Bentuk-bentuk komunikasi pemasaran tradisional
cenderung membombardir konsumen dengan pesan. Dalam era tradisional tersebut, jangkauan
dan frekuensi menjadi variable penting dan penggiat komunikasi pemasaran
beranggapan bahwa agar merek menjadi perhatian mereka harus bersuara paling
keras sehingga mereka invest besar-besaran
di iklan misalnya.
Dalam skenario itu, hubungan yang benar
antara merek dan konsumen tidak terjadi. Sebaliknya, experiential marketing
berfokus pada pemberian kepada target pemirsa suatu pengalaman merek yang
relevan dan pemberian nilai tambah bagi kehidupan pelanggan. Ini melibatkan
komunikasi dua arah yang efektif antara brand dan konsumen. Konsekuensinya, pemasar
harus memikirkan kembali bagaimana alokasi anggaran pemasaran dan ada
pergeseran ke arah kegiatan yang berorientasi ada keterlibatan.
Experiential marketing mencakup beberapa konsep
seperti pemasaran event, sponsorship, dan sampling produk. Akan tetapi event bukan
menjadi komponen kunci dari kampanye pemasaran terpadu. Tujuan utama dari
experiential marketing adalah membuat konsumen terlibat dengan merek. Dari pengalaman
yang diperoleh tersebut mereka berbicara tentang merek kepada orang lain. Itu
sebabnya, sebuah kampanye experiential marketing yang terencana dan
dilaksanakan dengan baik dapat menjadi bahan bakar untuk membangun word-of-mouth
marketing yang efektif.
Saat ini, banyak ditawarkan makanan dan apa
saja yang terkait dengan pengalaman kuliner local sebagai dimensi budaya. Pada intinya, makanan lokal
dapat digunakan sebagai diferensiasi dalam konteks kegiatan pemasaran, dan
sebagai elemen fundamental dalam proses pembangunan pariwisata berkelanjutan
(Sims, 2009).
Belakangan di daerah-daerah atau kawasan
tumbuh pusat kuliner lokal yang melayani kebutuhan wisatawan. Bagi mereka,
makanan lokal merupakan gateway ke warisan budaya. Itu terutama yang melekat
pada wisatawan yang ingin memperoleh pengetahuan yang mendalam tentang masakan
lokal dan budaya setempat dan yang ingin melihat lokalitas makanan sebagai experiential
liburan mereka. Wisatawan juga mencari pengalaman yang mencari keaslian dan
wilayah. Dengan demikian, wisatawan dapat tertarik suatu destinasi karena berburu
pengalaman kuliner yang bisa diperoleh, seperti fine dining di restoran atau
warung sate.
Konsumen atau wisatawan sejatinya tidak
membeli fitur produk, mereka membeli manfaat produk. Sebagaimana dikatakan oleh
Theodore Levitt, 'Pelanggan tidak membeli mata bor ¼ inci, mereka membeli
lubang sedalam ¼inci'. Jadi perilaku
pembelian konsumen kini dibedakan oleh keinginan untuk membeli sebuah
'pengalaman' merek. Sekarang mungkin mereka membeli pengalaman seperti itu dari
rak di pengecer jalan. Mereka mengunjungi tempat-tempat eksotik dengan
mengendarai Ferrari dan membuat foto pribadi. Atau membeli sensasi menyelam
dengan hiu di Afrika Selatan dengan menggunakan merek menyelam tertentu, dan
sebagainya. Anak-anak di bawah 17 tahun ditawari pilihan pengalaman pertama,
seperti mengemudi mobil balap atau menjadi presenter TV.
Experiential marketing merupakan salah satu
bentuk pemasaran yang menciptakan hubungan emosional dengan konsumen dengan
cara yang sangat pribadi, relevan dan mudah diingat. Ini bisa dilakukan dengan
memanfaatkan satu atau lebih indera seperti sentuhan, rasa, bau, penglihatan,
dan pendengaran, sebagai titik sentuh atau koneksi merek dengan konsumen dalam
bentuk pengalaman yang pribadi, kenangan, dan interaktif. Pengalaman bisa dalam
bentuk sesuatu yang sederhana seperti pembagian sampel gratis di sebuah acara
atau sesuatu yang kompleks sebagai acara yang direncanakan di mana merek menjadi
pusat acara.
Istilah experiential marketing relatif
baru, tapi konsep dasar di balik konsep tersebut tidaklah baru. Sebab pada
dasar merek selalu memanfaatkan product sampling, promosi produk khusus, PR,
dan event khusus. Yang baru adalah pengaplikasian
konsep keterlibatan konsumen dengan merek. Untuk menciptakan keterlibatan
konsumen tersebut dibutuhkan rancangan pengalaman yang ingin ditawarkan dan
mengintegrasikan berbagai bentuk komunikasi pemasaran untuk mendukung pengalaman
tersebut.
Itu sebab berarti pemasar menawarkan event sebagai
pusat dari kampanye experiential marketing. Untuk mendorong wisatawan mengunjungi
Bandung misalnya, Dinas Pariwisata menghadirkan “rasa” Bandung ke pusat-pusat
kota. Jadi misalnya Anda mengunjungi Bandung, pengalaman apa yang dapatkan? Apa
yang Anda alami selama di Bandung?
Untuk membangun experiential, kampanye
dilakukan dengan memanfaatkan tim jalanan yang terdiri atas gadis-gadis yang mengenakan
pakaian bersejarah. Gadis-gadis menyambut Anda dengan senyum dan sebagainya. Untuk
lebih melibatkan orang-orang tersebut, ada insentif berupa kontes untuk
memenangkan perjalanan udara ke negeri matahari di tengah malam. Jadi dalam
konteks experiential komponen pengalaman merupakan bagian dari kampanye
komunikasi terintegrasi yang mencakup iklan di bioskop misalnya, poster di luar
ruangan, tempat transit, media cetak, media sosial, dan iklan digital.
Begitulah experiential..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar