Perubahan organisasi berhasil bila karyawan memiliki tujuan
untuk berubah, rencana untuk berubah, dan menjadi bagian dalam perubahan
(Bridges, 2009). Dengan demikian, langkah pertama dalam proses pelaksanaan
inisiatif perubahan adalah menciptakan kesiapan untuk perubahan (Self dan
Schraeder, 2008).
Menciptakan kesiapan untuk perubahan dianggap sebagai obat untuk mengurangi resistensi terhadap perubahan dan memperkecil tingkat kegagalan dalam program perubahan (Young Kwang dan Lee, 2008). Oleh karena itu, manajemen harus menciptakan kebutuhan di dalam organisasi untuk mengisi kesenjangan antara kondisi saat ini dan kondisi akhir yang diinginkan (Young Kwang dan Lee, 2008). Jika tidak, beberapa karyawan mungkin secara aktif maupun pasif menolak inisiatif perubahan (Neves dan Caetano, 2006; Diri dan Schraeder, 2009).
Menciptakan kesiapan untuk perubahan dianggap sebagai obat untuk mengurangi resistensi terhadap perubahan dan memperkecil tingkat kegagalan dalam program perubahan (Young Kwang dan Lee, 2008). Oleh karena itu, manajemen harus menciptakan kebutuhan di dalam organisasi untuk mengisi kesenjangan antara kondisi saat ini dan kondisi akhir yang diinginkan (Young Kwang dan Lee, 2008). Jika tidak, beberapa karyawan mungkin secara aktif maupun pasif menolak inisiatif perubahan (Neves dan Caetano, 2006; Diri dan Schraeder, 2009).
Kesiapan untuk berubah didefinisikan sebagai sikap
komprehensif yang secara stimultan dipengaruhi oleh isi, proses, konteks, dan
individu yang terlibat dalam suatu perubahan, merefleksikan sejauh mana
kecenderungan individu untuk menyetujui, menerima, dan mengadopsi rencana
spesifik yang bertujuan utuk mengubah keadaan saat ini (Holt, 2007). Dengan
demikian, kesiapan merupakan salah satu faktor terpenting yang perlu dibangun
dengan melibatkan karyawan untuk mendukung inisiatif perubahan.
Yang dimaksud dengan siap untuk berubah adalah ketika
orang-orang dan struktur organisasi sudah dipersiapkan dan mampu untuk berubah.
Kesiapan organisasi untuk berubah ini menurut (Lehman, Greener, dan Simpson,
2002) antara lain dapat dideteksi dari beberapa variabel seperti variabel
motivasional, ketersedian sumber daya, nilai-nilai dan sikap positif yang
dikembangkan para karyawan, serta iklim organisasi yang mendukung perubahan.
Dalam konteks organisasional, kesiapan individu untuk berubah diartikan sebagai
kesediaan individu untuk berpartisispasi dalam kegiatan yang dilaksanakan
organisasi setelah perubahan berlangsung dalam organisasi tersebut (Huy, 1999).
Menurut Desplaces (2005), kesiapan individu untuk menghadapi
perubahan akan menjadi daya pendorong yang membuat perubahan itu akan
memberikan hasil yang positif. beberapa kajian terbaru tentang konstruk
variabel kesiapan untuk berubah menjelaskan bahwa sesungguhnya kesiapan
individu untuk berubah dapat diidentifikasi dari sikap positif individu
terhadap perubahan, persepsi dari keseluruhan warga organisasi untuk menghadapi
perubahan, dan rasa percaya individu dalam menghadapi perubahan.
Setiap perubahan dihadapkan dengan kemungkinan adanya
perbedaan dan konflik antara pimpinan dan anggota organisasi. Untuk terjadinya
perubahan yang terarah seperti yang diinginkan, maka konflik harus diselesaikan
seperti kepercayaan anggota organisasi dan pengetahuan mengenai perubahan.
Pada dasarnya, keadaan untuk kesiapan harus harus dibuat.
Sebuah organisasi siap untuk berubah apabila ketiga kondisi ini ada. Pertama, mempunyai
pemimpin yang efektif dan dihormati. Dalam manajemen ditunjukan bahwa bahwa
pemimpin yang kurang baik – tidak dihormati maupun tidak efektif akan
mengalangi kinerja organisasi. Mereka tidak dapat mempertahankan karyawan yang
baik dan memotivasi mereka yang berada di perusahaan. Oleh karena itu
perusahaan harus mengganti mereka dengan individu-individu yang efektif dan
dihormati oleh orang-orang disekitarnya, hal tersebut akan medekatkan bahwa
organisasi telah siap untuk berubah.
Kedua, orang-orang dalam organisasi mempunyai motivasi untuk
berubah. Mereka merasa kurang puas dengan keadaan sekarang sehingga mereka
bersedia untuk ikut berpartisipasi dan menerima resiko dengan adanya perubahan.
Ketiga, organisasi mempunyai struktur non-hirarki. Dalam konteks perubahan di
perusahaan, hirarki dapat menjadi perintang bagi proses perubahan, oleh karena
itu manager harus bisa mengurangi pekerjaan yang berdasarkan hirarki dengan
memberikan pekerjaan yang bersifat kolaboratif (kerja sama).
Penilaian kesiapan sebelum terjadinya perubahan telah
memberikan dorongan yang kuat dan beberapa instrumen telah dikembangkan untuk
memenuhi tujuan tersebut. Instrumen yang sudah ada ini muncul untuk mengukur
kesiapan dari beberapa perspektif, yaitu, proses perubahan (change process),
isi perubahan (change content), konteks perubahan (change context), dan
individu atribut (Holt, et al., 2007).
Proses perubahan merujuk ke langkah-langkah yang dilakukan
selama implementasi. Perspektif kedua adalah konten perubahan organisasi, yang
merujuk kepada insiatif tertentu yang sedang diperkenalkan. Konten biasanya
diarahkan pada administratif, prosedural, teknologi, atau karakteristik
struktural dari organisasi. Perspektif yang ketiga adalah organisasi konteks.
Konteks terdiri dari kondisi dan lingkungan di mana karyawan
melakukan fungsinya. Lingkungan meliputi semua elemen di luar batas organisasi
dan mempunyai potensi untuk mempengaruhi semua atau sebagian dari organisasi.
Perspektif keempat dan terakhir adalah atribut-atribut
individu dari para karyawan. Dikarenakan perbedaan antara individu-individu,
memungkinkan beberapa karyawan lebih condong membantu perubahan organisasi
dibandingkan lainnya.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, kesiapan perubahan
dianggap sebagai pelopor kognitif untuk keberhasilan adopsi perubahan
(Armenakis et al, 1993). Kesiapan untuk perubahan awalnya dikonseptualisasikan
dalam konteks psikologi kesehatan dan penelitian medis (misalnya Block &
Keller, 1998; Prochaska, Redding, dan Evers, 1997). Penelitian ini mulai dilakukan
dengan objek perilaku sehat tertentu (misalnya merokok). Namun kemudian,
peneliti mengadopsi kesiapan ke dalam setting organisasi. Hasil-hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa banyak faktor yang secara efektif mempengaruhi
implementasi perubahan organisasi.
Armenakis et al (1993) menggambarkan dua program tindakan
diperlukan untuk menciptakan kesiapan perubahan dalam suatu organisasi. Yang
pertama adalah mengkomunikasikan sebuah pesan kesenjangan. Pesan ini ditujukan
untuk memberikan pemahaman kepada karyawan tentang kondisi saat ini, kondisi
yang diharapkan, dan perlunya perubahan. Yang kedua adalah untuk membangun
kepercayaan pada karyawan bahwa mereka memiliki pengetahuan, keterampilan dan
kemampuan yang diperlukan untuk menghadapi perbedaan (Armenakis et al., 1993).
Membangun kepercayaan perlu karena jika karyawan merasa tidak memiliki
self-efficacy kemampuan untuk berubah, maka hal ini dapat mengakibatkan reaksi
negatif seperti pembelaan diri dan penolakan (Nadler & Tushman, 1989).
Chreim (2006) menemukan bahwa karyawan menerima perubahan
jika mereka menganggap bahwa keterampilan dan kemampuan individu mereka sesuai
dengan yang dibutuhkan dalam peran mereka yang baru nanti. Dengan menjalankan
dua program ini, tindakan untuk menciptakan kesiapan sebuah organisasi
dipandang sebagai upaya mencairkan keyakinan dan sikap karyawan dalam
mempersiapkan mereka untuk perubahan (Armenakis et al, 1993).
Sebagai contoh, orang yang memiliki rasa percaya diri pada kemampuan mereka mengatasi perubahan pekerjaan -- atau mereka yang memiliki self-efficacy yang tinggi -- dilaporkan memiliki kesiapan tinggi untuk perubahan organisasi dan berpartisipasi lebih pada kegiatan merancang ulang rencana perubahan (Cunningham et al., 2002). Peneliti lain menekankan pentingnya membangun keyakinan seorang karyawan terhadap manfaat dari perubahan bagi organisasi dan proses kerja (Jones, Jimmieson, & Griffiths, 2005), dan keyakinan individu bahwa perubahan adalah "penting dan bisa berhasil" (Eby, Adams, Russell, & Gaby, 2000: 422).
Sebagai contoh, orang yang memiliki rasa percaya diri pada kemampuan mereka mengatasi perubahan pekerjaan -- atau mereka yang memiliki self-efficacy yang tinggi -- dilaporkan memiliki kesiapan tinggi untuk perubahan organisasi dan berpartisipasi lebih pada kegiatan merancang ulang rencana perubahan (Cunningham et al., 2002). Peneliti lain menekankan pentingnya membangun keyakinan seorang karyawan terhadap manfaat dari perubahan bagi organisasi dan proses kerja (Jones, Jimmieson, & Griffiths, 2005), dan keyakinan individu bahwa perubahan adalah "penting dan bisa berhasil" (Eby, Adams, Russell, & Gaby, 2000: 422).
Kesiapan untuk perubahan didefinisikan sebagai suatu sikap
yang secara kolektif dipengaruhi oleh isi perubahan, proses perubahan, konteks
perubahan dan individu karyawan (Holt, Armenakis, Feild, & Harris, 2007).
Kesiapan untuk perubahan tercermin pada sejauh mana karyawan secara emosional
dan kognitif cenderung menerima rencana perubahan (Holt et al, 2007). Holt et
al ( 2007) menggambarkan kesiapan untuk perubahan sebagai bangunan multidimensi
berdasarkan empat komponen, yakni apakah karyawan merasa bahwa perubahan itu
sesuai (kesesuaian), apakah mereka percaya bahwa manajemen mendukung perubahan
(dukungan manajemen), apakah mereka merasa mampu membuat perubahan tersebut
berhasil (self-efficacy ), dan apakah mereka percaya bahwa perubahan itu
menguntungkan mereka secara pribadi, yang dapat mengingatkan mereka untuk
membutuhkan perhatian tentang perubahan (valensi pribadi). Dengan mengukur
semua faktor ini secara kolektif, kombinasi itu menghasilkan alat ukur kesiapan
untuk perubahan yang lebih komprehensif.
Sebuah perspektif saat ini tentang kesiapan untuk perubahan
yang diperkenalkan sebagai konstruk multidimensi yang berakar pada empat
komponen: kesesuaian (karyawan merasa bahwa perubahan itu sesuai dengan
organisasi, karyawan merasa bahwa perubahan sebagai sesuatu yang perlu
dilakukan), dukungan manajerial (karyawan merasa bahwa manajer mendukung
perubahan), self efficacy (karyawan merasa bahwa mereka memiliki keterampilan
dan kompetensi untuk berhasil mengatasi perubahan), dan valensi pribadi
(karyawan percaya bahwa perubahan akan menguntungkan pribadi) (Holt et al.,
2007).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar