Pada tahun 2010, pemerintah Rumania dan Chevron --
perusahaan minyak AS -- menandatangani perjanjian yang menyatakan bahwa Chevron
memiliki hak pengelolaan lebih dari dua juta are tanah di Rumania. Pada 3
Oktober 2013, Chevron memperoleh semua izin yang diperlukan untuk memulai
eksplorasi shale gas di desa Pungesti, di Rumania Timur.
Namun, penduduk desa memprotes rencana fracking oleh Chevron itu dengan menduduki jalan menuju lokasi pembangunan. "Kami
tidak akan membiarkan mereka mengebor di sini sekalipun kami harus mati,” kata
Gheorghe Hrum, pensiunan sipir kehutanan Rumania. (AFP, 10 Oktober). Hrum salah satu dari ratusan demonstran Rumania
yang melakukan konvoi dan aksi di desa Pungesti di lapangan.
Para pengunjuk rasa datang dengan mobil, truk dan bahkan
gerobak yang ditarik kuda untuk menghadapi polisi dan preman perusahaan.
"Mereka [Chevron] datang dengan polisi dan pengawal untuk menakut-nakuti
kami. Tetapi, biarkan kami sendiri, bahkan kami miskin
sekalipun," kata Hrum.
Fracking merupakan teknik yang dikembangkan untuk mengambil
sumber-sumber energi yang masih tersisa dalam lubang bekas penggalian sumber energy
(minyak).
Ada yang menyebutnya mengorek lubang bekas penimbunan energi.
Minggu pertama Juli (7 Juli 2014), 25 orang aktivis
Greenpeace melakukan protes di Pungesti. Mereka datang dari Rumania, Austria,
Republik Ceko, Jerman, Polandia, Slovakia dan Hungaria merantai diri ke pagar
dan meminta Chevron untuk meninggalkan negara itu.
Chevron mengatakan -- dalam
sebuah rilis -- mereka menghormati hak orang untuk mengekspresikan pendapat
mereka, tetapi tetap harus berada dalam koridor hukum. Protes berlangsung
selama 15 jam, kemudian Polisi mengevakuasi semua aktivis, sementara media
dilarang mendatangi lokasi.
Masalah yang mungkin tampak local, secara bertahap masalah
itu berubah menjadi pembicaraan nasional dan isu internasional. Hal itu
disebabkan oleh salah satunya kegagalan manajemen dalam membingkai (memframe) pemasalahan
tetap dalam konteks local.
Akibatnya, isu tersebut menjadi bahan berita bukan
hanya oleh pers nasional melainkan juga media internasional. Karena persoalan
yang berlarut-larut, pada Februari 2015, Chevron mengumumkan menarik diri dari rencana
eksplorasi gas shale di Rumania.
Seperti diketahui, ketika krisis menerpa organisasi,
perusahaan atau organisasi harus memutuskan strategi komunikasi krisis yang
diterapkan. Bagian dari strategi ini adalah untuk memutuskan saat untuk
mengungkapkan krisis dan bagaimana menyajikan informasi krisis kepada
stakeholder.
Bagaimana public relations memberikan kontribusi dalam
menyelamatkan citra perusahaan saat berada dalam situasi krisis, Coombs (2007b)
menawarkan tiga strategi merespon krisis.
Pertama, mempengaruhi persepsi dari
penerimaan tanggung jawab atas terjadinya krisis. Kedua, menjelaskan kepada
pemangku kepentingan tentang perbuatan baik yang dilakukan sebelumnya, dan
ketiga, melakukan tindakan korektif. Disini perusahaan mengambil tanggung jawab
dan mengambil langkah-langkah pencegahan terjadinya krisis di masa depan.
Untuk menanggapi krisis, perusahaan atau organisasi atau
perorangan bisa mem-frame pesan-pesan yang disampaikan. Dalam komunikasi,
framing memiliki dampak terhadap perubahan sikap audience karena menyajikan dua
pesan berbeda dengan memframe konten pesan yang sama dalam satu pesan dalam hal
ini bersumber dari pikiran (rasional) atau perasaan (emosional) (Mayer &
Tormala 2010).
Para peneliti membagi framing dalam dua bentuk, framing rasional
dan framing emosional. Framing rasional
atau juga dirujuk sebagai daya tarik rasional atau iklan informasi
(McKay-Nesbitt et al, 2011;. Moon & Rhee, 2012; Yoo & MacInnis, 2005)
menggunakan informasi obyektif untuk menggambarkan sesuatu.
Di sisi lain, ada
framing emosional yang disebut juga daya tarik emosional atau iklan emosional
(McKay-Nesbitt et al, 2011;. Moon & Rhee, 2012; Yoo & MacInnis, 2005).
Disini emosi digunakan untuk membangkitkan perasaan penerima. Dalam beberapa
kasus framing emotional secara strategis dapat digunakan untuk meminimalisir
kerusakan reputasi.
Reaksi dingin dari Keluarga Kerajaan Inggris dalam kasus
kematian Putri Diana adalah contoh yang jelas tentang bagaimana pesan framing
emosional lebih efektif dari pada pesan framing rasional (Benoit & Brinson,
1999).
Dalam menanggapi kritik atas kurang simpati yang ditunjukkannya, dalam
satu pidatonya, Ratu Inggris menyatakan kepeduliannya dan perasaannya. Ini
mendapat tanggapan positif dari warga Inggris karena mereka merasa bahwa Ratu
benar-benar khawatir dan tulus.
Framing, menurut Coombs (2007), melibatkan penyajian
informasi, misalnya dalam kata-kata dan frase. Dengan menggunakan frame,
organisasi memilih faktor-faktor tertentu untuk ditonjolkan. Faktor-faktor ini
akan lebih mendapatkan perhatian dari orang-orang yang menerima pesan ketika
mengevaluasi organisasi (Druckman, 2001).
Entman (1993) mendefinisikan framing sebagai pememilihan
beberapa aspek realitas yang dirasakan dan dalam komunikasi faktor-faktor
tersebut ditonjolkan sedemikian rupa untuk mempromosikan suatu masalah,
menginterpretasi sebab akibat, evaluasi moral dan atau rekomendasi perbaikan
pada item yang ditonjolkan tadi
Dalam komunikasi krisis, framing memiliki implikasi yang
mendalam untuk mempersuasi orang lain (Mayer & Tormala, 2010). Jika
persuasi menghasilkan sikap positif terhadap organisasi ini merupakan
keuntungan bagi perusahaan saat berada dalam situasi krisis. Ini karena ketika
krisis terjadi, konsumen merasa bahwa informasi yang mereka terima bukanlah
fakta obyektif dari suatu krisis, tetapi fakta yang dirilis oleh baik
organisasi yang terlibat dalam krisis atau media (Cho & Gower, 2006).
Oleh karena itu, framing pesan menjadi sesuatu yang penting
karena bisa mempengaruhi evaluasi publik terhadap tanggung jawab organisasi
saat berada dalam situasi krisis (Cho & Gower, 2006). Selain itu,
presentasi atau framing pesan dalam situasi krisis dapat mempengaruhi kesediaan
konsumen untuk menilai isi pesan (McKay-Nesbitt, Manchanda, Smith &
Huhmann, 2011).
Framing juga berperan dalam menarik perhatian. Dalam bukunya
Captivology: The Science of Capturing People’s Attention (HarperOne, 2015), Ben
Parr, mantan editor Mashable, menyebut bahwa sebuah cerita bila dikemas
sedemikian bisa menjadi penarik perhatian orang. Ini berarti bahwa ketika Anda
menyajikan sesuatu dengan cara yang tak terduga atau tidak sesuai dengan pemahaman
masyarakat, Anda mendapatkan perhatian mereka. Karena itu, bingkailah suatu
masalah dengan cara yang tidak mereka duga sebelumnya.
Reaksi dingin dari Keluarga Kerajaan Inggris dalam kasus kematian
Putri Diana adalah contoh yang jelas tentang bagaimana pesan framing emosional
lebih efektif dari pada pesan framing rasional (Benoit & Brinson, 1999).
Dalam menanggapi kritik atas kurang simpati yang ditunjukkannya, dalam satu
pidatonya, Ratu Inggris menyatakan kepeduliannya dan perasaannya. Ini mendapat
tanggapan positif dari warga Inggris karena mereka merasa bahwa Ratu
benar-benar khawatir dan tulus.
Uskup Agung dari
Boston menawarkan respon krisis emosional terhadap kritik atas kurangnya
penanganan kasus pelecehan seksual yang dilakukan salah satu oleh imam di
Gereja Katolik Amerika (Kauffman, 2008) sehingga menghasilkan liputan media
yang positif. Dua ilustrasi diatas memberikan indikasi bahwa berkomunikasi dengan
mengemas pesan-pesan emosional selama krisis memebrikan banyak keuntungan dibandingkan
dengan berkomunikasi secara rasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar