Memandang komunitas merek sebagai suatu strategi pemasaran
adalah suatu kesalahan. Harusnya komunitas merek adalah sebagai stratgi bisnis.
Kenapa ?
Di pasar yang kompetitif seperti sekarang ini, dengan makin hingar
bingarnya media, tugas membangun merek menjadi makin penting dan menantang dari
sebelumnya. Memanfaatkan sebuah
komunitas merek -- yang didefinisikan
sebagai, " masyarakat yang terikat tidak berdasarkan geografis secara khusus,
melainkan didasarkan pada hubungan sosial terstruktur di antara pengagum merek"
(Muniz & O'Guinn 2001) menjadi pendekatan yang efektif untuk membangun dan
memelihara hubungan konsumen-merek.
Hubungan masyarakat pengguna merek, atau kelompok pengguna,
dengan merek memiliki sejarah panjang. Di Amerika Serikat misalnya, HOG (Grup pemilik
Harley) dan kelompok pengguna lainnya, sakan menyediakan tempat bagi konsumen
untuk berbagi pengalaman dan informasi tentang merek, untuk memecahkan masalah,
dan untuk memenuhi kebutuhan rekan konsumen rekan dan perwakilan perusahaan.
Kewajiban sosial dan hubungan yang dibangun melalui komunitas merek di kalangan
konsumen, serta antara pemasar dan konsumen, memiliki implikasi yang signifikan
bagi upaya pemasar yang berusaha menumbuhkan loyalitas merek.
Munculnya internet memungkinkan pengelola merek membangun keterikatan
komunitas merek non-geografis secara spontan
di dunia maya. Kini pemasar makin menyadari pentingnya komunitas merek virtual
sebagai alat untuk membangun hubungan konsumen-merek. Pemasar juga makin tertarik untuk membuat dan
mengelola komunitas virtual di internet mereka.
Berangkat dari insight bahwa banyak remaja perempuan ingin
memperoleh informasi mengenai produk-produk feminine care namun malu untuk
bertanya, Procter & Gamble (P&G) membuat platform komunitas online bernama
BeingGirl.com. Lewat platform ini, P&G memberikan konten berupa informasi
yang akurat, lengkap, dan privat mengenai masalah kesehatan dan produk-produk
wanita.
Selain itu, pertumbuhan situs jaringan sosial dalam beberapa
tahun terakhir memfasilitasi pengembangan komunitas merek di situs jaringan
sosial. Misalnya, beberapa komunitas merek pemasar paling populer di Facebook
termasuk Coca-Cola yang lima tahun lalu saja telah memiliki lebih dari 1 juta
fans, Apple Students (lebih dari 756.000 penggemar), Pringles (lebih dari
700.000 penggemar), Victoria Secret PINK (lebih dari 600.000 fans), dan sepatu Nike
(lebih dari 500.000 fans).
Namun, membentuk komunitas online seringkali hanya dijadikan
sebagai ungkapan dari reaksi spontan karena adanya permintaan CEO masuk ke
strategi Web 2.0. Mereka tahu bahwa jejaring sosial online membuka peluang bagi
pengelola merek untuk mendapatkan buzz. Karena itu, peluang yang dibukakan oleh
teknologi itu membuat saeakan para pengelola merek merasa konyol bila
melewatkan peluang di dunia maya itu.
Barangkali karena itulah sebagian besar
"masyarakat" online yang disponsori perusahaan tidak lebih dari
kelompok fokus yang kini makin banyak dibuat dengan harapan bahwa konsumen
memiliki ikatan di sekitar kotak saran virtual. Mereka akan dengan sukarela
memasukkan keluhan dan usulan-usulan kepada produsen.
Tidak ada yang salah mendengarkan suara pelanggan. Akan
tetapi, langkah itu bukan merupakan strategi komunitas yang sebenarnya. Jejaring
sosial online memang dapat menjalankan fungsi komunitas yang berharga. Merek membantu
orang-orang untuk menemukan solusi untuk masalah yang mereka hadapi dan
menghubungkan mereka dengan orang lain dan ide-ide. Di sisal lain, para anggota
dalam komunitas tersebut menyuarakan keinginan dan keluhan mereka.
Namun situs jejaring sosial online memiliki keterbatasan. Anonimitas
web mendorong perilaku antisosial. Sifat interaksi secara online membuat ikatan
sosial menjadi lemah. Karena itu silaturahmi off-line dan interaksi fisik
memainkan peran penting dalam membina hubungan komunitas. Menurut Mark
Rosenbaum dari Northern Illinois University, komunitas yang dikembangkan di
tempat-tempat seperti gym dan kedai kopi sering memberikan dukungan sosial dan
emosional yang sama atau lebih kuat dari ikatan kekeluargaan -- sebuah manfaat
yang memberikan harga premium hingga mencapai 20%.
Karena itulah, untuk mendukung komunitas, pemasar yang
cerdas menggunakan model pendekatan online
secara selektif. L'Oréal misalnya memanfaatkan online dan offline secara imbang
dengan melakukan pemetaan peran berdasarkan dua hal; (1) Yang berada dalam
otoritas merek versus percakapan, dan (2) pengarus-utamaan versus niche.
Setiap sel dalam grid tersebut melakukan pendekatan ke komunitas
dengan cara yang berbeda. Otoritas merek misalnya menawarkan hal-hal yang
berkaitan dengan misalnya nasihat ahli. Disini L'Oréal sebagai merek utama
perusahaan membangun komunitas melalui iklan TV dengan menampilkan juru bicara dari
kalangan selebriti yang menginspirasi pembentukan komunitas. Di bagian lain, La
Roche-Posay sebagai otoritas ceruk berperan sebagai “penjaga” komunitas dermatologists
di seluruh dunia -- baik melalui online dan tatap muka.
Merek Percakapan berperan dalam mengembangkan interaksi
sosial dan keterlibatan. Disini Garnier sebagai merek utama perusahaan terus mendorong
percakapan, mendorong para blogger terkenal untuk berbagi tentang apa yang
mereka lakukan dalam membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik, dan menggunakan
hub ini untuk memperkuat merek.
Di bagian lain, Kiehl berfokus pada akar rumput melalui
sponsorship kegiatan di tingkat lokal, papan bulletin di dalam toko, dan relawan
dari kalangan karyawan untuk berada di sekitar dan di dalam komunitas guna menciptakan
perekat sosial. Meskipun taktiknya bervariasi, tujuan strategi pembangunan
komunitas L'Oréal adalah selalu menghubungkan merek dengan orang-orang yang membentuk
komunitas dengan cara menegaskan kembali esensi merek.
Dalam artikelnya di Harvard Business Review, April 2009, Susan
Fournier dan Lara Lee mengatakan bahwa ada beberapa mitos tentang komunitas
yang selama ini ada. Salah satunya adalah anggaan bahwa sebuah komunitas merek merupakan
suatu strategi pemasaran. Realitasnya, sebuah komunitas merek adalah strategi
bisnis.
Terlalu sering, perusahaan membangun komunitas dan
menggunakan untuk pemasaran. Itu adalah sebuah kesalahan. Agar komunitas merek bisa
menghasilkan manfaat maksimal, komunitas harus dibingkai sebagai strategi
tingkat tinggi yang mendukung tujuan bisnis secara luas.
Harley-Davidson memberikan contoh klasik. Setelah 1985 melakukan
leveraged buyback yang menyelamatkan perusahaan, manajemen merumuskan strategi bersaing
dan model bisnis yang didasarkan pada filosofi komunitas merek. Tidak hanya
mengubah program pemasaran, Harley-Davidson retooled setiap aspek dalam organisasi
– mulai dari budaya prosedur operasi hingga struktur tata kelola - untuk mendorong
strategi komunitasnya.
Manajemen Harley mengakui bahwa merek Harley telah berkembang
menjadi sebuah merek fenomenal yang berbasis
komunitas. "Persaudaraan" pengendara, yang disatukan oleh etos
bersama, ditawarkan Harley sebagai dasar untuk melakukan reposisi sebagai satu produsen
sepeda motor yang dipahami para bikers menurut istilah mereka sendiri. Untuk
memperkuat posisi komunitas-sentris ini dan memantapkan hubungan antara
perusahaan dan pelanggan, semua staf Harley menjadi semacam relawan pada setiap
event komunitas.
Bagi karyawan, dan ini sudah biasa dilakukan, berhubungan dekat
dengan orang-orang yang aktif dalam komunitas menambah arti pentingnya
pekerjaan mereka. Banyak karyawan yang menjadi pengendara, dan banyak
pengendara bergabung dengan perusahaan. Di bagian lain, para eksekutifnya
diminta untuk menghabiskan waktu di lapangan dengan pelanggan dan membawa
wawasan pelanggannya itu kembali ke perusahaan. Ini strategi mendekatkan diri
kepada pelanggan yang dikodifikasikan dalam filsafat operasional
Harley-Davidson untuk memperkuat nilai-nilai baru bagi karyawan. Keputusan di
semua tingkatan juga harus didasarkan pada perspektif masyarakat, dan
perusahaan mengakui bahwa masyarakat adalah pemilik sah merek.
Strategi masyarakat Harley itu juga didukung oleh desain
ulang organisasi secara radikal. Silo fungsional digantikan dengan tim
kepemimpinan senior untuk berbagi tanggung jawab pengambilan keputusan di tiga
imperatif: Buat Permintaan, Menghasilkan produk, dan Memberikan Dukungan.
Selanjutnya, perusahaan membentuk organisasi yang berdiri sendiri dan melaporkan
langsung kepada presiden untuk meresmikan dan membina hubungan
perusahaan-masyarakat melalui klub keanggotaan Harley Owners Group (HOG). Sebagai
hasil dari restrukturisasi organisasi, Harley memberlakukan komunitas merek tidak
semata-mata sebagai biaya pemasaran tetapi sebagai investasi bagi seluruh
perusahaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar