Dalam tulisan saya sebelumnya, orang yang menolak perubahan pada dasarnya adalah mereka yang belum siap untuk berubah. Karena itulah, agar mereka menerima atau bersedia untuk berubah, mereka harus disiapkan untuk berubah. Untuk membangun kesiapan orang untuk berubah atau melakukan perubahan, Bandura (1977) dan Fishbein dan Azjen (1975) menawarkan strategi, yakni komunikasi persuasif (baik lisan maupun tertulis), partisipasi aktif, dan pengelolaan sumber-sumber informasi eksternal.
Komunikasi persuasif merupakan proses penyampaian pesan yang
secara eksplisit menekankan kesenjangan sehingga diperlukan adanya perubahan.
Dalam kaitannya dengan isi pesan, Armenakis et at. (1999) mengajukan lima
domain pesan penting dalam komunikasi perubahan. Kelimanya adalah discrepancy
(kesenjangan), efficacy (kemanjuran), approriatteness (ketepatan), principal
support (dukungan) dan valensi pribadi. Sentimen yang dihasilkan dari kelima
isi pesan tersebut adalah membentuk motivasi individu, sikap positif (kesiapan
dan dukungan) atau negatif (resistance) terhadap perubahan.
Pesan-pesan kesenjangan membentuk sikap karyawan bahwa
perubahan dibutuhkan dan biasanya ditunjukkan dengan memperjelas perbedaan
kinerja organisasi saat ini dengan kinerja yang diinginkan (Katz dan Kahn,
1978). Komponen pertama ini untuk menjawab pertanyaan, "Apakah perubahan
diperlukan?"
Kesenjangan didefinisikan sebagai perbedaan antara kondisi
saat ini dan kondisi ideal atau yang diinginkan. Sampai anggota organisasi
menyadari bahwa kondisi saat ini sebenarnya tidak diinginkan dan mereka lebih
menyukai keadaan yang berbeda, maka mereka seperti tidak mendapatkan insentif
untuk mempertimbangkan perlunya perubahan. Beer et al. (1990a) berpendapat
bahwa perubahan tidak terjadi sampai anggota organisasi menyadari bahwa ada
kondisi yang jelas-jelas berbahaya yang dalam waktu dekat bakal terjadidan.
Masalah yang nyata dan langsung tersebut harus diatasi jika
ingin organisasi tetap berjalan (hal. 55). Salah satu cara yang bisa digunakan
untuk menunjukkan adanya kesenjangan tersebut adalah dengan memberikan peraga
perbandingan produk tanaman kelompok yang diharapkan melakukan perubahan dengan
produk pesaing. Dalam contoh lain, Galpin (1996) memperlihatkan suatu produk
yang dihasilkan sebuah perusahaan petro-kimia yang menggunakan standar industri
untuk menunjukkan kepada karyawannya tentang perlunya perubahan tertentu.
Appropriateness (ketepatan) mengacu pada sentiment bahwa
suatu perubahan itu penting. Dalam
kegiatan perubahan pertanyaan yang muncul adalah "Apakah perubahan yang
ini yang tepat?" Selanjutnya mereka bertanya, bertanya, "Berubah
menjadi apa?" Yang sering terjadi, ketika inisiatif perubahan
diperkenalkan oleh pengelola organisasi, maka sebenarnya hal tersebut tidak
dilakukan dalam ruang hampa. Ketika usulan perubahan itu diajukan, tidak
tertutup kemungkinan adanya individu atau kelompok yang setuju tentang perlunya
perubahan tertentu. Namun demikian, ada pula yang tidak setuju dengan perubahan
tertentu yang diusulkan.
Dalam kaitan tesebut pengelola organisasi tidak hanya harus
menunjukkan bahwa ada kebutuhan bagi organisasi untuk melakukan perubahan,
melainkan juga harus memberikan informasi bahwa inisiatif perubahan yang
diusulkan adalah yang benar. Beckhard dan Harris (1987) mengamati bahwa
pertanyaan diagnostik kunci yang perlu dijawab dalam memperkenalkan inisiatif
perubahan adalah apakah inisiatif ini dimaksudkan untuk memperbaiki atau
meningkatkan kondisi yang sudah ada.
Harus diakui bahwa bisa muncul fenomena anggota organisasi
setuju bahwa perubahan diperlukan, namun bisa juga ada yang setuju dengan
inisiatif perubahan yang diusulkan (Kissler, 1991). Pada kondisi tersebut,
peneglola harus bisa menciptakan lingkungan partisipatif. Penelitian yang
dilakukan Kissler (1991) menunjukkan bahwa sebuah organisasi yang mendorong
anggotanya berpartisipasi, dapat membuat anggotanya lebih terlibat untuk
meningkatkan efektivitas perubahan organisasi.
Persoalannya, tidak jarang terjadi supervisor level menengah
mengakui adanya kebutuhan untuk meningkatkan efektivitas organisasi, namun
mereka tidak mendukung lingkungan yang partisipatif. Karena itu, untuk
mendukung sikap bahwa perubahan yang dilakukan sudah sesuai, diperlukan
kesepatan bahwa inisiatif perubahan yang diusulkan sesuai. Selain itu, harus
ada kesepakatan bahwa inisiatif ini adalah sejalan dengan budaya, struktur,
sistem formal organisasi (Buller et al., 1985). Dengan demikian, kesesuaian
inisiatif perubahan dengan organisasi adalah untuk menjawab pertanyaan apakah
insitiatif perubahan sudah benar atau tidak.
Sementara itu, resistensi yang dihasilkan mereka jelas
bermaksud baik dan berpotensi menguntungkan karena didasarkan pada
ketidaksepakatan tentang kelayakan suatu perubahan. Jika pesan perubahan tidak
dapat meyakinkan orang lain bahwa perubahan yang dilakukan sesuai dengan
kebutuhan mereka, maka harus dilakukan upaya untuk mempertimbangkan kembali
apakah perubahan yang dilakukan itu sudah tepat. Armenakis et al. (1990),
memaparkan kesalahan yang dilakukan eksekutif, manajer, dan konsultan dalam
membuat dalam diagnosis organisasi. Jika beberapa kesalahan-kesalahan ini lazim
maka perubahan organisasi yang dirancang untuk merespon diagnosis mungkin tidak
tepat dan tidak efektif.
Komponen pesan ketiga adalah principal support (dukungan
utama). Komponen ini menjawab pertanyaan, "Siapa yang mendukung perubahan
ini?" Menurut Armenakis et al. (1999) bentuk dukungan yang diperlukan
adalah "memberikan informasi dan meyakinkan anggota organisasi bahwa
pemimpin formal dan informal berkomitmen untuk membuat pelaksanaan ...
perubahan berhasil" (hal. 103).
Perubahan membutuhkan sumber daya dan komitmen untuk
melihatnya sampai pada tingkatan pelembagaan. Karyawan yang telah melihat
begitu banyak upaya perubahan namun karena kurangnya dukungan, mereka menjadi
skeptis dan tidak mau mendukung secara aktif perubahan sampai dukungan tersebut
mereka lihat secara jelas ada.
Ketika inisiatif perubahan diperkenalkan, anggota organisasi
akan melihat apakah manajemen serius terhadap perubahan yang diusulkan.
Dukungan tersebut makin diperlukan manakala melihat bahwa sebenarnya perubahan
pernah diusulkan namun tidak ada tindak lanjut atas inisiatif perubahan
masa-masa sebelumnya itu, atau perubahan terakhir yang dilakukan gagal. Untuk memahami inisiatif perubahan dan motif
manajemen, anggota organisasi akan mencari informasi dari sumber selain para
manajer atau sumber formal yang memperkenalkan perubahan. Sumber ini biasanya
dianggap oleh karyawan sebagai yang dapat diandalkan.
Larkin dan Larkin (1994) percaya bahwa pengawas yang
berhubungan langsung dengan karyawan adalah individu memiliki peran paling
penting dalam menggalang dukungan dari anggota organisasi untuk inisiatif
perubahan. Ketika kepemimpinan mengumumkan perubahan, karyawan sering berubah
menjadi atasan langsung pada saat di memberikan penjelasan tentang makna
perubahan. Jika atasan langsung juga tidak menyadari pembenaran untuk
perubahan, kesiapan bisa berdampak baik bagi anggota maupun pengawas.
Demikian juga, rekan-rekan karyawan juga mempunyai peran
dalam memberikan penjelasan tentang arti penting inisiatif perubahan yang
diajukan. Rousseau dan Tijoriwala (1999) menemukan bahwa anggota organisasi di
rumah sakit tidak mempercayai manajemen puncak, namun mereka mempercayai
persepsi rekan-rekan mereka.
Meskipun beberapa bukti menunjukkan tentang peran penting
pengawas langsung dan rekan-rekan sekerja karyawan dalam menciptakan kesiapan
untuk perubahan, namun hal tersebut tidak boleh diasumsikan bahwa dukungan ini
hanyalah persoalan tingkat dukungan. Perubahan biasanya diperkenalkan dan
didorong oleh manajemen puncak. Dengan demikian, reaksi mereka terhadap
inisiatif perubahan yang diajukan dapat mengakibatkan munculnya perasaan beban
berat di pikiran anggota organisasi.
Covin dan Kilmann (1990), misalnya, melaporkan bahwa
visibilitas dukungan dan komitmen untuk perubahan menciptakan persepsi positif
dari perubahan. Sebaliknya, kurang tampaknya dukungan atau perilaku yang tidak
konsisten pada bagian-bagian tertentu manajemen dapat menyebabkan munculnya
persepsi negatif tentang perubahan. Contoh tentang pentingnya dukungan utama
digambarkan oleh Vollman (1996). Vollman adalah seorang konsultan di sebuah
perusahaan dengan sistem informasi manajemen yang kacau-balau. Vollman dan
rekan-rekannya merekomendasikan sistem baru untuk diterapkan organisasi.
Namun demikian, ada seorang eksekutif kunci -- yang
menentang perubahan – yang kebetulan memegang begitu banyak kekuasaan dalam
organisasi. Melihat kondisi tersebut, Vollman dan rekan-rekannya
merekomendasikan agar organisasi menunggu dan tidak melakukan perubahan sampai
eksekutif tadi pensiun. Dalam sebuah penelitian terhadap 91 rumah sakit, Nutt
(1986) menemukan bahwa taktik perubahan yang paling berhasil adalah dengan membangun persepsi kepada para
agen perubahan terlebih dahulu bahwa perubahan penting, kemudian dilanjutkan
dengan mendemonstrasikan dukungan para agen perubahan tersebut.
Agar individu termotivasi untuk berubah, mereka harus
percaya bahwa ada sesuatu yang salah dan sesuatu yang harus berubah. Komponen
pesan keempat yang diajukan oleh Armenakis et al. (1999) adalah efficacy atau
sentimen kepercayaan diri bahwa mereka berhasil (Bandura, 1986). Pesn ini
terutama dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan yang seringkali muncul dalam
setiap perubahan seperti, "Dapatkah saya/kami berhasil membuat perubahan
ini." Bandura dan Locke (2003) mendefinisikan efikasi sebagai, "...
kekuatan untuk menghasilkan efek yang diinginkan. Kebalikannya adalah seseorang
memiliki sedikit insentif untuk bertindak atau untuk bertahan dalam menghadapi
kesulitan "(hal. 87).
Konsekuensinya, pesan yang disampaikan dalam komunikasi
untuk perubahan harus mendorong individu mampu menangani perubahan dalam
situasi tertentu dan tetap menjalankan pekerjaannya dengan baik meskipun berada
dalam lingkungan yang berubah. Ini konsisten dengan teori harapan motivasi
(misalnya Vroom, 1964), bahwa individu hanya termotivasi untuk mencoba atau
melakukan perubahan bila mereka memiliki keyakinan bahwa mereka berhasil.
Karena itu, Galpin (1996) menyatakan bahwa pengelola
organisasi memiliki tanggung jawab untuk menyediakan pendidikan dan pelatihan
yang diperlukan anggota organisasi agar pelaksanaan inisiatif perubahan
berhasil. Hal ini penting karena karyawan mungkin tidak memiliki keyakinan
bahwa perubahan dapat dilaksanakan. Kegagalan manajemen dalam memberikan
pendidikan atau pelatihan untuk mempersiapkan organisasi untuk perubahan dapat
menyebabkan karyawan kurang memiliki rasa percaya diri berhasil dalam
melaksanakan perubahan. Hal ini juga dapat menyebabkan karyawan kurang memiliki
kepercayaan pada kemampuan pengelola untuk memimpin mereka dalam melaksanakan
perubahan. Sebaliknya, manajemen bahkan mungkin meragukan kemampuan karyawan
dalam melakukan perubahan tersebut. .
Perspektif ini sesuai dengan penelitian McCall (1993), dan
Vollman (1996). Mereka menunjukkan pentingnya organisasi mengembangkan bakat
kepemimpinan yang diperlukan untuk memenuhi tantangan perubahan lingkungan.
McCall (1993) mengamati bahwa kegagalan memilih, melatih, dan mempromosikan
orang yang siap berubah untuk menghadapi perubahan lingkungan dapat menyebabkan
pengelola tidak siap mengakui perlunya perubahan, dan kemudian gagal membawa
organisasi melalui tahapan dalam proses perubahan. Akhirnya, Vollman (1996)
berpendapat bahwa tingkat-kegagalan yang tinggi pada inisiatif perubahan bisa
disebabkan oleh kegagalan pengelola memahami pengetahuan, keterampilan, dan
persyaratan kemampuan yang diperlukan bagi suatu organisasi untuk melaksanakan
inisiatif perubahan.
Komponen pesan terakhir adalah valensi pribadi. Ketika
dihadapkan pada situasi perubahan, karyawan sering bertanya, "Apa
untungnya perubahan itu bagi saya/kita?"
“Apa arti perubahan itu buat saya?" dan sebagainya. Dalam kaitan
ini, Cobb et al. (1995) mengingatkan bahwa selama perubahan berlangsung,
anggota dari target perubahan akan menilai distribusi hasil baik yang positif
maupun yang negatif, kewajaran perubahan, dan cara individu diperlakukan. Jadi,
jika kepentingan pribadi (self-interest) individu terancam oleh perubahan yang
diusulkan, kemungkinan mereka menolak (Clarke et al., 1996).
Pengamatan Armenakis et al. (1999) menunjukkan bahwa
individu menganggap perubahan tidak bermanfaat bagi dirinya bila dia melihat
adanya penyimpangan kebijakan dengan prosedur. Demikian pula jika merasa bahwa
perubahan membuat dia merasa sakit. Pada kondisi seperti itu, karyawan
cenderung menolak perubahan. Sebaliknya, jika organisasi dapat menunjukkan
bahwa anggota tersebut menjadi lebih baik setelah perubahan, setidaknya dalam
jangka panjang, anggota lebih mungkin menerima perubahan.
Penilaian evaluatif perubahan ini menjadi komponen kunci
dari valensi. Pernyataan tersebut mempertajam temuan Goodman et al. (1980)
tentang daya tarik hasil perubahan. Disini Goodman dan kawan-kawan menyatakan
bahwa yang penting bukan hanya apakah ada atau tidak ada manfaat untuk berubah,
tapi bagaimana menciptakan daya tarik manfaat buat anggota.
Bahkan sekalipun manajemen mampu menunjukkan adanya
kebutuhan untuk inisiatif perubahan tertentu dan organisasi menjadi lebih baik
-- bahkan jika karyawan mengakui manfaatnya -- dia masih fokus pada bagaimana
perubahan secara individual berdampak pada dirinya. Judson (1996) yang
melakukan penelitian dengan menerapkan kerangka relasional tentang bagaimana
anggota organisasi melihat perubahan, menyebutkan bahwa ketika dihadapkan pada
inisiatif perubahan, anggota organisasi berusaha memahami bagaimana inisiatif
memiliki dampak pada pekerjaan mereka, hubungan mereka dengan rekan kerja
mereka, untuk organisasi itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar