Oktober 2013, sebuah
video kartun misterius menjadi diskusi hangat di media social. Ruar biasa,
hanya dalam waktu dua minggu video itu ditonton oleh sepuluh juta pemirsa. Video
itu dirilis saat AS menghadapi situasi government shutdown karena kegagalan Kongres
menyepakati anggaran yang diperlukan untuk operasi pemerintahan.
Dengan terang-terangan
video itu mempertontonkan paradox dari sebuah proses pengambilan keputusan. Video itu juga sekaligus seakan meledek system
demokrasi yang diagung-agungkan di Amerika Serikat karena ternyata wibawa kuasa
yang dihasilkan system demokrasi tidak sesakti yang dibayangkan.
Ledekan itu tak
dilakukan secara langsung memang, namun moment peredarannya mengukuhkan dugaan
kesengajaan. Video misterius itu memaparkan pendakian panjang seorang Xi
Jinping untuk sampai ke puncak kekuasaan Cina, menjadi Presiden Xi. Pesan yang
ingin disampaikan melalui video itu adalah Jinping mendapat promosi tidak
mudah. Dia melalui proses yang panjang.
Karir Jinping dimulai
dari pegawai di pemerintahan kota, kepala bagian di pemerintahan setingkat
kabupaten, kepala di tingkat departemen di tingkat propinsi menanjak ke Komite
Sentral, Politbiro, dan kemudian menjadi anggota Komite Tetap Politbiro. Di
setiap tahap, promosi dilakukan melalui evaluasi yang ketat dan
ultracompetitive. Tujuannya adalah untuk menguji kemampuan kepemimpinan
politiknya. Proses ini yang dikenal dengan label meritokrasi.
Meritokrasi merujuk
kepada bentuk sistem politik yang memberikan penghargaan lebih kepada mereka
yang berprestasi atau berkemampuan yang dapat dipakai untuk menentukan suatu
jabatan tertentu. Kerap dianggap sebagai suatu bentuk sistem masyarakat yang
sangat adil dengan memberikan tempat kepada mereka yang berprestasi untuk duduk
sebagai pemimpin, tetapi tetap dikritik sebagai bentuk ketidakadilan yang
kurang memberi tempat bagi mereka yang kurang memiliki kemampuan untuk tampil
memimpin
Di bagian lain, ketika
video tersebut dirilis, di AS terjadi government
shutdown. Itu berarti pemerintah berhenti menyediakan semua layanan selain
yang "penting" saja. Namun karena Kongres harus mengesahkan semua
pengeluaran pemerintah, tidak ada hukum yang melindungi layanan pemerintah
apapun dari penutupan. Layanan federal boleh diteruskan untuk sementara setelah
penutupan, termasuk National Weather Service dan lembaga induknya, layanan
kesehatan di fasilitas federal, angkatan bersenjata, pengawasan lalu lintas
udara (ATC), dan sistem penjara.
Judul Buku : The China model: political meritocracy and the
limits of democracy
Penulis : Daniel A Bell
Penerbit :
Princeton University Press, 2015
Tebal Buku :
333 halaman
Fenomena itu kontras
dengan situasi saat pemilihan presiden yang menggambarkan seolah-olah Obama
mendapat dukunga dari semua warga Amerika. Jutaan dolar dikeluarkan untuk kampanya
tersebut sekadar untuk meraih kemenangan melalui pemilihan nasional negeri atas
dasar satu orang satu suara. Proses ini diberi label "demokrasi." Bila
ini diperbandingkan dengan pemilihan di AS, jelas video tersebut seolah ingin
menujukkan bahwa meritokrasi politik gaya Cina merupakan cara yang secara moral
sah dalam memilih pemimpin politik tingkat atas, dan cara itu lebih baik dari
pemilu yang demokratis.
Video ini mungkin
dibuat dan didistribusikan oleh organ dari Partai Komunis China (PKC) yang
seakan-akan menunjukkan bahwa China menganut system meritrokasi dan itu
diwarisi dari pendahulu mereka. Sun Yat-sen, yang menjadi presiden pertama
pasca-kekaisaran Cina pada tahun 1912, memang tidak terlalu terkesan dengan
demokrasi AS. Dia pernah mengeluh bahwa "beberapa anggota DPR sering
bertindak bodoh dan tidak peduli dengan orang lain." Itu adalah sebuah
vonis yang mungkin banyak disetujui warga Amerika yang modern.
Untuk mengatasi masalah
tersebut, Sun menyarankan agar semua pejabat terpilih harus diuji sebelum
diperbolehkan duduk di jabatan. Proposal ini
mengadopsi tradisi China lama bahwa pejabat publik harus dipilih melalui
pemeriksaan yang ketat dengan mengukur "prestasi"nya, bukan hanya
atas dasar popularitas mereka belaka.
Namun, dari situ sejumlah
pertanyaan muncul. Jika meritokrasi politik begitu baik, mengapa PKC tidak berani
secara terang-terangan mengatakan bahwa video itu berasal dari mereka? Lebih
umum, mengapa PKC tidak bisa secara resmi menerapkan system meritokrasi politik
dan secara terbuka menyatakan rasa bangganya terhadap sistem meritokrasi itu?
Data statistik ekonomi
menunjukkan bahwa China kini telah menjadi negara yang modern. Namun, seperti
diakui Daniel Bell penulis buku the China Model ini, indikator lainnya tidaklah
begitu positif. Ada masalah lain seperti korupsi, kesenjangan antara yang kaya
dan yang miskin, degradasi lingkungan, penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat
politik, dan tindakan dalam menangani perbedaan pendapat politik.
Perlakuan kasar pemerintah China terhadap lawan-lawan
politiknya mempertontonkan fenomena adanya situasi yang menurunkan hal yang
seharusnya bagus menjadi lebih buruk ketika sistem politik telah menjadi lebih
meritokratis. Artinya, meritokrasi politik bergaya China tidak dipraktekkan
secara sempurna. Betapa tidak, jika sistem ini begitu besar, mengapa ada
kebutuhan untuk menindak perbedaan pendapat politik? Apakah struktur
meritokrasi politik benar-benar dijalankan sehingga dipandang sah oleh rakyat
dan menghindari penyalahgunaan kekuasaan otoriter?
Buku the China Model berupaya menjawab pertanyaan tersebut.
Bahwa Presiden Xi Jinping sendiri adalah putra salah satu rekan terdekat Mao,
memperlemah argumen bahwa China menganut system meritokrasi, Bell punya
argumentasinya. Disini Bell, seorang filsuf politik Kanada yang mengajar di
Universitas Tsinghua di Beijing selama bertahun-tahun, menjawab bahwa munculnya
Xi dan "pangeran" - pemimpin keturunan bangsawan partai Komunis – lainnya
dimulai sebelum reformasi tata kelola awal 1990-an yang menerapkan kembali ujian
sebagai dasar untuk pemilihan pejabat.
Tapi bagi sementara orang, penjelasan itu justru
membingungkan. Argumen bahwa meritokrasi dijalankan di China tampaknya
didasarkan pada dekade pertumbuhan ekonomi yang pesat yang dimulai pada tahun
1979. Namun, seperti diakui Bell sendiri, meritokrasi diabaikan sampai awal
1990-an, dan ketika sistem meritrokasi diterapkan kembali, beberapa saat
kemudian menunjukkan hasil. Jadi, mungkinkah kinerja ekonomi China yang
spektakuler itu bukan hasil dari sistem meritokratis pemerintahan?
Tapi bagi sementara orang, penjelasan justru membingungkan.
Argumen bahwa meritokrasi dijalankan di China tampaknya didasarkan pada dekade
pertumbuhan ekonomi yang pesat yang dimulai pada tahun 1979. Namun, seperti
diakui Bell sendiri, meritokrasi diabaikan sampai awal 1990-an, dan ketika
sistem meritrokasi diterapkan kembali, beberapa saat kemudian menunjukkan
hasil. Jadi, mungkinkah kinerja ekonomi China yang spektakuler itu bukan hasil
dari sistem meritokratis pemerintahan?
Barat cenderung membagi dunia politik menjadi demokrasi yang
"baik" dan rezim otoriter yang "buruk." Tetapi model
politik Cina tidak cocok di kedua kategori itu. Sebab selama tiga dekade
terakhir, China telah mengembangkan sistem politik yang dapat digambarkan
sebagai "meritokrasi politik." China Model berusaha untuk memahami
cita-cita dan realitas sistem politik yang unik ini. Bagaimana cita-cita
meritokrasi politik menetapkan standar dalam mengevaluasi kemajuan politik (dan
kemunduran) di Cina? Bagaimana China bisa menghindari kerugian yang diakibatkan
oleh peneraan system meritokrasi politik ini? Dan bagaimana bisa meritokrasi
politik dikombinasikan dengan demokrasi sehingga menghasilkan yang terbaik?
Daniel Bell menjawab pertanyaan dan banyak lagi pertanyaan seperti itu.
The China Model
berupaya membuka perdebatan bagaimana model yang baik dalam system manajemen
pemerintahan. Diskusi dimulai dari dua titik; pertama, bahwa ada krisis
pemerintahan di negara demokrasi Barat. Kedua, prestasi ekonomi China
mengimplikasikan sebuah rekomendasi bahwa sebelum menerakan sistem demokrasi, segala
sesuatunya haruslah ditata dengan baik terlebih dulu. Titik lompatan itu memang
menantang. Sebab demokrasi memang tidak selalu semulus yang dibayangkan.
Buktinya ada kemacetan di system di pemerintahan di Washington, ada krisis
euro, dan di sisi lain ada fenomena makin berkurangnya kemiskinan di China. Bell
melihat meritokrasi di China memang mengandung banyak kelemahan, tapi siste
demokrasi juga memiliki kelemahan pula. Karena itulah, gagasannya adalah saling
menutupi kelemahan dan mengeksploitasi yang positif.
Bagian pertama dari
buku Bell dimulai dari analisis yang menjelaskan tentang beberapa kelemahan
filosofis dan praktis system demokrasi. Misalnya, seorang politisi terpilih
selalu merasa mememiliki privilege dari pemilih untuk melakukan yang dikehendakinya.
Bukankah dengan memperoleh dukungan mayoritas masyarakat itu menunjukkan
masyarakat menyetujui yang dia kerjakan? Itu sudah pasti merugikan masa depan
masyarakat karena asumsi yang menempel di benak politisi itu bisa membuat
mereka mengabaikan risiko perubahan iklim, misalnya karena mengizinkan
eksplorasi dan eksploitasi lahan untuk tambang yang cenderung merusak alam.
Dengan kata lain, dalam
system demokrasi, legitimasi kewenangan dan kekuasaan diperoleh melalui
perolehan suara dalam pemilihan one vote one person. Masing-masing pemilih
memberi mandat kepada yang dipilihnya, yang mungkin saja dalam memilih tersebut
tanpa melalui pemeriksaan pada kandidat yang dipilihnya secara teliti.
Bell membandingkan
system ini dengan sebuah "China Model" yang ideal yang secara tegas
menggariskan aturan bahwa hanya orang-orang yang paling mampu dalam masyarakat
yang dipilih untuk menjalankan negara, dan prosesnya dilakukan melalui
pemeriksaan secara teliti. Kinerja mereka di berbagai pekerjaan selama bertahun-tahun
- mulai dari tingkat provinsi – dinilai.
Eksperimen Regional memungkinkan hanya ide-ide yang baik dan pemimpin
yang baik yang naik ke pusat. Keberhasilan dari sistem ini secara jelas dapat
dilihat dari pencapaian dalam memecahkan masalah dan menciptakan pertumbuhan
ekonomi. Ini yang kemudian bisa memberikan politik pemimpin legitimasi di mata
orang biasa.
Disini Bell seakan
menunjukkan bahwa level validitas eksternal dari variable kepercayaan yang
dihasilkan dari suara pemilih dalam system demokrasi ternyata berkurang ketika
dihadapkan pada populasi yang berbeda. Ini dibuktikan dengan fenomena
tersendatnya usulan anggaran yang diajukan ekskutif atau pemerintah seperti
yang dialami Obama, atau bahkan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar