Public relations tidak menghasilkan
keuntungan finansial seketika, namun dalam jangka perusahaan merasakan nilai
tambah dari sebuah public relations.
Ada fenomena menarik manakala terjadi kelesuan ekonomi. Dalam situasi seperti itu, ketika konsumen makin menuntut tanggung jawab perusahaan, ketika iklan makin diragukan kredibilitasnya, ketika perusahaan memangkas anggaran promosinya, yang jadi korban pertama adalah internal public relationsnya. Ini karena mereka dianggap kecil konstribusinya dalam mendatagkan pendaatan. Karenanya, pemangkasan karyawan yang pertama dilakukan ada di divisi ini.
Padahal, ketika model bisnis tradisional terganggu
dengan kecepatan yang luar biasa, harapan dan aturan ikut berubah. Pelaku
bisnispun harus bekerja lebih keras daripada sebelumnya mendapatkan dan
mempertahankan pelanggan mereka. Yang tidak berubah adalah pentingnya reputasi
bisnis dalam memenangkan persaingan.
Dalam beberapa tahun terakhir, ada
tanda-tanda bahwa perusahaan meningkatkan komunikasinya tentang tanggung jawab
sosial perusahaan (CSR) yang dilakukannya. Dalam konteks ini ada dua fenomena
yang menarik. Pertama, perusahaan berusaha untuk benar-benar serius melakukan
kegiatan CSR. Hal ini ditunjukkan dengan makin seringnya suatu perusahaan
melakukan kegiatan tersebut. Selain itu, perusahaan semakin berusaha untuk
meningkatkan kualitas kegiatan CSR, dalam arti benar-benar ingin menyesuaikan
antara kegiatan dan kebutuhan target audience dari CSR tersebut.
Hal kedua yang menarik adalah bahwa ada
kesadaran di kalangan perusahaan bahwa CSR memberikan dampak reputasi bagi
perusahaan. Reputasi disini saya terjemahkan sebagai kesesuaian antara persepsi
public terhadap perusahaan dan persepsi public yang diinginkan pengelola
perusahaan. Di sisi lain, pengelola perusahaan juga sadar bahwa reputasi tidak
akan terbentuk bila perusahaan tidak mengkomunikasikan kegiatan CSR-nya itu.
Pengelola kegiatan sadar bahwa mendesain
strategi komunikasi untuk kegiatan itu penting karena informasi yang
disampaikan dalam komunikasi tersebut harus bersaing dengan informasi atau
stimuli berasal dari luar perusahaan. Yang mengganggu bila informasi dari luar
tersebut bernada negatif sehingga bila informasi negatif tersebut mengalahkan
informasi yang disampaikan perusahaan, tak tertutup kemungkinan reputasi yang
diharapkan tidak terwujud.
Ketiga ada kesadaran bahwa dalam jangka
pendek, CSR tidak memberikan hasil finansial. CSR memberikan hasil baik
langsung maupun tidak langsung pada keuangan perusahaan di masa mendatang.
Dengan demikian apabila perusahaan melakukan program-program CSR diharapkan
keberlanjutan perusahaan akan terjamin dengan baik. Oleh karena itu,
program-program CSR lebih tepat apabila digolongkan sebagai investasi dan harus
menjadi strategi bisnis dari suatu perusahaan.
Dengan masuknya program CSR sebagai bagian
dari strategi bisnis, maka mudah bagi unit-unit usaha yang berada dalam suatu
perusahaan untuk mengimplementasi kan rencana kegiatan dari program CSR yang
dirancangnya. Dilihat dari sisi pertanggung jawaban keuangan atas setiap
investasi yang dikeluarkan dari program CSR menjadi lebih jelas dan tegas,
sehingga pada akhirnya keberlanjutan yang diharapkan akan dapat terimplementasi
berdasarkan harapan semua stakeholder.
Tanggung jawab sosial perusahaan adalah
konsep bisnis di mana perusahaan berusaha untuk berperilaku bertanggung jawab
terhadap masalah sosial dan lingkungan sehingga bisnis memberikan kontribusi
yang bermakna dan langgeng kepada masyarakat (Hopkins, 2007). Perusahaan
terdorong untuk terlibat dalam
program-program tanggung jawab sosial karena manfaat potensialnya terhadap bisnis, yang meliputi peningkatan merek,
diferensiasi pasar, dan kepuasan karyawan (www.dowelldogood.net).
Dalam konteks ini, CSR sebagai investasi,
bukan biaya. Karenanya, perusahaan yang melihat CSR sebagai investasi, secara
sukarela dan sungguh-sungguh melaksanakan praktik CSR dan yakin bahwa investasi
sosial ini akan berbuah pada lancarnya operasional usaha. Mereka mendapat citra
positif karena masyarakat menilai perusahaan sungguh-sungguh membantu mereka.
Selayaknya investasi, kelompok ini menganggap praktik CSR adalah investasi
sosial jangka panjang. Mereka juga berpandangan, dengan melaksanakan praktik
CSR yang berkelanjutan, mereka akan mendapat ijin operasional dari masyarakat.
Kita dapat berharap kelompok ini akan mampu memberi kontribusi bagi pembangunan
berkelanjutan.
Namun, perusahaan sering gagal
mengkomunikasikannya secara efektif kegiatan CSR mereka kepada khalayak sasaran
sehingga menghambat perusahaan merealisasikan manfaat bisnis itu. Disinilah pentingnya mengkomunikasikan CSR
secara efektif, sekaligus ini merupakan tantangan utama bagi pengelola.
Keputusan tentang apa, bagaimana, dan kepada siapa perusahaan harus
mengkomunikasikan kegiatannya itu merupakan elemen utama dari program tanggung
jawab perusahaan. Keputusan tersebut semakin penting manakala mempertimbangkan
bahwa bahwa komunikasi tersebut harus menunjukkan bahwa perusahaan benar-benar
memiliki legitimasi untuk melakukan itu.
Sangatlah wajar bila dalam beberapa tahun
terakhir, semakin banyak perusahaan yang memanfaatkan media online interaktif
untuk mengkomunikasikan CSR. Ini karena ada keyakinan bila komuinikasi
berlangsung secara interaktif, Data menunjukkan 71% perusahaan yang tergabung
dalam Fortune Global 500 menyediakan situs web untuk CSR terpisah dari website
perusahaan. Dari jumlah tersebut, 75% diantaranya memberikan kesempatan kepada
penggunanya untuk menanggapi informasi yang diberikan.
Pertanyaannya adalah apakah menggunakan
media interaktif meningkatkan nilai strategi komunikasi korporat mengenai CSR?
Beberapa perusahaan sempat mengkhawatirkan dampak penggunaan komunikasi
interaktif terhadap reputasi mereka. Pada Maret 2010, Greenpeace menyerang
Nestle karena praktek yang dilakukan
pemasok minyak kelapa sawitnya yang diduga mengancam kehidupan orangutan. Video
yang diunggah ke YouTube ''Have a Break?'' yang menunjukkan seorang karyawan
mengunyah jari orangutan dalam bentuk Kit Kat telah diunduh 1,5 juta kali dan
menyebabkan 200.000 protes melalui email.
Setelah mencoba mengatasi serangan itu,
Nestle menyerah dengan menangguhkan semua pasokan dari produsen sawit tadi (The
Economist 2010). Video kampanye boikot dari Greenpeace melalui dunia maya itu
menyebabkan Nestle kewalahan karena halaman Facebook-nya ramai dengan komentar
negatif. Tersebarnya video itu ke seluruh dunia seakan tak terhentikan. Itulah
tantangan yang dihadapi perusahaan ketika masuk ke dalam media interaktif.
Internet telah memicu perubahan
berkelanjutan pada struktur industri dan cara-cara bisnis menciptakan nilai.
Konektivitas telah menciptakan hubungan baru antara perusahaan, pelanggan,
karyawan dan mitra. Orang-orang sekarang memiliki akses ke sejumlah besar
informasi - dan opini - tentang produk dan praktik perusahaan. Informasi ini
tersedia di setiap bagian dari dunia, setiap menit setiap hari.
Tapi internet tidak sekadar informasi yang
menyebar. Ini juga merupakan tempat di mana orang berkumpul untuk membahas dan
mengatur kegiatan untuk membawa perubahan sosial. Akibatnya, keberlanjutan,
baik untuk masyarakat dan perusahaan, membutuhkan akuntabilitas bersama -
hubungan yang lebih kolaboratif yang memungkinkan masing-masing pihak untuk
mencapai pemahaman bersama dan berkembang.
Selama beberapa waktu, kerjasama
meningkatkan visibilitas dari aksi korporasi; saat persepsi pelanggan
perusahaan dan perilaku pembelian konsekuen mereka fundamental mengubah. Karena
itu, hal ini berarti memberikan dampak keuangan yang signifikan untuk bisnis.
Karenya, CSR tidak lagi dipandang sebagai hanya biaya peraturan atau diskresi,
tetapi investasi yang membawa keuntungan finansial.
Beberapa studi yang melihat efektivitas
komunikasi tentang CSR terhadap sikap dan loyalitas konsumen dan stakeholder
lainnya umumnya menyimpulkan bahwa secara keseluruhan, komunikasi CSR berdampak
positif. Namun itu bukan tanpa kondisi sebab independensi sumber informasi
dalam komunikasi CSR tersebut mempengaruhi kredibilitas komunikasi, dan
karenanya kredibilitas tersebut selanjutnya mempengaruhi efektivitas dalam hal
mengubah sikap dan perilaku stakeholder.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar