Rebranding didorong oleh adanya perubahan internal dan
eksternal. Yang paling penting adalah perubahan selera dan kebutuhan konsumen
atau stakeholder pergurun tinggi.
Brand merupakan penanda dari suatu item yang memiliki nama
dagang, tanda, logo dan kemasan. Brand dibangun dari persepsi (brand image)
konsumen melalui iklan dengan memproyeksikan suatu citra, teks, taktik, dan
membentuk memori pada penggunanya, mempengaruhi aspek branding seperti pemasaran
dan periklanan (Putih, 2006).
Brand perlu dibedakan dengan produk pesaing sehingga menjadi unik dan dikenali target marketnya. Perbedaan brand dapat dilihat dari berbagai aspek seperti dalam formulasi produk, sistem pengiriman, ukuran, warna, aroma, dan bentuk-bentuk lainnya (blacke dan Denton, 1987: 1).
Untuk membedakan brand di pasar, suatu perusahaan atau organisasi perlu melakukan aktivitas branding yang merupakan proses mencoba untuk mengontrol semua yang dikatakan dan tindakan brand, dan cara-cara untuk menyampaikan, dengan mengidentifikasi kepribadian dan bagaimana merek diposisikan. Sementara perbedaan suatu brand melibatkan integrasi komunikasi dan terus-menerus memantau brand dan pesaingnya (Temporal, 2002: 12).
Brand perlu dibedakan dengan produk pesaing sehingga menjadi unik dan dikenali target marketnya. Perbedaan brand dapat dilihat dari berbagai aspek seperti dalam formulasi produk, sistem pengiriman, ukuran, warna, aroma, dan bentuk-bentuk lainnya (blacke dan Denton, 1987: 1).
Untuk membedakan brand di pasar, suatu perusahaan atau organisasi perlu melakukan aktivitas branding yang merupakan proses mencoba untuk mengontrol semua yang dikatakan dan tindakan brand, dan cara-cara untuk menyampaikan, dengan mengidentifikasi kepribadian dan bagaimana merek diposisikan. Sementara perbedaan suatu brand melibatkan integrasi komunikasi dan terus-menerus memantau brand dan pesaingnya (Temporal, 2002: 12).
Makin bermunculannya perguruan tinggi baik swasta maupun
negeri serta lembaga-lembaga pendidikan lainnya, menyebabkan suatu perguruan
tinggi harus menghadapi persaingan dalam memberikan pendidikan yang memenuhi
kebutuhan pasar. Organisasi mulai mencari alternatif untuk membedakan organisasi
mereka dalam rangka untuk menarik perhatian para pemangku kepentingan dan
sejalan dengan tren pendidikan saat ini.
Karakteristik layanan yang intangible, tidak terpisahkan, selalu berubah, dan tidak tahan lama, perguruan tinggi harus selalu dirancang berbeda untuk mempertahankan persepsi pelanggan pada layanan dan menghindari duplikasi oleh pesaing (Kotler dan Armstrong, 2004: 299). Disinilah perlunya perguruan tinggi menjadiikan dirinya sebagai sebuah brand yang kuat.
Karakteristik layanan yang intangible, tidak terpisahkan, selalu berubah, dan tidak tahan lama, perguruan tinggi harus selalu dirancang berbeda untuk mempertahankan persepsi pelanggan pada layanan dan menghindari duplikasi oleh pesaing (Kotler dan Armstrong, 2004: 299). Disinilah perlunya perguruan tinggi menjadiikan dirinya sebagai sebuah brand yang kuat.
Dengan demikian, tujuan branding adalah untuk meningkatkan
penjualan, mempertahankan dan meningkatkan pasar, membuat penjualan tertinggi,
menginformasikan dan mengedukasi pasar, menciptakan persaingan dengan cara yang
berbeda, dan meningkatkan efisiensi promosi (Rowley, 1997), menciptakan identitas
dan kesadaran merek, jaminan kualitas, kuantitas dan kepuasan pengguna, serta
mempromosikan produk (Onksvisit dan Shaw, 1997: 425).
Karena untuk bisa bersaing perguruan tinggi harus
menunjukkan perbedaan dengan perguruan tinggi lainnya, maka perguruan tinggi
harus fokus dalam membangun perbedaan tersebut. Ini bisa dilakukan melalui
peningkatakan kurikulum dan kualitas perguruan tinggi seperti layanan dan
sebagainya.
Ukuran keberhasilannya dapat dilihat dari apakah perguruan tinggi tersebut tumbuh berkelanjutan, meskipun berada di tengah persaingan yang ketat, citranya mendorong orang tua dan calon mahasiswa untuk masuk ke perguruaun tinggi tersebut, jumlah mahasiswa barunya terus meningka, mempertahankan pertumbuhan jumlah mahasiswanya serta interaksi positif antara perguruan tinggi dan stakeholdernya termasuk mahasiswa dan menancapkan pengalaman itu ke dalam memori mahasiswanya.
Ukuran keberhasilannya dapat dilihat dari apakah perguruan tinggi tersebut tumbuh berkelanjutan, meskipun berada di tengah persaingan yang ketat, citranya mendorong orang tua dan calon mahasiswa untuk masuk ke perguruaun tinggi tersebut, jumlah mahasiswa barunya terus meningka, mempertahankan pertumbuhan jumlah mahasiswanya serta interaksi positif antara perguruan tinggi dan stakeholdernya termasuk mahasiswa dan menancapkan pengalaman itu ke dalam memori mahasiswanya.
Dengan kata lain, citra menjadi begitu sangat penting dalam
membangun sebuah brand perguruan tinggi. Dalam beberapa literatur, beberapa
peneliti menyamakan citra dan reputasi (Bromley, 1993), meskipun keduanya
merupakan dua konsep yang berbeda.
Citra suatu organisasi dapat dilihat sebagai cerminan dari sikap individu. Dengan demikian, citra dapat didefinisikan sebagai pandangan eksternal organisasi (Hatch dan Schultz, 1997, hal. 361). Ini adalah refleksi dari sebuah organisasi, yang terbentuk atas dasar atribut individual dan subyektif yang dirasakan oleh para pemangku kepentingan (Herger, 2006, hal. 161).
Citra suatu organisasi dapat dilihat sebagai cerminan dari sikap individu. Dengan demikian, citra dapat didefinisikan sebagai pandangan eksternal organisasi (Hatch dan Schultz, 1997, hal. 361). Ini adalah refleksi dari sebuah organisasi, yang terbentuk atas dasar atribut individual dan subyektif yang dirasakan oleh para pemangku kepentingan (Herger, 2006, hal. 161).
Sementara itu identitas merupakan manifestasi aktual dari
realitas perusahaan misalnya ditunjukkan melalui nama perusahaan, logo, moto,
produk, layanan, bangunan, alat-alat tulis, seragam , dan barang-barang nyata
yang diciptakan oleh perusahaan tersebut dan dikomunikasikan kepada beragam
konstituen.
Konstituen kemudian membangun persepsi berdasarkan pesan-pesan yang dikirimkan perusahaan itu dalam bentuk nyata (Argenti, 2009). Persepsi-persepti itulah yang menghasilkan citra. Karenanya jika citra-citra itu dengan akurat mencerminkan realitas perusahaan atau organisasi, maka program identitas tersebut berhasil.
Konstituen kemudian membangun persepsi berdasarkan pesan-pesan yang dikirimkan perusahaan itu dalam bentuk nyata (Argenti, 2009). Persepsi-persepti itulah yang menghasilkan citra. Karenanya jika citra-citra itu dengan akurat mencerminkan realitas perusahaan atau organisasi, maka program identitas tersebut berhasil.
Ketika identitas perusahaan atau organisasi tersebut dan
citranya selaras, terbentuklah reputasi. Dengan demikian, reputasi merupakan
sintesis dari banyak citra dan karena itu banyak sikap yang hadir secara
bersamaan (Fombrun, 1996, hal 72;. Gray dan Balmer, 1998; Helm, 2004).
Umumnya, reputasi digambarkan sebagai "persepsi atas kemampuan perusahaan untuk memenuhi harapan seluruh stakeholder" (Fombrun, 1996, hal. 37). Ini merupakan sintesis dari sikap individu terhadap perilaku masa lalu organisasi dan prospeknya masa depan (Davies dan Chun, 2002; Pos dan Griffin, 1998).
Umumnya, reputasi digambarkan sebagai "persepsi atas kemampuan perusahaan untuk memenuhi harapan seluruh stakeholder" (Fombrun, 1996, hal. 37). Ini merupakan sintesis dari sikap individu terhadap perilaku masa lalu organisasi dan prospeknya masa depan (Davies dan Chun, 2002; Pos dan Griffin, 1998).
Sementara itu, Gotsi dan Wilson (2001) berpendapat, reputasi
adalah sikap umum terhadap pihak ketiga. Karena sebagian besar pendekatan
konsep reputasi dikaitkan dengan persepsi agregat dan evaluasi perusahaan oleh
berbagai pihak (Davies et al, 2003;.. Fombrun et al, 2000), maka kelompok
pemangku kepentingan yang berbeda memandang reputasi organisasi berbeda
(Caruana et al, 2006, hal 430;.. Gotsi dan Wilson, 2001, hal 24.).
Dari sudut pandang sosiologis, reputasi dipandang sebagai
penerimaan sosial dari suatu organisasi. Hal ini mengacu pada tindakan
(organisasi atau individu) di masa lalu dan "[. . .] Muncul jika mitra
aktor masa depan diinformasikan pada perilakunya yang sekarang "(Raub dan
Weesie, 1990, hal. 626).
Pada tingkatan yang lebih abstrak, dari perspektif ini,
reputasi dipandang sebagai suatu proses pertukaran legitimasi diantara para
agen (organisasi dan pemangku kepentingan) dan diperoleh baik melalui
persetujuan pihak ketiga (misalnya melalui NPO) atau melalui proses kognisi,
seperti bertindak dalam kerangka sosial. Karena itu, dari sudut pandang ini
reputasi dilihat dalam konteks fungsi integratif dalam masyarakat (Eisenegger
dan Imhof, 2008).
Dari sudut pandang ekonomi, reputasi dipandang sebagai aset
tidak berwujud yang membantu menciptakan nilai finansial perusahaan (Ressel,
2008). Studi tentang dampak reputasi terhadap keuangan masih memunculkan
perdebatan (Eberl dan Schwaiger, 2005). Namun, Schnietz dan Epstein (2005, hal.
341) menunjukkan bahwa selama masa krisis, reputasi dalam tanggung jawab sosial
memberikan keuntungan finansial yang nyata.
Dalam hal manajemen reputasi, pemimpin bisnis menunjukkan
bahwa lebih sulit memulihkan kegagalan reputasi daripada untuk membangun atau
mempertahankannya. Memulihkan reputasi karena krisis membutuhkan waktu.
Biasanya membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk membangun kembali kepercayaan sebagaimana sebelumnya (Milewicz dan Herbig, 1994, hal 44.). Memulihkan reputasi akibat krisis lebih seperti maraton daripada sprint. Ini menggarisbawahi perlunya manajemen reputasi yang canggih baik sebelum (manajemen isu) atau pada saat ancaman (krisis dan manajemen komunikasi) berlangsung.
Biasanya membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk membangun kembali kepercayaan sebagaimana sebelumnya (Milewicz dan Herbig, 1994, hal 44.). Memulihkan reputasi akibat krisis lebih seperti maraton daripada sprint. Ini menggarisbawahi perlunya manajemen reputasi yang canggih baik sebelum (manajemen isu) atau pada saat ancaman (krisis dan manajemen komunikasi) berlangsung.
Dari sudut pandang komunikasi perusahaan, reputasi dipandang
sebagai sumber daya yang harus dilindungi, terutama selama situasi krisis.
Komunikasi yang baik memiliki dampak pada pemulihan citra (Benoit, 1995) atau
agenda media di mana reputasi dibangun (Eisenegger, 2005), dalam rangka untuk
menjaga reputasi dalam jangka panjang (Coombs, 2006).
Membangun reputasi yang baik di antara para pemangku
kepentingan dapat meningkatkan kemampuannya sebagai sumber daya yang sangat
bermanfaat bila peusahaan berada dalam situasi sulit, seperti krisis (Jones et
al, 2000; Davies et al, 2003;. Dowling, 2002).
Contohnya, reputasi yang kuat membantu Johnson & Johnson menyelamatkan Tylenol dari krisis sianida yang merusak pada awal 1980an. Reputasi yang baik juga memungkinkan kasus kontaminasi Coca-Cola di India pada 2004 tanpa menimbulkan kerusakan jangka panjang yang berarti bagi Coca-Cola.
Contohnya, reputasi yang kuat membantu Johnson & Johnson menyelamatkan Tylenol dari krisis sianida yang merusak pada awal 1980an. Reputasi yang baik juga memungkinkan kasus kontaminasi Coca-Cola di India pada 2004 tanpa menimbulkan kerusakan jangka panjang yang berarti bagi Coca-Cola.
Identitas brand berasal dan dikendalikan oleh organisasi itu
sendiri. Bagaimana masyarakat mengenali identotas tersebut, perusahaan atau
organisasi menyampiakannya melalui komunikasi, perilaku, dan estetika. Di sisi
lain, citra merek diciptakan dari persepsi umum suatu organisasi yang dipegang
dan keyakinan di benak audience eksternal. Idealnya, identitas merek sejajar
dengan citra. Karena itu, ketika identitas dan citra organisasi tidak lagi
sejajar, rebranding yang diperlukan untuk memodifikasi citra untuk mencerminkan
perubahan dalam identity.
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa rebranding merupakan
proses yang direncanakan dan dilaksanakan untuk menciptakan nama baru, istilah,
simbol, desain, atau kombinasi diantaranya yang dimaksudkan untuk mengembangkan
posisi baru yang berbeda kerangka pikiran pemangku kepentingan dan identitas
khas dari para pesaing. Rebranding perusahaan secara fundamental berbeda dari
rebranding produk, yaitu dalam ukuran dan ruang lingkup.
Hampir semua brand perlu terus diperbarui dan segar untuk
tetap relevan di pasar saat ini. Rebranding dapat mencakup perubahan kecil,
menengah, dan lengkap. Pada salah satu ujung kontinumnya adalah evolusi rebranding,
proses berkesinambungan yang menggambarkan perkembangan detail dalam citra
merek perusahaan seperti modifikasi logo atau slogan.
Dalam konteks perguruan tinggi, untuk membangun citra,
identitas fisik dan filosofi dan strategi untuk audience di luar melalui
komunikasi, perilaku, dan estetika. Di sisi lain, citra merek diciptakan oleh persepsi umum suatu organisasi di benak
audiense eksternal. Idealnya, identitas merek sejajar dengan citra. Karena itu,
ketika identitas dan citra organisasi yang tidak lagi sejajar, rebranding yang
diperlukan untuk memodifikasi citra untuk mencerminkan perubahan dalam identity.
Terdapatt beberapa situasi yang melatarbelakangi suatu
rganisasi melakukan rebranding. Organisasi atau perusahaan melakukan
re-branding untuk mengatasi peristiwa baik posiitif maupun negatif yang terjadi
secara bertahap atau tiba-tiba, baik secara internal maupun eksternal. Sinyal
suatu organisasi perlu melakukan rebranding muncul manakala terjadi perubahan
yang cukup besar dalam sebuah organisasi – misalnya perubahan struktur
organisasi dan pimpinan organisasi -- dan perubahan itu menuntut perusahaan
untuk medefinisi identitasnya.
Perubahan struktur organisasi termasuk merger dan akuisisi,
spin-off, kebangkrutan, go public, atau menyatukan banyak merek di bawah satu
nama. Perubahan strategi meliputi masalah globalisasi, lokalisasi, divestasi
dan memfokuskan kembali, dan diversifikasi. Faktor internal lainnya yang
menyebabkan suatu organisasi perlu melakukan rebranding misalnya pada saat
citra organisasi menjadi negarif akibat skandal atau krisis.
Alasan kedua adalah perubahan eksternal yang mungkin
mengakibatkan perubahan citra. Dalam situasi seperti ini organisasi petlu
melakukan perubahan yang bertujuan untuk mengubah citra sehingga tetap relevan
dengan perubahan kebutuhan dan selera konsumen. Ini antara lain ditandai dengan
masuknya pesaing baru.
Masuknya pesaing baru secara tidak langsung memperlemah citra karena tidak tertutup kemungkinan pesaing menawarkan sesuatu yang sama atau mirip dengan yang ditawarkan organisasi. Faktor eksternal lainnya adalah karena terjadinya perubahan selera dan kebutuhan konsumen.
Ketika Indonesia sangat memprioritas pembangunan pertanian, secara langsung hal itu berdampak pada kebutuhan lulusan yang mempunyaikeahlian di bidang pertanian. Dalam perjalananannya ketika sector pertanian tidak lagi diprioritaskan, maka kebutuhantersebut semakin turun.
Masuknya pesaing baru secara tidak langsung memperlemah citra karena tidak tertutup kemungkinan pesaing menawarkan sesuatu yang sama atau mirip dengan yang ditawarkan organisasi. Faktor eksternal lainnya adalah karena terjadinya perubahan selera dan kebutuhan konsumen.
Ketika Indonesia sangat memprioritas pembangunan pertanian, secara langsung hal itu berdampak pada kebutuhan lulusan yang mempunyaikeahlian di bidang pertanian. Dalam perjalananannya ketika sector pertanian tidak lagi diprioritaskan, maka kebutuhantersebut semakin turun.
Akhirnya, rebranding dapat didorong oleh kinerja yang secara
keseluruhan melemah. Indikator kinerja yang melemah termasuk melambatnya dan
terhentinya pertumbuhan, turunnya pendapatan dan keuntungan, kegagalan untuk
menarik bakat atau talenta atau berpindahnya para talenta ke perguruan tiggi pesaing, lebih sedikit calon mahasiswa yang mendaftar, serta ketidakmampuan
perguruan tinggi untuk membedakan dirinya dari pesaing.
Di luar itu, rebranding juga terjadi karena merger dan akuisisi, yang diikuti oleh spin-off yang isu-isunya isa menggangu citra merek. Secara keseluruhan, rebranding itu sendiri adalah pesan dan harus menjadi manifestasi dari perubahan yang sebenarnya dalam sebuah organisasi.
Di luar itu, rebranding juga terjadi karena merger dan akuisisi, yang diikuti oleh spin-off yang isu-isunya isa menggangu citra merek. Secara keseluruhan, rebranding itu sendiri adalah pesan dan harus menjadi manifestasi dari perubahan yang sebenarnya dalam sebuah organisasi.
Di Indoensai, rebranding perguruan tinggi sudah sering
terjadi. Sejak 2002 silam misalnya, pemerintah mengadakan perubahan pendidikan
tinggi Islam, dari Institut Ilmu Agama Islam (IAIN) menjadi Universitas Islam
Negeri (UIN). Pengembangan IAIN menjadi
UIN menandakan sebuah proses kesadaran yang lebih maju.
Selama ini IAIN di anggap kampus yang memproduksi guru- guru agama baru, penganti imam masjid, takmir, dan pengisi acara pengajian. Hal serupa dilakukan pada pendidikan tinggi untuk pendidik, yakni Institut Keguruan Ilmu Pendidikan yang berubah menjadi Univesitas Negeri atau Universitas Pendidikan.
Selama ini IAIN di anggap kampus yang memproduksi guru- guru agama baru, penganti imam masjid, takmir, dan pengisi acara pengajian. Hal serupa dilakukan pada pendidikan tinggi untuk pendidik, yakni Institut Keguruan Ilmu Pendidikan yang berubah menjadi Univesitas Negeri atau Universitas Pendidikan.
Perubahan tersebut dilakukan karena adanya stigma yang tersepsi
bahwa alumni IAIN tidak berkembang karena ijazah yang dihasilkan tidak memiliki
standar yang diminta oleh pasar. Tidak bisa pungkiri bahwa keinginan di setiap
kelulusan adalah orientasi mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang layak.
Pembentukan UIN merupakan bagian dari usaha mengintegrasikan beragam keilmuan untuk mengeliminasi dikotomi antara ilmu umum dan ilmu agama. Hal ini dianggap perlu dalam usaha untuk memberikan dasar etika Islam demi pengembangan ilmu dan teknologi dan pada saat yang bersamaan juga berusaha mengimplementasikan ajaran-ajaran Islam secara profesional di dalam kehidupan social (Ma’ruf, 2014).
Pembentukan UIN merupakan bagian dari usaha mengintegrasikan beragam keilmuan untuk mengeliminasi dikotomi antara ilmu umum dan ilmu agama. Hal ini dianggap perlu dalam usaha untuk memberikan dasar etika Islam demi pengembangan ilmu dan teknologi dan pada saat yang bersamaan juga berusaha mengimplementasikan ajaran-ajaran Islam secara profesional di dalam kehidupan social (Ma’ruf, 2014).
Itu belum termasuk beberapa perguruan tinggi yang berganti
nama, perguruan tinggi yang mengganti nama jurusannya, dan sebagainya.
Tujuannya adalah untuk menyesuaikan dengan perubahan terutama perubahan
kebutuhan dan selera pasar, dalam hal ini adalah pasar tenaga kerja. Sebagian
besar dari mereka yang melakukan re=branding tersebut mendapatkan hasil yang
bagus. Buktinya, jumlah mahasiswa perguruan tinggi hasil transformasi
meningkat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar