Dalam 20 tahun terakhir berlangsung
perubahan yang cepat dalam industri media dan berita. Sebagian besar perubahan
didorong oleh kemajuan teknologi. Di seluruh dunia, samai beberapa tahun lalu,
rumah tangga dapat mengakses lebih banyak saluran televisi, termasuk saluran
berita 24 jam. Sekarang mereka dapat melakukan itu melalui laptop, tablet dan
smartphone.
Di luar itu, perubahan yang paling penting
dalam media tradisional adalah berkaitan dengan waktu. Siklus lama tenggat
waktu dan edisi pertama telah secara bertahap dibongkar oleh munculnya berita
24 jam, edisi secara online dan media sosial. Memang ada berita yang melanggar
tradisi baru itu seperti berita yang muncul dalam edisi cetak surat kabar, tapi
itu sedikit demi sedikit tergerogoti.
Perubahan radikal ini mempengaruhi konsep
tenggat waktu. Wartawan sekarang harus mengubah cerita mereka lebih cepat dan
lebih banyak karena harus mengisi ruang 24 jam sehari, tujuh hari sepekan, dan
365 hari dalam setahun. Jadi pola berta yang bisa diprediksi kini tidak ada
lagi, sementara kalau dulu jumlah berita yang dibutuhkan untuk mengisi semua
ruang ini terbatas, kini berkembang pesat.
20 tahun yang lalu, wartawan menulis
tentang insiden perusahaan misalnya, selalu terkendala oleh batas waktu
(deadline), biasanya sore. Jika semula sebuah cerita cakupannya hanya terdiri
dari tiga atau empat menit per paket dalam malam buletin setengah jam pada
saluran terestrial. Kini semakin luas. Jika sebuah organisasi mengalami krisis,
tuntutan mereka pada perusahaan juga masih terbatas. Itu karena dahulu tidak
tidak ada blogger, tidak ada surat kabar online dan tidak ada Twitter.
Kebanyakan anggota masyarakat juga belum memiliki ponsel, dan mereka pasti
tidak memiliki smartphone yang bisa membuat rekaman video.
Kini situasinya berubah. Hari ini, sebuah
cerita bisa beredar dengan sangat cepat dan gambar-gambar fisik awal dari
sebuah insiden mungkin diambil dan disebarkan oleh anggota masyarakat. Dengan
kata lain, dengan smartphone, sekarang siapapun bisa menjadi 'wartawan warga'.
Kehidupan seorang jurnalis juga berubah.
Pemangkasan anggaran iklan atau karena media semakin beragam, sehingga
perusahaan terpaksa menyebarkan iklannya melalui banyak media, membuat media terkena imbasnya. Media
sekarang berusaha untuk memiliki wartawan yang jumlahnya lebih sedikit, tapi
memaksa wartawan untuk melakukan lebih banyak. Mereka tidak hanya harus
mengubah cara menangani media, juga diharapkan untuk meliput beragam tema
berita. Tak jarang dijumpai seorang wartawan politik juga meliput peristiwa
selebriti.
Bagi beberapa penerbit, ini berarti akhir
dari keberadaan koresponden spesialis dan ahli di ruang berita. Perubahan yang
paling luar biasa, tentu saja, adalah pertumbuhan media sosial. Media ini telah
mengubah secara dramatis pola pemberitaan dan konteks sosial di mana reputasi
dikelola. Saat ini terjadi pergeseran dari lingkungan manajemen reputasi yang
didasarkan pada komunuikasi dari 'satu – ke -banyak' yang terstruktur ke
'banyak-ke-banyak' atau percakapan non-hirarkis.
Media sosial telah memperkenalkan dimensi
baru dalam pengelolaan risiko reputasi. Bergerak dari hal-hal khusus ke umum,
pertumbuhan media sosial telah mengubah konteks pengelolaan risiko reputasi
dengan cara berikut: pertama, makin banyak orang berkontribusi secara langsung
ada pembentukan reputasi organisasi. Kedua, reputasi dapat berubah secara lebih
lebih cepat daripada sebelumnya. Ketiga, pendekatan komunikasi tradisional kini
sudah tidak memadai lagi.
Sosial media kini sudah merasuk dalam
kehiduan. Kini lebih dari 70 persen penduduk internet menggunakan berbagai
bentuk jaringan social. Pada tahun 2011, jejaring sosial menyumbang satu dari
setiap enam menit waktu yang dihabiskan melalui online. Sosial media kini juga
tidak lagi menjadi ranah remaja. Demografis terbesar Facebook kini berusia
antara 35 dan 54 tahun dan rata-rata usia profil di Twitter adalah 37 tahun 24,
sebuah struktur demografis yang bisa memberikan goyangan politik dan daya beli
yang lebih besar. Dunia online cepat menyerupai satu offline, dengan semua
variasi dan kompleksitas.
Seperti dijelaskan penulis buku ini, Andrew
Griffin di Bab 1, reputasi organisasi kini sangat bergantung ada apa saja yang
diinformasikan oleh individu, keluarga dan kelompok sebaya yang mempunyai
pengalaman berinterksi dengan suatu merek atau perusahaan. Itu jauh lebih
menarik dari apapun yang dikatakan oleh organisasi tentang dirinya melalui
pemasaran atau PR.
Salah satu kontribusi media sosial yang
paling penting adalah penciptaan ratusan ribu forum bagi pengguna untuk berbagi
pendapat tentang produk, layanan dan merek. Menurut polling terbaru, 43 persen
dari konsumen yang menggunakan media sosial memanfaatkannya untuk berkeluh
tentang produk; 43 persen menggunakannya untuk meminta rekomendasi rekan dan 47
persen menggunakannya untuk berbagi pengalaman mereka tentang suatu produk atau
jasa dengan yang lain. Semua yang dibagikan itu dapat berdampak reputasi
organisasi dan, yang lebih penting, situasi di akar rumput.
Dalam buku laris ini, Andrew Griffin
menawarkan pendekatan yang komprehensif dalam mengelola situasi yang penuh
dengan risiko dan yang dapat berubah menjadi krisis. Namun dia juga menekan
bahwa tidak semua krisis dapat diperkirakan dan tidak semua masalah dapat
dicegah untuk berubah menjadi krisis, sehingga pengelolaan krisis harus
mencakup rincian tentang bagaimana mengelola krisis ketika terjadi.
Proposisi dasarnya adalah bahwa reputasi
tidak dapat dikelola, tapi perilaku bisa. Menurut dia, reputasi yang baik
berasal dari 'nilai-nilai hidup Anda, memberikan bagi pelanggan, membuat
keputusan yang baik, memenuhi dan melampaui standar kinerja dan menunjukkan
perilaku yang baik ... di seluruh organisasi.
Hal ini menunjukkan bahwa reputasi adalah
hasil. Itu berarti reputasi adalah sebuah pandangan orang lain tentang Anda
berdasarkan pengalaman yang mereka dapatkan dari Anda dari waktu ke waktu. Jadi
sebenarnya, pertama, manajemen reputasi haruslah dimulai dari dalam, bukan dari
departemen komunikasi perusahaan.
Kedua, ketika terjadi krisis, tantangan
pertama adalah kecepatan respon. Sesuatu yang telah terjadi di internal
sangatlah mungkin diketahui dan dibicarakan di media tradisional atau di
jaringan sosial online. Dalam situasi tersebut dibutuhkan berkomunikasi
sesegera mungkin, meskipun fakta bahwa rincian dari apa yang telah terjadi -
apalagi mengapa hal tersebut terjadi - untuk beberapa waktu ke depan cenderung
masih belum diketahui.
Sebuah respon perusahaan besar untuk
insiden besar kemungkinan melibatkan ratusan karyawan di bisnis, fungsi dan
geografi yang berbeda. Ini semua membutuhkan koordinasi sehingga perusahaan
bertindak bersama-sama dan berbicara dengan satu suara. Disini termasuk
menjangkau stakeholder. Sebab dalam krisis apapun, Anda perlu teman. Dalam
kebanyakan situasi, para pemangku kepentingan tertarik untuk membantu dan
memberikan dukungan.
Tapi teman-teman dapat sulit didapat jika
tahap awal respon tidak berjalan dengan baik. Organisasi mengelola insiden
besar harus memastikan bahwa para pemangku kepentingan diinformasikan, mengerti
kebutuhan mereka dan menawarkan serta mendengarkan suara mereka. Daftar
pemangku kepentingan mulai panjang dan tumbuh lagi, dan mengabaikan mereka
berarti mengundang bahaya yang lebih besar bagi organisasi.
Banyak organisasi yang belum berubah.
Mereka masih melihat reputasi sebagai sesuatu yang negatif. Pandangan ini
sering muncul pada pengelola perusahaan karena mereka pernah merasakan rusaknya
reputasi karena krisis, atau setelah melihat pesaing atau koleganya
perusahaannya yang berjuang mempertahankan reputasi saat ditimpa krisis. Itu
sebabnya reputasi sering dilihat, pertama dan terutama, sebagai sesuatu yang
harus dilindungi. Padahal, reputasi juga harus dilihat secara positif karena
reutasi merupakan aset jangka panjang, yang secara strategis berharga dan karenanya
perusahaan atau oganisasi harus memikirkan langkah-langkah proaktif.
Itulah sebabnya, peran departemen
komunikasi perusuhaan juga penting. Departemen ini bertanggung jawab membangun
hubungan dengan para pemangku kepentingan dan secara regular berdialog dengan
mereka. Mereka adalah pembawa narasi perusahaan, tetapi yang lebih penting
adalah deartemen komunikasi perusahaan merupakan antena organisasi, ada dan
terlibat dalam dialog, mendengarkan dan peka terhadap tanda-tanda bahaya.
Departemen komunikasi perusahaan juga bereran dalam membangun kepercayaan,
level perlindungan ketika perusahaan menghadapi masalah. Bila dipercaya,
perusahaan memiliki elemen pihak ketiga yang berbicara membela atau
mempertahankan perusahaan.
Itu sebabnya departemen komunikasi
perusahaan harus siap dan siap. Jadi kapan suatu masalah berkembang menjadi
krisis? Apa siklus hidupnya? Siapa yang harus bertanggung jawab untuk manajemen
isu? Semua pertanyaan ini dijawab dalam buku ini. Bagaimana krisis? Itu juga
tergantung pada krisis sendiri dan jenisnya. Semua dijelaskan Griffin dalam
buku ini lengkap dengan implikasinya dengan secara hati-hati dieksplorasi dalam
berbagai contoh.
Griffin hati-hati menjelaskan hal-hal yang
perlu dan yang harus dilakukan dalam persiapan perencanaan menghadapi krisis
dan bagaimana menjalankannya secara rinci praktis, termasuk implikasi hukum,
berurusan dengan kerabat dan layanan darurat dan tentu saja 24/7 on-dan
off-line media. Sayangnya, krisis tidak selalu terselesaikan bahkan ketika pers
pulang sekalipun. Jadi bagaimana menangani akibat krisis dan bagaimana Anda
membangun kembali bahwa aset yang paling berharga, reputasi, jika yang rusak?
Bagian pertama buku ini membahas reputasi
sebagai aset strategis yang membutuhkan perawatan dan perhatian yang aktif (Bab
1). Buku ini juga melihat lingkungan eksternal yang semakin menantang di mana
reputasi perusahaan dikelola (Bab 2). Dari lingkungan eksternal tersebut data
dilihat kemungkinan sumber risiko, dan menawarkan sistem kategorisasi baru
untuk membantu organisasi memahami berbagai risiko yang bakal dihadapi (Bab 3).
Ada empat kategori risiko reputasi kemudian dibahas secara rinci dalam Bab 4-7,
dan cara untuk meminimalkan masalah yang mungin muncul dibahas di Bab 8.
Pada bagian kedua buku ini ditunjukkan enam
fase dari siklus hidup risiko reputasi yang diperkenalkan pada Bab 9. Bab 10
dan 11 melihat bagaimana organisasi dapat memprediksi dan mencegah risiko
jatuhnya reputasi, serta memeriksa bagaimana mempersiapkan risiko reputasi yang
akut (kesiapan krisis) pada Bab 12. Sementara itu, bab 13 membahas tentang
manajemen isu, yang berfokus pada bagaimana organisasi dapat mengatasi risiko
yang teridentifikasi (masalah) sebelum mereka berkembang menjadi krisis.
Buku ini juga menjelaskan bahwa meskipun
semua strategi pencegahan dan resolusi organisasi dirancang dan dilaksanakan,
krisis bisa saja terjadi. Dalam situasi seperti, organisasi perlu meresponnya.
Bab 14 menjelaskan tentang manajemen krisis secara luas, dan buku ini diakhiri
dengan bab tentang pemulihan (Bab 15), yang melihat bagaimana organisasi dapat
belajar dan meningkatkan, membangun kembali reputasi dan membuat perubahan
mendasar setelah dilanda krisis.
Buku ini enak dibaca, menjabarkan
bebeberapa pendekatan krisis yang cuku kompleks namun disampaikan dengan cara
yang sederhana. Karena itu buku ini layak dibaca praktisi public relations dan
pemasaran, terutama terkait dengan reputasi perusahaan atau merek.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar