkan bahwa pada tahun 2009,
rata-rata waktu menonton TV per kapita meningkat 10 menit per hari di segmen
pedesaan, namun menurun satu menit per hari di segmen perkotaan. Dengan kata
lain, saat ini, TV tradisional menghadapi persaingan ketat dengan media baru
untuk mendapatkan bagian lebih besar dari waktu melihat. Kompetisi ini sangat
akut di kalangan penonton muda dan berpenghasilan tinggi di kota.
Di segmen remaja usia 15-19 tahun terdapat gejala
penurunan dalam mengkonsumsi TV. “Mereka beralih ke Pay TV dan internet,” kata
Stephanus. Bahkan, lanjutnya, remaja juga turut menjadi pendorong naiknya
konsumsi internet. “Pada 2011, berdasarkan data Nielsen, penetrasi internet
sudah mencapai 26%, dari 17% pada 2009,” katanya.
Dalam sepuluh tahun terakhir, cara-cara konsumen
berkomunikasi berubah secara dramatis. Saat ini, arus informasi tentang merek berkembang
menjadi multiarah, saling berhubungan, dan sulit diprediksi. Akibatnya, pemasar
kehilangan kontrol atas merek mereka, namun sekarang mereka bisa berpartisipasi
dalam
percakapan tentang merek mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar