Banyak yang sepakat bahwa kepercayaan itu penting.
Kepercayaan adalah kunci membangun hubungan interpersonal yang positif,
misalnya saat seseorang berinteraksi dengan orang lain. Ada semacam konsensus
di kalangan peneliti bahwa persepsi warga masyarakat terhadap sebuah institusi
dan legitimasi institusi dapat
meningkatkan kesediaan warga masyarakat untuk bekerja sama dengan institusi
tersebut.
Namun harus diakui bahwa cara membangun dan mengelola trust
tersebut kini makin sulit. Coba sinmak ilustrasi berikut. Pada 1975 lanskap
media jurnalisme tidak seluas sekarang. Ibarat sebuah desa, penduduknya tidak
banyak. Merek yang beredar di pasar juga jauh lebih sedikit, kualitas yang
dirasakan tinggi dan mereka menikmati kepercayaan teman-teman, kolega, anggota
keluarga dan teman sekelas yang tinggi saat mereka diperkenalkan.
Hari-hari ini merek-merek yang nyaris sama itu berjuang
untuk menghadapi pesaingnya dalam lingkungan yang sarat dengan provokasi dan
advokasi. Mereka harus berjuang untuk bersaing dalam arena public agar argument
advokasi perusahaan diterima publik. Pada situasi seperti itu, model
kepercayaan yang dikelola dengan cara lama tidak akan bekerja. Kini yang harus
menyimpulkan keadaan secara akurat bukan hanya pelaku bisnis media, tapi juga
setiap bisnis dan merek tengah berjuang untuk bertahan hidup di media web.
Sebuah tanda “like” di social media misalnya, sejatinya
tidak berarti banyak. Sebab tanda itu bisa berarti bukan ungkapan rasa percaya,
dan bisa saja ungkapan itu menunjukkan sebuah harapan atau permintaan. Dalam
konteks di Facebook misalnya, tanda jempol pada satu fanpage sebuah brand bisa
jadi suatu harapan kalau brand tersebut berpromosi, dia berharap untuk
dihubungi.
Yang pasti, untuk membangun kembali kepercayaan konsumen,
merek harus transparan tentang asal muasal produk dan mengkomunikasikan
nilai-nilai mereka dengan jelas. Betapa tidak, di era di mana setiap
pelanggaran kecil dapat diperbesar hanya dalam hitungan detik hanya dengan cara
menekan tombol, tidak mengherankan walaupun berbagai upaya terbaik dilakukan,
seringkali merek masih kehilangan kepercayaan dari konsumen mereka.
Survei yang dilakukan Reputation Institute menemukan, hanya
15% orang yang mempercayai pesan-pesan yang disampaikan perusahaan melalui
iklan mereka. Sekitar 43% responden tidak yakin jika barang dan jasa yang
diiklankan memiliki kualitas tinggi. Tingginya tingkat ketidakpercayaan
tersebut, menurut analisis Reputation Institute, karena makin banyaknya
konsumen yang kritis dan media sosial.
Namun kemunculan media sosial ibarat pedang bermata ganda.
Satu sisi media social berpotensi menjadi penentu keberhasilan merek melalui
diperkenalkannya cara baru dalam penggunaan narasi cerita merek untuk
mendapatkan kembali kepercayaan dari konsumen. Namun, seringkali orang melihat
tingkat kepercayaan public dengan cara yang sangat sederhana, dengan hanya
misalnya melihat banyaknya kata ‘like” atau ‘dislike’ di website atau media
sosialnya.
Masalahnya adalah bagi suatu merek membangun kehadiran di
media baru adalah mudah. Namun, pengelola merek seringkali gagal memahami
karakter media baru. Karena itu sering dijumpai banyak merek atau perusahaan
masih sering menjalankan praktek lama pada media baru, mereka tetap menerapkan
metode perintah dan kontrol pemasaran, komunikasi model top-down dan model penyampaian pesan satu arah. Mereka
gagal memahami bahwa media baru tidak hanya membuat proses lama terlihat usang
tetapi juga membuat transparansi menjadi suatu keharusan.
Seperti yang dikatakan David Amerland, penulis buku The
Tribe That Discovered Trust - How trust is created lost and regained in commercial
interactions ini, kepercayaan memiliki kualitas yang sangat halus. Seperti
oksigen atau cahaya yang kita perhatikan hanyalah sesuatu yang tiidak ada,
tetapi bisa dirasakan manfaatnya. Seperti oksigen dan cahaya, bila trust
melekat pada diri kita, maka hal itu memberikan manfaat bagi kita secara
produktif. Satu-satu cara agar kita
benar-benar memahami sesuatu yang tidak dapat kita lihat atau sentuh adalah
dengan mendefinikannya dan melihat beberapa efeknya nyatanya.
Dengan kata lain, kepercayaan tidak lagi secara otomatis
diberikan kepada siapa pun yang memintanya paling keras dan paling sering,
namun mereka yang menerima kepercayaan tersebut memang layak memdapatkannya.
Itu juga terjadi dalam kehidupan nyata, terutama di desa abad pertengahan.
Kepercayaan memiliki kualitas yang sangat halus. Seperti oksigen atau cahaya
yang kita perhatikan hanyalah sesuatu yang tiidak ada, tetapi bisa dirasakan
manfaatnya. Seperti oksigen dan cahaya, bila trust melekat pada diri kita, maka
hal itu memberikan manfaat bagi kita secara produktif. Satu-satu cara agar kita benar-benar memahami
sesuatu yang tidak dapat kita lihat atau sentuh adalah dengan mendefinikannya
dan melihat beberapa efeknya nyatanya.
Dunia telah berubah. Dunia kini berubah menjadi lebih
transparan dan teknologi yang mengendalikan sebagian besar dari perubahan itu,
meski bukan alasan itu diri sendiri
berubah. Teknologi terus melakukan apa yang selalu dilakukan. Teknologi terus
mengamplifikasi kemampuan fisik dengan mengubah keterbatasan fisik menjadi sesuatu
yang kadang-kadang melampui dari yang diharapkan. Teknologi juga mampu
mengambil dan menguatkan hal tak terlihat dan menancapkannya ke dalam pikiran
orang, ruang di mana pikiran, keinginan dan harapan diproses.
Platform media sosial telah mengubah cara orang
berkomunikasi satu sama lain. Cara orang menerima informasi dari orang-orang
yang secara tradisional telah berubah menjadi penjaga gerbang kekuasaan juga
berubah. Perubahan itu juga termasuk pada cara orang dalam menemukan mitra
romantis, pekerjaan, dan teman-temannya, bahkan juga mengubah cara
seseorang dalam membentuk komunitas dan
membuat suku modern.
Dulu untuk membangun komunitas, inisiator harus bertemu,
bertatap muka dan berdiskusi. Namun kini, perangkat teknologi dalam saku
memiliki kemampuan yang begitu kuat dan nyaris mampu melakukan apa saja yang
ada dalam pikiran kita. Perangkat itu mampu membawa seseorang bersama dengan
teman-teman, kenalan, bahkan yang tidak dikenal sekalipun yang berada di
negara-negara manapun, etnis, zona waktu dan hambatan bahasa, berada dalam
komunitas.
Namun ada paradoks tentang teknologi. Pada awalnya -- ketika
baru mencoba -- Anda harus berjuang bagaimana menggunakaa teknologi dan
mendapatkannya agar bisa Anda gunakan untuk melakukan apa yang ingin Anda lakukan.
Itu terjadi pada semua teknologi. Namun, begitu Anda menguasai cara
menggunakannya, ketika perangkat itu bekerja, data data mengalir kemana-mana
dan di mana-mana, tanpa diminta, tak terbendung, dan dengan sederhana dari
seakan tak ada gesekan yang menghambatnya. Anda bisa mendapatkan infoemasi
secara gratis karena biaya untuk berbaginya sangat rendah, bahkan hampir nol.
Namun bukan itu yang penting, yang penting saat ini adalah terjadinya hubungan manusia.
Di dunia nyata, kepercayaan tidak bisa hanya masalah pilihan
pribadi semata. Secara intuitif orang mengetahui bahwa ada modus yang
menjelaskan bagaimana kepercayaan bekerja. Setidaknya ada dua, kepercayaan awal
atau kepercayaan personal, dan associative trust. Kepercayaan personal berasal
dari kita yang kemudian diperluas setelah menerima rekomendasi dari individu
yang terpercaya. Sementara kepercayaan asosiatif muncul ketika orang teman
merekomendasikan jenis khusus dari pena yang cocok untuk saya untuk menulis di
permukaan apapun. Berdasarkan rekomendasi itu, saya lebih bersedia melakukan
apa yang direkomendasikan itu.
Dalam media sosial sebagaimana sebuah bisnis merancang
sebuah reputasi, yang sangat diperlukan adalah bagaimana mencapai suatu tujuan
usaha secara efisien dalam skala koneksi yang tersedia. Dalam kelompok social,
reputasi sering disamakan dengan popularitas di media sosial dan keterkenalan
dengan kepercayaan. Dalam banyak kasus, tesis itu mengarahkan orang-orang
menjadi lebih bersedia untuk terhubung dengan Anda dan memberi kepercayaan kepada
Anda.
Hal ini makin menjelaskan bahwa kepercayaan membutuhkan
kesadaran dari konteks dan satu set harapan itu muncul dari kesadaran itu.
Kepercayaan tidak hanya situasional, timbul dari konteks skenario yang khusus
meski subjektif, tergantung pada persepsi pentingnya individu dalam suatu
kegiatan.
Ambil contoh ketika Anda mempertimbangkan untuk membeli
sekotak korek api. Anda berpikir tak apa-apa menghabiskan beberapa sen untuk
membeli sesuatu dari seorang pedagang jalanan yang belum pernah Anda lihat
sebelumnya. Pertanyaan tentang kualitas, tanggal kadaluwarsa dan bahkan apakah
setiap barang korek api di dalam kotak itu akan menyala (atau jumlah batang
korek api tadi itu sesuai dengan yang ada di dalamnya) bukanlah sesuatu yang
penting. Ini karena biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan satu box
koreks api sangatlah kecil. Hal terburuk yang bisa terjadi adalah hanya ada
beberapa batang koreks api yang berfungsi. Hal ini dapat mengganggu, tapi tidak
menjadi bencana.
Persoalannya, ketika kepercayaan terancam, posisi merek atau
perusahaan dan penonton bisa terkena dampak dari terancamnya kepercayaan
tersebut. Kasus-kasus individu dapat dengan mudahnya meningkat jika dibiarkan
tidak terselesaikan. Perusahaan dapat menjadi tumpuan harapan, jika etos dan
sikap mereka baik, atau menjadi magnet kebencian jika mereka disimbolkan
sebagai bisnis besar, dan perusahaan kapitalistis.
Berurusan dengan hilangnya kepercayaan membutuhkan
komunikasi yang tulus, humanisasi yang besar dan keinginan yang tulus untuk
mengatur segala sesuatunya menjadi lurus. Meskipun setiap strategi yang
diterapkan tergantung pada tingkat keparahan krisis, ada beberapa langkah yang
perlu diterapkan untuk mengatasinya.
Yang perlu dilakukan untuk mengatasi krisis antara lain,
membuka jalur komunikasi. Seperti diketahui, perusahaan yang diserang cenderung
meringkuk dalam parit mereka. Sementara di belakang layar mereka mungkin panik
dan berusaha mengatur hal-hal yang benar, penampilan yang nampak di luar adalah
ketidakpedulian. Karena itu, untuk menghilangkan persepsi ketidakpedulian itu
maka perusahaan harus menciptakan kesan bahwa perusahaan sudah melakukan
sesuatu.
Untuk itu maka perusahaan harus membuka saluran komunikasi
seluas-luasnya dengan stakeholder. Tanpa jalur komunikasi, jika persepsi
ketidakpedulian disebarkan, maka persepsi itu bisa berubah menjadi kenyataan. Ketika perusahaan bertindak untuk
mengatasinya, maka hal itu bisa dilihat dan ditafsirkan sebagai bukti kesalahan
yang lebih lanjut dan defensive. Itu berarti hanya akan menambah
ketidakpercayaan.
Menciptakan transparansi – Ini berarti perusahaan disarankan
untuk tidak melakukan hal-hal di balik layar dalam ruangan, dan mengharapkan
masyarakat untuk memahami. Transparansi sangat penting dalam membangun kembali
hubungan antara merek dan audienxe yang tersinggung.
Memulai percakapan. Ini dilakukan dengan asumsi bahwa Anda
berharap bisa dipercaya lagi jika semua yang Anda lakukan adalah reaksi
terhadap situasi. Persepsi yang ada di tangan Anda., lebih disebabkan doleh ketulusan yang terpaksa. Untuk itulah
mulailah dengan perckapan.
Secara umum buku ini memang agak susah difahami ini karena
banyak konsep dan teori yang digambarkan. Namun demikian buku ini cocok untuk
meeka yang ingin memperdalam masalah kepercayaan. Karena bagaimanpun membangun,
menjaga, dan bahkan meningkatkan kepercayaan adalah sesuatu yang penting bagi
kehidupan indovsiu dan perusahaan serta organisasi yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar