Reputasi adalah hasil evaluasi yang dilakukan para stakeholder
(pemangku kepentingan) secara keselururan tentang seberapa baik suatu organisasi
memenuhi harapan stakeholder terhadap perilaku organisasi tersebut di masa lalu (Wartick, 1992). Perilaku disini adalah sesuatu yang relative bisa dikendalikan oleh organisasi atau perusahaan
sehingga menjadi identitas organisasi atau perusahaan tersebut dengan
segala harapan yang muncul di pikiran orang lain.
Ketika perusahaan menampilkan identitasnya, stakeholder
mengolahnya menjadi persepsi dan bila persepsi itu sesuai dengan yang
diharapkan oleh perusahaan maka itulah persepsi (Argenti, 2009). Karena itu konsekuensi bila organisasi atau perusahaan tidak bisa memenuhi harapan audiensenya, terjadi kesenjangan harapan, dan situasi ini bisa memunculkan masalah bagi organisasi (Reichart, 2003).
Reputasi dibangun berdasarkan informasi
yang diterima stakeholder tentang organisasi (Fombrun dan van Riel, 2004)
melalui interaksi langsung dengan organisasi itu sendiri, laporan organisasi
yang dimediasi oleh pihak lain (termasuk media dalam bentuk iklan misalnya) dan
informasi dari tangan kedua atau dari pihak atau orang lain (misalnya, dari
mulut ke mulut, blog dan media sosial).
Dalam realitas sehari-hari, sebagian besar stakeholder (pemangku
kepentingan) mengumpulkan informasi dari media berita. Itu sebabnya liputan
media menjadi fitur penting dalam manajemen reputasi (Carroll, 2004; Carroll
dan McCombs, 2003; Meijer, 2004). Dalam perkembangannya, dengan semakin
berkembangnya teknologi, informasi dari media sosial di internet, seperti twitter,
facebook, weblog atau blog, menjadi media informasi yang sangat penting. Stakeholder
membandingkan informasi yang mereka terima itu dengan pengetahuan tentang
organisasi yang mereka miliki sebelumnya sebagai standar untuk bersikap.
Itu sebabnya, mengelola media dalam krisis sangat penting.
Karena itu perusahaan harus memiliki rencana kontinjensi yang mampu
mengidentifikasi prosedur yang harus diikuti dan juru bicara untuk khalayak
eksternal dan internal bila krisis benar-benar terjadi.
Sejumlah penulis menunjukkan pentingnya komunikasi dan
pendistribusi informasi yang efektif selama krisis. Manoj dan Hubenko Baker
(2007) mengatakan bahwa ketika perusahaan, merek atau individu mengalami
krisis, tantangan secara teknis dan organisasi yang utama adalah membangun
situasi tanggap darurat. Dalam konteks ini, dibutuhkan sebuah infrastruktur
teknis yang fleksibel – organisasi dan alur komunikasi yang non-hirarkis,
terutama pada tahap awal krisis ketika informasi yang relevan langka dan
saluran komunikasi terganggu.
Berdasarkan analisis saat terjadi serangan terhadap Menara
Kembar WTC, Kapucu (2006) sepakat bahwa penyebaran informasi merupakan suatu
hal yang sangat penting, terutama pada tahap awal krisis. Dalam kondisi
jaringan alat komunikasi rusak atau mengalami gangguan, komunikasi melalui
jaringan informal memainkan peran yang relatif besar.
Rusaknya infrastruktur komunikasi mengukuhkan pendapat
pentingnya saluran komunikasi cadangan. Karena kurangnya informasi pada tingkat
pemerintah, maka fleksibelitas proses komunikasi dan koordinasi yang
non-hirarkis menjadi lebih efektif selama tahap awal.
Berdasarkan wawancara dengan pihak-pihak yang terkait dengan
peristiwa pada 9/11 itu, Dawes, Cresswell, dan Cahan (2004) menyimpulkan bahwa
pertama, teknologi komunikasi adalah penting. Kedua, penyebaran dan penyatuan
informasi menadi isu utama baik untuk respon awal dan pada tahap-tahap
selanjutnya. Satu masalah yang masih ada adalah kurangnya standarisasi antar
organisasi, dan kurangnya sumber informasi yang dapat diakses secara
elektronik.
Studi tentang manajemen bencana di Belanda, seperti
penelitian yang dilakukan oleh 'Adviescommissie Coordinatie ICT
Rampenbestrijding' (ACIR, 2006) menyimpulkan bahwa berbagi informasi dan
komunikasi dalam manajemen insiden bila berlangsung lebih buruk dari yang
diharapkan, cenderung menyebabkan kesalahan dan mitigasi krisis yang kurang
optimal. Secara khusus, distribusi informasi penting antara responden dari
berbagai disiplin ilmu sering diabaikan sehingga secara signifikan berdampak
pada efektivitas upaya untuk mengurangi situasi krisis atau bencana (Bonfire,
Helsloot, 2005; Capgemini, TNO, Berenschot, 2008).
Menyebarkan informasi tertentu kepada semua (yaitu,
broadcast) mungkin memperpanjang waktu yang dibutuhkan oleh penerima pesan di
satu sisi, di sisi lain penerima memiliki sedikit waktu. Penerima pesan seperti
petugas mitigasi mungkin hanya membutuhkan informasi yang berkaitan dengan
tugas-tugas mereka. Karena itu, penyebaran informasi dalam bentuk broadcast
menjadi kurang efektif dan menciptakan kebingungan dalam menyusun laporan,
melayani permintaan, dan pesan-pesan yang tidak relevan terutama di kalangan
personil strategis. Karena itu, membroadcast informasi bukan solusi optimal
untuk distribusi informasi.
Pertanyaannya adalah bagaimana penggunaan beragam media itu
bisa menghasilkan sesuatu seperti yang diharapkan secara optimal. Karena itu,
menggabungkan penggunaan beberapa saluran dengan landasan teoritis dari teori
kekayaan media bisa menghasilkan saran tentang bagaimana caranya perusahaan
bisa mempertahankan dan meningkatkan tingkat kepuasan stakeholder terhadap
komunikasi yang dilakukan perusahaan.
Teori Kekayaan Media muncul sebagai salah satu kerangka
kerja yang paling banyak dipelajari dan dikutip dalam penelitian tentang
komunikasi organisasi dan penggunaan media (D'Urso & Hujan, 2008). Premis
teori kekayaan media menyatakan bahwa agar komunikasi efektif, komunikasi harus
disesuaikan dengan kebutuhan pesan audiensenya (Lengel & Daft, 1988).
Daft et al. (1987) mengklasifikasikan media komunikasi yang
digunakan dalam kehidupan sehari-hari --berdasarkan peringkat yang menurun –
mulai dari yang paling tinggi, yakni tatap muka, telepon, dokumen pribadi
(misalnya, surat atau memo), dokumen impersonal yang belum terselesaikan
(misalnya, laporan, buletin, dan lain-lain), hingga laporan numerik (misalnya,
spreadsheet). Tatap muka dianggap media terkaya karena memberikan umpan balik
yang cepat. Face-to-face juga menyediakan beberapa isyarat melalui bahasa tubuh
dan nada suara, serta isi pesan yang dinyatakan dalam bahasa yang alami.
Peringkat kekayaan percakapan melalui telepon berada di
bawah tatap muka karena memungkinkan isyarat verbal seperti kata-kata,
intonasi, dan keheningan, tetapi tidak dapat menyampaikan gerakan dan isyarat
visual lainnya. Dokumen pribadi peringkatnya di atas dokumen belum
terselesaikan impersonal, sedangkan laporan numerik no-pernyataan peringkat
sebagai media paling ramping. Setelah Daft et al. (1987), beberapa peneliti
mengikuti pendekatan yang sama untuk mengklasifikasikan media yang lain seperti
video, suara, gambar, teks, email (Rice, 1992; Schmitz & Fulk, 1991;
Trevino et al, 1987;. Zmud, Lind, & Young, 1990).
Dengan memperhatikan karakteristik tugas komunikasi, teori
kekayaan media menyatakan bahwa tujuan komunikasi adalah untuk mengurangi
ketidakpastian dan ketidakjelasan untuk meningkatkan efisiensi komunikasi.
Ketidakpastian terkait dengan kurangnya informasi.
Organisasi menciptakan struktur seperti sistem informasi
formal, gugus tugas, dan peran penghubung yang memfasilitasi aliran informasi
guna mengurangi ketidakpastian. Peran media dalam pengurangan ketidakpastian
adalah dalam hal kemampuannya mengirimkan informasi yang benar dalam jumlah
yang cukup. Ketidakjelasan terkait dengan negosiasi makna terhadap situasi yang
ambigu. Untuk menghadapi ketidakjelasan, orang-orang dalam suatu organisasi
harus menemukan struktur yang memungkinkan siklus informasi yang cepat di
antara mereka sehingga makna yang dapat muncul sesegera mungkin (Daft &
Weick, 1984).
Berbagi informasi, tentu pada awal fase respon insiden,
untuk sebagian besar memang sebaiknya dilakukan tersentralissasi. Hanya
jurubicara yang ditunjuk perusahaanh yang berbicara. Karena itu perusahaan
harus memiliki rencana kontinjensi yang mampu mengidentifikasi prosedur yang
harus diikuti dan menunjuk juru bicara untuk khalayak eksternal dan internal
bila krisis benar-benar terjadi.
Ada enam jenis penyebab kemungkinan kesalahan yang dilakukan
perusahaan selama bencana (Abbink, van Dijk, Dobos, Hoogendoorn, Jonker, dan
Konur, 2004). Pertama, keputusan mungkin dibuat dengan mendasarkan pada
informasi yang tidak lengkap. Kondisi ini bisa disebabka oleh ketidakadaan waktu
yang cukup atau sumber daya yang memadai untuk mengumpulkan semua informasi
relevan untuk mendukung keputusan.
Kedua, informasi mungkin bertentangan. Ketiga, informasi
yang salah sering terjadi karena komunikasi yang buruk atau salah tafsir.
Keempat, penggunaan prosedur yang berbeda, yang mungkin terjadi ketika beberapa
organisasi yang terlibat sehingga aturan atau protokol yang diterapkan berbeda.
Kelima, penanganan pengecualian dapat menjadi penyebab banyak kesalahan karena
orang tidak cukup familiar dengan rencana skenario yang berbeda. Keenam,
kelebihan beban kerja juga bisa menjadi penyebab kesalahan. Hal itu misalnya bisa terjadi karena tugas tidak didelegasikan dengan baik, atau pihak yang diberi tidak menyadari
kemungkinan adanya pendelegasian itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar