"Kini kami telah
benar-benar kacau," kata Michael Horn, kepala divisi US Volkswagen. Tapi kekacauan
yang terjadi di Volkswagen kini bukan kekacauan. Ini menyangkut soal penipuan atas
sesuatu yang seharusnya baik: masalah lingkungan. Slogan-slogan seperti
"jika ingin menjadi sesuatu yang bisa diandalkan, maka itulah Volkswagen"
kini hanya ibarat cincin yang kosong.
Pertengahan September lalu,
Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (EPA), mengatakan bahwa emisi
yang dikeluarkan mobil diesel jauh lebih tinggi dari hasil pengujian. EPA juga
mengatakan ada perangkat lunak khusus yang dipasang di mobil VW untuk
memanipulasi hasil uji emisi. Atas tindakan itu, VW diperkirakan menghadapi
denda triliunan rupiah.
Juru bicara Volkswagen
(VW) mengakui sekitar 11 juta unit kendaraan di seluruh dunia dipasangi
perangkat khusus untuk memanipulasi uji emisi. Direktur utama VW (saat itu),
Martin Winterkorn, kembali meminta maaf karena perusahaannya telah
"melakukan manipulasi". VW mengatakan mereka menganggarkan dana 6,5
miliar euro untuk menyelesaikan skandal ini.
Saat itu Winterkorn
mengatakan pihaknya akan bekerja sama dengan para penyelidik Amerika dalam
kasus ini. Dalam video yang diunggah di situs VW, dia mengatakan VW telah
"mengkhianati kepercayaan" jutaan orang. Saham VW anjlok hampir 17%
di Frankfurt, hari Selasa (22/09), sementara sehari sebelumnya nilainya turun
19%.
Produsen mobil Jerman itu
bukanlah perusahaan pertama dengan jelas dan tegas terpapar berita utama.
Statistik terbaru tentang penjualan mobil menunjukkan bahwa 2009 dan 2014
hampir 80.000 Audi, Skoda, Seat dan VW terjual di Irlandia dengan ukuran mesin
beragam mulai 1,2-liter, 1.6 liter, dan mesin diesel 2-liter. Dengan kata lain,
80.000 mobil yang berseliweran di Irlandia bisa jadi memiliki software tipuan.
Selama bertahun-tahun, para
analis dan kelompok lingkungan telah memperingatkan bahwa emisi kendaraan-kendaraan
itu sebenarnya jauh lebih tinggi daripada yang dilaporkan. Pengumuman EPA
tersebut seakan-akan membangunkan kesadaran akan kepercayaan palsu dalam
kualitas udara yang kita hirup, dan mencegah mengambil tindakan yang memadai
atas kepalsuan itu.
Volkswagen, yang
reputasinya didasarkan pada kepercayaan dan kehandalan, kini menghadapi
tantangan besar. Ketidakjujuran Volkswagen tidak hanya terbatas pada cover-up. Bukan
sekadar skandal, namun penipuan, sebuah tindakan yang berpusat pada niat yang
disengaja untuk menyesatkan. Tidak mengherankan bila VW sekarang mengemis-ngemis
kepada konsumen agar mereka percaya lagi. Langkah untuk menyewa pengacara yang pernah
mewakili BP saat krisis tumpahan minyak adalah pointer bahwa situasinya memang
benar-benar buruk.
Volkswagen hanya
memiliki satu keuntungan lebih daripada BP atau perusahaan minyak lainnya:
polusi di atmosfer tidak mungkin menghasilkan foto sebagaimana burung langka dengan
pola dasar bulu dengan lapisan hitam sebagaimana yang terjadi dalam kasus BP. Media
kesulitan menggambarkan kontribusinya terhadap kerusakan lingkungan yang
ditimbulkan oleh penipuan itu.
Lebih buruknya, ada
kesengajaan. Volkswagen bukan sekadar memiliki masalah PR. Dalam beberapa
laporan pekan ini, Volkswagen nampak berusaha membuang berita buruk dan mendapatkan
pengakuan dengan cara membuat permintaan maaf. Mereka berusaha memulihkan harga saham dan reputasinya. Volkswagen
terancam tuntutan hukum dan denda yang bisa jadi 15 kali lebih dari yang harus
dibayar Toyota tahun lalu.
Tapi selain menguras
keuangan, perusahaan Jerman itu harus menghabiskan waktu dan energi yang
berharga untuk memperbaiki merek yang rusak. Salah satu perusahaan dalam bisnis
transportasi yang sedikit berada di bawah garis rehabilitasi adalah Malaysia
Airlines (MAS) yang sekarang dipimpin oleh mantan kepala eksekutif Aer Lingus,
Christoph Mueller.
Maskapai ini telah
direstrukturisasi setelah kasus tragis pada pertengahan 2014, saat MAS kehilangan
dua pesawat dalam keadaan yang tidak biasa. Untuk usaha rehabilitasi tersebut, MAS
mempekerjakan agensi periklanan M&C Saatchi, yang disebut-but bakal
meluncurkan kampanye yang cukup sensitive.
Masalah bagi Volkswagen
mungkin, pada akhirnya, sangat mirip dengan yang dihadapi Malaysia Airlines:
kompetisi. Posisi mereka jelas tidak menguntungkan. Dalam perjuangan untuk meraih
kepercayaan pelanggan kembali mereka harus bersaing dengan merek lain yang jelas
kurang ternoda. Kepercayaan adalah salah satu aset bisnis yang paling tidak
berwujud tapi berharga; VW telah menjadi merek yang sangat dipercaya, tapi
posisi itu sekarang dalam bahaya serius. Reputasi mereka kini hampir punah.
Memang terlalu dini
untuk memprediksi masa depan VW. Dalam menilai prospek VW, ada beberapa faktor
positif. Pertama, kekuatan intrinsik VW. Reputasinya selama ini bisa jadi membantu
membantu melindungi cerita-cerita negatif. Ketika pesawat ruang angkasa Virgin
Galactic jatuh di gurun Mojave akhir tahun lalu, merek Virgin dan tindakan
pemimpinnya, Richard Branson, memastikan bahwa reputasinya tetap utuh.
Ada beberapa
tanda-tanda yang baik yang bisa dilihat dari respon awal perusahaan. VW mengakui
bersalah, yang diringkas dalam kata-kata yang diucapkan kepala divisi US
Volkswagen sebagai "kita kacau," memberikan landasan untuk
melanjutkan usaha mereka memperbaiki reputasinya. Ini akan jauh lebih berbahaya
bila mereka mengambil respon penolakan: tipikal respon organisasi yang gagal mengakui masalah yang tidak pernah bisa mereka
atasi. Itu yang ernah dilakukan Sepp Blatter pada 2011 ketika ditanya tentang skandal
korupsi yang menimpa FIFA. "Krisis? Apa krisis? Sepakbola tidak dalam
krisis."
Hal posiitif lain yang
dilakukan VW adalah tindakan segera diambil terutama melengserkan kepala
eksekutif Martin Winterkorn dan melakukan penyelidikan internal. Sebuah
komitmen mendalam yang bertujuan memahami masalah dan mengambil langkah apapun
yang diperlukan untuk mencegah hal itu terjadi lagi, adalah sesuatu yang sangat
penting untuk pemulihan reputasi.
Tapi di sisi lain, ada
rintangan yang harus dihadapi VW. Yang pertama adalah bahwa kasus ini
mencuatkan keraguan akan budaya dan nilai-nilai perusahaan. Seperti dimaklumi, sebuah
organisasi atau perusahaan yang mengalami krisis akan lebih mudah dimaafkan bila
krisis tersebut muncul karena penyebab dari luar seperti bencana alam,
terorisme, atau bahkan kejahatan cyber. Tapi krisis internal menyerang jantung
organisasi. Segala sesuatu yang selama ini publik yakini tentang merek, jadi
rusak.
Kedua, adalah soal pengganti
Winterkorn. Kesuksesan manajemen krisis sangat bergantung pada kepemimpinan
yang kuat dan keberanian dari seorang tokoh yang terpercaya. Saat ini terjadi
kekosongan kepemiminan di VW. Situasi ini menciptakan mini-krisis tersendiri. Dalam
jangka panjang, perubahan budaya yang memungkinkan dilakukannya penetapan emisi
adalah langkah yang paling penting. Kepemimpinan kepala eksekutif baru dan merealisasikan janji tranparansi mereka adalah prioritas
utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar