Kini banyak produk atau merek yang ditawarkan dengan harga murah. Pemain lama mulai was-was karena merek itu berhasil menggerogotinya. Bahkan beberapa merek mulai terjungkal. Kenapa? Karena mereka masuk dalam perangkap penolakan dan inovasi.
Sepuluh tahun lalu, ada satu perusahaan yang selama itu dikenal sebagai produsen merek appliances dan terkenal memulai strategi untuk meraih ambisinya menjadi pemimpin global dalam bisnis ponsel. Nama Samsung saat itu lebih dikenal dengan produk-produk seperti airconditioners dan berbagai gaya hidup kuno lainnya sehingga ketika masuk ke bisnis bisnis, pemain yang ada saat itu seperti Nokia dan Motorola melihatnya dengan geli dan nyinyir.
Namun, kemudian sejarah mencatat kisah pembalikan yang menakjupkan. Ponsel pintar Samsung kini banyak diburu orang di semua kategori perangkat cerdas. Sementara itu, Motorola dicaplok Lenovo dan dalam waktu dekat mungkin merek itu tak terdengar karena secara sengaja “dibunuh.” Nasib yang sama juga menimpa merek Nokia yang mulai menghilang. Ponsel cerdas dengan perangkat Lumianya kini akan memiliki logo baru, Microsoft.
Beberapa tahun yang lalu, sebuah merek China hampir tidak dikenal, Huawei, memulai perjalanan setara dengan Samsung. Merek ponsel cerdas Huawei terus memperluas jaringan dan perangkat konektivitas untuk smartphone, termasuk dongle yang sudah masuk generasi empat. Skala ambisinya menjadi jelas di acara teknologi tahunan terbesar di Afrika, Expo AfricaCom di Cape Town baru-baru ini.
Dua perangkat Huawei baru yang diluncurkan di sana pada Selasa malam bersaing langsung dengan perangkat andalan Samsung – belum lagi iPhone Apple. Huawei Ascend Mate 7 adalah phablet 6-inch yang terasa menganggu langsung ke ruang yang diciptakan oleh Samsung, dan siap menyaingi Note 4 5,7 inci serta iPhone 6 Plus seri terbaru.
Masuk ke phablet dan pasar telepon cerdas, Ascend G7 (5,5 inci) bisa dianggap sebagai alternatif yang layak untuk iPhone 6 Plus dan yang lebih kecil iPhone 6. P7 Ascend sangat tipis dengan fitur sebanding dengan Apple dan Samsung, tetapi harganya cuma dua pertiganya.
“Tujuannya sangat jelas,” kata Yudi Rambaran, direktur pemasaran produk di Huawei Afrika Selatan, sepeti dikutip Sunday Times: Business Times. “Strategi jangka panjang kami adalah menjadi pemimpin di industri teknologi informasi dan komunikasi,” katanya.
“Kami menawarkan portofolio ke pasar. Dengan memperkenalkan produk baru ini, kami ingin menargetkan high end premium dan memastikan bahwa kami memiliki posisi untuk menawarkan produk dengan kualitas yang hebat tapi dengan harga yang jauh lebih rendah dari kompetitor.”
Yudi yakin memenangi kompetisi ini dengan melakukan trik tertentu. “Kami memahami apa yang konsumen bersedia membayar untuk merek tertentu dan kami perlahan memposisikan Huawei sebagai merek premium. Tapi pada saat yang sama, kita tidak akan mengabaikan sisa basis konsumen di luar sana.”
Lontaran Yudi akan menjadi perjalanan yang menarik untuk diikuti. Teori signaling harga mengatakan bahwa konsumen percaya ada korelasi positif antara harga, baik itu harga diskon atau yang biasa, dan kualitas. Dengan demikian, bila mendapati suatu produk dengan yang lebih rendah, maka konsumen menilai bahwa produk tersebut memiliki kualitas di bawah standar. Terdapat banyak bukti yang menunjukkan bahwa orang telah lama menggunakan dan akan terus menggunakan harga sebagai suatu cara (heuristic) untuk mengevaluasi kualitas sebuah produk.
Dalam beberapa tahun terakhir, gelombang baru melanda dunia dimana produk-produk atau merek dengan harga yang lebih murah berhasil merebut pangsa pasar dari pemain tradisional di sektor industri yang sebagian besar dikuasai negara-negara maju. Dari China misalnya, selain ada Huawei, juga ada Oppo, dan Xiaomi yang beberapa waktu mencetak penjualan luar biasa.
Gelombang baru ini memiliki dampak yang signifikan dalam perkembangan ekonomi yang pesat di negara-negara yang selama ini dilihat hanya dengan sebelah mata. Di negaranegara ini, perusahaan lokal maupun multinasional telah merancang model-model baru untuk melayani segmen besar pelanggan dengan sarana keuangan yang terbatas.
Model-model baru juga memiliki implikasi strategis yang penting bagi negara maju. Pemimpin pasar lokal di negara-negara yang kini berkembang pesat yang sukses di rumah mereka kini berusaha mengejar ambisi global mereka. Perusahaan multinasional lalu meresponnya dengan ikutan merintis jurus bersaing dan aplikasi di negara maju dengan penawaran murah yang diciptakan untuk negara berkembang pesat.
Langkah merek itu terlalu reaktif atau bila tidak mau dikatakan langkah pemadam kebakaran karena sejatinya mereka bisa membaca langkah pesaing itu jauh-jauh hari sebelumnya. Namun, seperti yang disampaika Nicolas Kachaner, Zhenya Lindgardt dan David Michael dalam artikelnya di Strategy & Leadership, 2011 lalu, seringkali perusahaan pasar dan besar masuk dalam perangkap penolakan dan inovasi.
Kebanyakan manajer perusahaan pemimpin pasar masuk dalam perangkap penolakan karena para pemimpin perusahaan terlalu sering meremehkan kekuatan model harga murah untuk mempengaruhi bisnis mereka. Mereka berpikir bahwa pilihan produk dengan harga lebih murah atau murah bukan saingan serius. Mereka menganggap bahwa pelanggan mereka lebih menghargai kualitas produk dan layanan mereka, sementara merek dengan harga lebih murah banyak cacatnya.
Namun, ketika mereka mulai melihat pelanggan meninggalkan mereka ke pemain yang lebih murah, mereka membuat beberapa penyesuaian kecil atau upaya imitasi. Ketika pendekatan itu akhirnya gagal, mereka mundur dan hanya melayani segmen premium pasar mereka. Hal ini penting untuk disadari, bahwa bagaimanapun munculnya pemain-murah dapat mengubah perilaku pelanggan secara permanen.
Ini sama persis dengan yang dilakukan perusahaan-perusahaan farmasi tradisional ketika bereaksi terhadap pertumbuhan obat generik pada pertengahan 1990-an. Setelah menganggap bahwa pemain obat generik tidak berbahaya, mereka mencoba masuk ke pasar low-end dengan merek-merek atau produk yang lebih tua, atau produk yang tidak dipatenkan. Beberapa perusahaan berbasis penelitian memang ada yang meluncurkan unit generic. Akan tetapi produk itu nyaris tidak pernha dipromosikan karena mereka juga pada dasarnya takut mengkanibal merek sendiri. Akhirnya, mereka juga menutup merek generic itu volume penjualan yang yang rendah dan marginnya yang tipis.
Tapi sekarang Teva Pharmaceutical Industries, pemimpin dalam generik, menikmati top-kuartil profitabilitas yang saat ini tumbuh pada tingkat yang tiga kali lipat dari pasar farmasi secara keseluruhan. Teva juga semakin berdiversifikasi ke pasar-pasar yang bersaing secara langsung dengan perusahaan farmasi berbasis penelitian, atau obat paten yang dilindungi.
Perangkap kedua adalah inovasi. Tim pengembangan biasanya berpikir bahwa produk baru harus selalu lebih baik, lebih canggih, dan, dengan demikian, lebih mahal dari model yang akan digantikannya. Karena itu, ketika produk high-end baru yang diluncurkan, generasi sebelumnya didowngrade menjadi range kelas menengah dan produk lapis yang lebih bawah.
Sementara itu, pemain murah yang cerdas berinvestasi dalam inovasi yang benar-benar ditargetkan pada segmen penduduk berpenghasilan rendah yang jumlahnya besar. Dengan memanfaatkan teknologi baru dan seringkali juga model bisnis baru, pemain murah ini bersaing dan menang melawan teknologi sebelumnya.
Bagi pemain lama yang terancam oleh merek dengan harga lebih murah yang lagi naik ke atas, pendekatan terbaik adalah dengan cara tidak memulai perang harga atau membuat upaya setengah hati dengan menawarkan alternatif murah.
Sebaiknya pemain lama makin mempertajam daya saing model high-end mereka. Selain itu, cobalah melakukan berinovasi dengan model bisnis yang memungkinkan dihasilkannya produk dengan harga yang lebih murah. Jangan hanya membuat langkah defensif dengan cara menyakiti seorang pemula, tetapi ambillah langkah ofensif untuk membuka sumber keuntungan baru.
Namun, kemudian sejarah mencatat kisah pembalikan yang menakjupkan. Ponsel pintar Samsung kini banyak diburu orang di semua kategori perangkat cerdas. Sementara itu, Motorola dicaplok Lenovo dan dalam waktu dekat mungkin merek itu tak terdengar karena secara sengaja “dibunuh.” Nasib yang sama juga menimpa merek Nokia yang mulai menghilang. Ponsel cerdas dengan perangkat Lumianya kini akan memiliki logo baru, Microsoft.
Beberapa tahun yang lalu, sebuah merek China hampir tidak dikenal, Huawei, memulai perjalanan setara dengan Samsung. Merek ponsel cerdas Huawei terus memperluas jaringan dan perangkat konektivitas untuk smartphone, termasuk dongle yang sudah masuk generasi empat. Skala ambisinya menjadi jelas di acara teknologi tahunan terbesar di Afrika, Expo AfricaCom di Cape Town baru-baru ini.
Dua perangkat Huawei baru yang diluncurkan di sana pada Selasa malam bersaing langsung dengan perangkat andalan Samsung – belum lagi iPhone Apple. Huawei Ascend Mate 7 adalah phablet 6-inch yang terasa menganggu langsung ke ruang yang diciptakan oleh Samsung, dan siap menyaingi Note 4 5,7 inci serta iPhone 6 Plus seri terbaru.
Masuk ke phablet dan pasar telepon cerdas, Ascend G7 (5,5 inci) bisa dianggap sebagai alternatif yang layak untuk iPhone 6 Plus dan yang lebih kecil iPhone 6. P7 Ascend sangat tipis dengan fitur sebanding dengan Apple dan Samsung, tetapi harganya cuma dua pertiganya.
“Tujuannya sangat jelas,” kata Yudi Rambaran, direktur pemasaran produk di Huawei Afrika Selatan, sepeti dikutip Sunday Times: Business Times. “Strategi jangka panjang kami adalah menjadi pemimpin di industri teknologi informasi dan komunikasi,” katanya.
“Kami menawarkan portofolio ke pasar. Dengan memperkenalkan produk baru ini, kami ingin menargetkan high end premium dan memastikan bahwa kami memiliki posisi untuk menawarkan produk dengan kualitas yang hebat tapi dengan harga yang jauh lebih rendah dari kompetitor.”
Yudi yakin memenangi kompetisi ini dengan melakukan trik tertentu. “Kami memahami apa yang konsumen bersedia membayar untuk merek tertentu dan kami perlahan memposisikan Huawei sebagai merek premium. Tapi pada saat yang sama, kita tidak akan mengabaikan sisa basis konsumen di luar sana.”
Lontaran Yudi akan menjadi perjalanan yang menarik untuk diikuti. Teori signaling harga mengatakan bahwa konsumen percaya ada korelasi positif antara harga, baik itu harga diskon atau yang biasa, dan kualitas. Dengan demikian, bila mendapati suatu produk dengan yang lebih rendah, maka konsumen menilai bahwa produk tersebut memiliki kualitas di bawah standar. Terdapat banyak bukti yang menunjukkan bahwa orang telah lama menggunakan dan akan terus menggunakan harga sebagai suatu cara (heuristic) untuk mengevaluasi kualitas sebuah produk.
Dalam beberapa tahun terakhir, gelombang baru melanda dunia dimana produk-produk atau merek dengan harga yang lebih murah berhasil merebut pangsa pasar dari pemain tradisional di sektor industri yang sebagian besar dikuasai negara-negara maju. Dari China misalnya, selain ada Huawei, juga ada Oppo, dan Xiaomi yang beberapa waktu mencetak penjualan luar biasa.
Gelombang baru ini memiliki dampak yang signifikan dalam perkembangan ekonomi yang pesat di negara-negara yang selama ini dilihat hanya dengan sebelah mata. Di negaranegara ini, perusahaan lokal maupun multinasional telah merancang model-model baru untuk melayani segmen besar pelanggan dengan sarana keuangan yang terbatas.
Model-model baru juga memiliki implikasi strategis yang penting bagi negara maju. Pemimpin pasar lokal di negara-negara yang kini berkembang pesat yang sukses di rumah mereka kini berusaha mengejar ambisi global mereka. Perusahaan multinasional lalu meresponnya dengan ikutan merintis jurus bersaing dan aplikasi di negara maju dengan penawaran murah yang diciptakan untuk negara berkembang pesat.
Langkah merek itu terlalu reaktif atau bila tidak mau dikatakan langkah pemadam kebakaran karena sejatinya mereka bisa membaca langkah pesaing itu jauh-jauh hari sebelumnya. Namun, seperti yang disampaika Nicolas Kachaner, Zhenya Lindgardt dan David Michael dalam artikelnya di Strategy & Leadership, 2011 lalu, seringkali perusahaan pasar dan besar masuk dalam perangkap penolakan dan inovasi.
Kebanyakan manajer perusahaan pemimpin pasar masuk dalam perangkap penolakan karena para pemimpin perusahaan terlalu sering meremehkan kekuatan model harga murah untuk mempengaruhi bisnis mereka. Mereka berpikir bahwa pilihan produk dengan harga lebih murah atau murah bukan saingan serius. Mereka menganggap bahwa pelanggan mereka lebih menghargai kualitas produk dan layanan mereka, sementara merek dengan harga lebih murah banyak cacatnya.
Namun, ketika mereka mulai melihat pelanggan meninggalkan mereka ke pemain yang lebih murah, mereka membuat beberapa penyesuaian kecil atau upaya imitasi. Ketika pendekatan itu akhirnya gagal, mereka mundur dan hanya melayani segmen premium pasar mereka. Hal ini penting untuk disadari, bahwa bagaimanapun munculnya pemain-murah dapat mengubah perilaku pelanggan secara permanen.
Ini sama persis dengan yang dilakukan perusahaan-perusahaan farmasi tradisional ketika bereaksi terhadap pertumbuhan obat generik pada pertengahan 1990-an. Setelah menganggap bahwa pemain obat generik tidak berbahaya, mereka mencoba masuk ke pasar low-end dengan merek-merek atau produk yang lebih tua, atau produk yang tidak dipatenkan. Beberapa perusahaan berbasis penelitian memang ada yang meluncurkan unit generic. Akan tetapi produk itu nyaris tidak pernha dipromosikan karena mereka juga pada dasarnya takut mengkanibal merek sendiri. Akhirnya, mereka juga menutup merek generic itu volume penjualan yang yang rendah dan marginnya yang tipis.
Tapi sekarang Teva Pharmaceutical Industries, pemimpin dalam generik, menikmati top-kuartil profitabilitas yang saat ini tumbuh pada tingkat yang tiga kali lipat dari pasar farmasi secara keseluruhan. Teva juga semakin berdiversifikasi ke pasar-pasar yang bersaing secara langsung dengan perusahaan farmasi berbasis penelitian, atau obat paten yang dilindungi.
Perangkap kedua adalah inovasi. Tim pengembangan biasanya berpikir bahwa produk baru harus selalu lebih baik, lebih canggih, dan, dengan demikian, lebih mahal dari model yang akan digantikannya. Karena itu, ketika produk high-end baru yang diluncurkan, generasi sebelumnya didowngrade menjadi range kelas menengah dan produk lapis yang lebih bawah.
Sementara itu, pemain murah yang cerdas berinvestasi dalam inovasi yang benar-benar ditargetkan pada segmen penduduk berpenghasilan rendah yang jumlahnya besar. Dengan memanfaatkan teknologi baru dan seringkali juga model bisnis baru, pemain murah ini bersaing dan menang melawan teknologi sebelumnya.
Bagi pemain lama yang terancam oleh merek dengan harga lebih murah yang lagi naik ke atas, pendekatan terbaik adalah dengan cara tidak memulai perang harga atau membuat upaya setengah hati dengan menawarkan alternatif murah.
Sebaiknya pemain lama makin mempertajam daya saing model high-end mereka. Selain itu, cobalah melakukan berinovasi dengan model bisnis yang memungkinkan dihasilkannya produk dengan harga yang lebih murah. Jangan hanya membuat langkah defensif dengan cara menyakiti seorang pemula, tetapi ambillah langkah ofensif untuk membuka sumber keuntungan baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar