Source: “Overview of the development of Malaysia Healthcare towards Medical Tourism”, Dr Mary Wong Lai Lin, CEO of Malaysia Healthcare Tourism Council, 2012
Industri pariwisata
medis dunia kini berkembang pesat, tak terkecuali Asia yang kini terus
menempati urutan teratas tujuan wisata medis internasional. Saat ini tercatat
sekitar 50 negara di semua benua yang serius menggarap wisata ini dan beberapa
negara Asia berhasil memimpin pasar.
Tidak seperti turis umum yang membutuhkan perhatian masalah
medis, wisatawan medis adalah orang-orang yang memang dengan sengaja melintasi
batas wilayah internasional untuk tujuan eksklusif, yakni memperoleh pelayanan
medis. Tren ini makin menguat karena meningkatnya biaya perawatan kesehatan di
negara-negara maju, biaya pelatihan medis lintas negara dan makin luas dan
mudahnya jangkauan transportasi udara.
Peringkat pertama
pariwisata medis tertinggi di Asia adalah India, Singapura dan Thailand. Ketiga
negara, yang bila dikombinasikan menguasai hampir sekitar 90% dari pangsa pasar
pariwisata medis di Asia pada tahun 2008. Kini industri wisata di negara-negara
itu terus berinvestasi di bidang infrastruktur perawatan kesehatan mereka untuk
memenuhi meningkatnya permintaan perawatan medis yang terakreditasi melalui
fasilitas kelas satu.
Industri medical destinations Asia terus menawarkan prosedur
medis yang lebih baik dan lebih peduli daripada kebanyakan medical destinations
lainnya. Makin banyak rumah sakit di Asia yang mengukir reputasi yang luar
biasa sehingga pariwisata medis ini kian berkembang menjadi pemintal uang yang
utama.
Dalam laporannya yang
berjudul “Asia Medical Tourism Market and Forecast to 2020” iGATE
RESEARCH, pasar
pariwisata medis Asia diperkirakan tumbuh dua digit selama periode 2015 hingga
2020. Thailand memegang pangsa pasar tertinggi di pasar pariwisata medis Asia,
diikuti oleh India dan Singapura. Korea Selatan berdiri di posisi keempat pada
tahun 2014 dan kemungkinan akan lebih dari dua kali lipat pangsa pasar pada tahun
2020, sementara Malaysia berada di posisi terakhir dengan pangsa XX% r pada
tahun 2014.
Industri pariwisata media
Thailand paling cepat berkembang.
Thailand menawarkan pariwisata medis dengan solusi end-to-end terintegrasi dengan perjalanan udara,
akomodasi hotel untuk perjalanan keluarga dan bandara. Pemerintah Thailand membentuk
instansi khusus untuk membantu memasarkan keahlian mereka secara global
Dari tahun ke tahun,
kunjungan wisatawan medis ke Thailand meningkat dari hampir 400 ribu pasien
asing pada tahun 2007, menjadi hampir 700 ribu pasien pada tahun 2012 dengan
nilai yang mengejutkan, $ 3,8 miliar.
Angka itu belanja kesehatan langsung yang dampak ekonomi keseluruhannya bisa
mencapai tiga kali jumlah itu. Wisatawan-wisatawan itu berasal dari berbagai
negara seperti Jepang, Timur Tengah, Inggris, Amerika Serikat dan Australia.
Lalu bagaimana dengan
Indonesia ? Kapan Indonesia mengembangkannya? Apakah menunggu sampai mereka jauh meninggalkan Indonesia? Padahal sejatinya
perkembangan itu peluang bagi Indonesia. Bayangkan, saat ini pemerintah
negara-negara seperti Singapura dan Thailand serius menggarap wisata ini. Pemerintah
India telah menghapus banyak pembatasan visa dan memperkenalkan skema
visa-on-arrival bagi wisatawan medis dari negara-negara tertentu.
Fasilitas ini
memungkinkan warga negara asing untuk tinggal di India selama 30 hari untuk
alasan medis dan bahkan bisa mendapatkan visa hingga 1 tahun tergantung pada
kebutuhan pengobatan. Agen-agen khusus perjalanan medis juga bermunculan di
seluruh dunia, dan rumah sakit Asia atas secara rutin memiliki meja khusus
“internasional” dan layanan untuk membantu pasien luar negeri mulai dari janji
dokter hingga akomodasi.
Menurut perkiraan Bank
Dunia dari 2012 pengeluaran orang Indonesia untuk kesehatan baik publik maupun
swasta masih sangat rendah, yakni hanya 2,7% dari total PDB. Bandingkan dengan
rata-rata ASEAN yang sebesar 3,9% (masih di bawah China yang mencapai 5,2% dan
rata-rata negara OECD yang 9,5%). Sebaliknya Malaysia, Thailand dan Filipina
menghabiskan sekitar 4% - dan meningkatnya - dari PDB.
Namun angka PDB
tersebut tidak cukup mengungkapkan destinasi warga kaya di negara-negara
tersebut saat mereka membutuhkan perawatan dan layanan kesehatan. Yang pasti,
Thailand, Malaysia dan Singapura banyak diuntungkan oleh 'turis kesehatan'
Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir banyak publikasi tentang makin
bertumbuhnya kelas menengah Indonesia yang sudah tentu menuntut pelayanan
publik yang lebih baik sebagai imbalan atas pajak yang telah mereka bayar.
Sejak 2014 lalu, Indonesia
memperkenalkan skema awal Universal Healthcare yang disebut SJSN Sistem Jaminan
Sosial Nasional), sebuah sistem jaminan sosial yang ditetapkan Undang-Undang
nomor 40 tahun 2004. Sistem ini dijalankan oleh BPJS Kesehatan (Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan), sebuah Badan Usaha Milik Negara yang
ditugaskan khusus oleh pemerintah untuk menyelenggarakan jaminan pemeliharaan
kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia, terutama untuk Pegawai Negeri Sipil,
Penerima Pensiun PNS dan TNI/POLRI, Veteran, Perintis Kemerdekaan beserta
keluarganya dan Badan Usaha lainnya ataupun rakyat biasa.
Itu belum memberikan jaminan
warga negara Indonesia. Tahun 2013, Edelmen Indinesia mengilustrasikan bahwa
jika terbang ke Penang, Malaysia, Anda akan melihat banyak penerbangan yang
datang dari Sumatera Indonesia. Data 2011 memberikan gambaran bahwa lebih dari
330.000 orang Indonesia yang mencari pengobatan di Malaysia. Mereka menghabiskan lebih dari $ 150 juta untuk
biaya medis langsung. Menggunakan asumsi bahwa mereka juga melibatkan
perjalanan keluarga; belanja akomodasi; pasca perawatan di negara penyembuhan
dan sebagainya, total pengeluaran medis mereka bisa bernilai hampir $ 1 miliar
pada tahun 2013 dan angka ini tumbuh sekitar 30% per tahun.
Daya tarik orang pergi
ke luar negeri untuk perawatan kesehatan bukan hanya sekadar imbalan nilai yang
didapat atas uang yang mereka bayarkan, bagi masyarakat Indonesia akses
terhadap layanan dan perawatan kesehatan yang berkualitas yang tidak tersedia
di “rumah”nya sendiri juga menjadi pertimbangan yang sangat penting. Pemerintah
Indonesia juga pernah secara resmi melarang orang Indonesia pergi ke luar
negeri untuk perawatan kesehatan. Namun laranagn itu tidak bertaring ketika
pejabat dan beberaa anggota pejabat
serta orang kaya Indonesia melakukannya.
Sekarang mereka membidik pasien Indonesia. Banyak orang
Indonesia yang sekadar mengecek kesehatan atau berobat ke rumah sakit yang ada
di Malaysia dan Singapura. Menurut kabar Singapura, The Straits Times, jumlah pasien asing mencari perawatan medis di Singapura terus meningkat setelah sempat memudar pada tahun 2009 akibat krisis keuangan global.
Menurut statistik dari Departemen Kesehatan Singapura dan Singapore Tourism Board, pada total 35.959 wisatawan medis mengunjungi Singapura dan menghabiskan hampir S $ 1 miliar atau US $ 806 juta, naik dibandingkan dua tahun sebelumnya. Indonesia menyumbang 47,2 persen dari wisatawan ini, dengan Malaysia kedua jauh sebesar 11,5 persen, diikuti oleh Bangladesh (lima persen), Vietnam (4,1 persen) dan warga negara Myanmar (2,7 persen).
Warga Indonesia
yang berobat ke Taiwan juga cukup besar. Dijelaskan Jacob ST
Pang (Feng), Deputy Executive Manager International Medical Center Chang Gung
Memorial Hospital, “Orang Indonesia yang datang ke Taiwan untuk berobat cukup
besar. Contohnya, di Chang Gung Memorial Hospital, sebagai rumah sakit swasta terbesar
di Taiwan, jumlah orang Indonesia yang datang berobat ke kami mencapai 1.100
orang per tahunnya. Itu artinya, sekitar 6% dari total pasien mancanegara.”
Begitu menjanjikannya
pasar Indonesia, membuat Chang Gung Memorial Hospital tak tinggal diam. Pada
pekan ketiga Oktober ini, Chang Gung Memorial Hospital memutuskan untuk
berpartisipasi pada program “Taiwan Health Industry Trade Meeting” yang digelar
pemerintah Taiwan lewat Taiwan Taiwan External Trade Development Council
(TAITRA).
Melalui program yang
digelar selama dua hari itu, 21-22 Oktober 2015, Chang Gung Memorial Hospital
berkesempatan memperkenalkan rumah sakit mereka kepada market Indonesia. “Kami
juga mengedukasi dan memperkenalkan Chang Gung Memorial Hospital lewat website.
Bahkan, dalam waktu dekat, kami akan menggelar Ambassador Program, yakni dengan
mengundang dokter-dokter Indonesia untuk berkunjung ke rumah sakit kami untuk
diberikan training selama satu bulan,” lanjut Jacob, yang menyebutkan selama
ini strategi Word of Mouth (WOM) masih menjadi strategi yagn efektif dalam
mendatangkan orang Indonesia ke Taiwan.
Sejumlah added value
ditawarkan Chang Gung Memorial Hospital demi bersaing dengan rumah sakit-rumah
sakit yang ada di Malaysia dan Singapura. Pertama, Chang Gung Memorial Hospital
memiliki tujuh pusat kesehatan dan 29 pusat spesialis. Kedua, service
excellence senantiasa ditawarkan kepada pasien maupun keluarga pasien. Ketiga,
Chang Gung Memorial Hospital memiliki letak yang strategis, yakni dekat dengan
bandara. Keempat, harga yang ditawarkan pun sangat resonable jika dibandingkan
dengan Malaysia maupun Singapura. Kelima, Chang Gung Memorial Hospital memiliki
Pusat Terapi Proton, sebagai salah satu pusat terapi radiasi yang terbesar dan
paling maju di Asia. Pusat Terapi Proton juga memiliki fasilitas yang mampu
mengobati sekitar 1.800 kasus baru per tahun. “Pusat Terapi Proton akan kami
luncurkan pada 10 November 2015,” tambahnya.
Added value itulah yang
juga dirasakan oleh dua orang pasien Indonesia yang pernah berobat di Chang
Gung Memorial Hospital. “Saya memiliki penyakit Parry-Romberg Syndrome, yang
membuat saya harus melakukan operasi plastik. Dibandingkan dengan rumah sakit
di Malaysia dan Singapura, di mana saya pernah berobat, dengan kualitas dan
penanganan yang sama, harga yang ditawarkan Chang Gung Memorial Hospital bisa
lebih murah 30%. Bahkan, penjelasan dari para dokternya jauh lebih rinci,”
cerita Leonard Alamveta, salah seorang pasien Indonesia yang berobat di Chang
Gung Memorial Hospital.
Senada dengan Leonard, Goh
Eng Ho yang terpaksa menjalani oeprasi angkat ginjal juga merasakan pengalaman
yang berkesan di Chang Gung Memorial Hospital. “Sebelumnya, saya berobat di
rumah sakit Malaysia dan Singapura. Saya divonis sakit kanker oleh mereka.
Tetapi, karena saran dari teman, saya pergi ke Taiwan, ke Chang Gung Memorial
Hospital untuk berobat. Rupanya, saya tidak terkena kanger. Melainkan, ginjal
saya rusak karena kebiasaan saya meminum obat-obatan Cina. Dan, saya pun
melakukan operasi angkat ginjal di sana, dengan biaya yang jauh lebih murah
dibanding di Malaysia maupun Singapura,” tutur Goh Eng Ho. Jadi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar