Awal April lalu, Sebuah petisi online tiba-tiba muncul di Italia.
Dalam hitungan hari, petisi itu telah ditandatangani lebih dari 20.000 orang yang
menginginkan agar Fujifilm membuat kembali film instan terpisah setelah Fujifilm
memutuskan menghentikan produk tersebut.
FP-100C Film merupakan produk yang kompatibel dengan kamera
instan yang menghasilkan foto berukuran 3,25 inci x 4,25 inci. Fujifilm menjelaskan
bahwa film itu sebagai ideal untuk, "foto paspor, tes gambar komersial,
presentasi, foto ID dan pencetakan langsung."
"Untuk penggemar film seperti saya, kita seakan bisa melihat
ke masa depan, bahwa kita menuju ke kematian era fotografi film," kata
Chris Hughes, pendiri A Nerd’s World yang bermarkas di Toronto, agen butik yang
mengkhususkan diri dalam pemasaran digital dan fotografi headshot.
Fujifilm berencana menghentikan film instan terpisah yang
kompatibel dengan kebanyakan kamera vintage instan. Pengehntian itu sekaligus
akan menghapus gantungan para fotografer yang selama ini memanfaatkan film
instan untuk tes gambar dan sebagainya. Setelah Polaroid, pembuat kamera vintage
instan yang ada saat ini, menghentikan produksi film pada tahun 2008, FujiFilm
film instan menjadi salah satu film terakhir kompatibel dengan kebanyakan
kamera instan. Sejak itu, fotografer film telah mengandalkannya untuk digunakan
dalam kamera instan mereka.
Keputusan untuk menghentikan film instan, menurut para
fotografer, begitu mendadak tanpa peringatan. Menurut Hughes, the Impossible
Project, yang membuat film instan untuk beberapa jenis kamera instan, telah
bertemu dan berbicara dengan Fujifilm tentang penghentian itu. Akan tetapi tidak
ada rincian hasil pertemuan. Kabarnya, Fujifilm akan terus membuat film instan
untuk kamera Instax, yang masuk dalam daftar best seller Amazon selama liburan
lalu.
Sampai tahun 2000, fotosensitif seperti film warna untuk fotografi
menyumbang enam puluh persen dari penjualan dan dua-pertiga dari keuntungan
Fujifilm. Namun, seakan mimpi di siang bolong, mulai saat itu pula pasar seakan
hilang dalam sekejap mata menyusul makin dominannya fotografi digital. Itulah
tanda-tanda awal hancurnya bisnis fotosensitif sehingga lima tahun kemudian, rapor
Fujifilm berubah dari perusahaan biru ke merah.
Fujifilm Corporation, yang berkantor pusat di Tokyo, Jepang,
adalah anak perusahaan yang sepenuhnya dimiliki oleh Fujifilm Holdings
Corporation. Perusahaan ini didirikan pada tahun 1934 sebagai sebuah produsen
film fotografi di bawah nama Fuji Photo Film Co., Ltd. Pada 2012, Kodak – rival
abadi Fujifilm mengajukan permohonan untuk bangkrut. Namun Fujifilm, berhasil lolos
dari gilasan transformasi zaman dan terus berkembang bahkan sampai hari ini.
Analisis tim dari Schumpeter
Business and management seperti yang dimuat dalam the Economist tahun itu
melihat ada sesuatu yang membuat menarik dari fenomena tersebut. "Kodak
bertindak sebagaimana stereotipe perusahaan Jepang yang lama beradaptasi dengan
perubahan, di sisi lain Fujifilm melakukan bertindak seperti sebuah perusahaan Amerika
yang fleksibel."
Bagaimana Fujifilm bisa
keluar dari gilasan perubahan itu? Shigetaka Komori, bos Fujifilm,
mengungkapkan bahwa dia sempat mengagumi Kodak dengan menyebutnya sebagai "perusahaan
terkuat yang pernah saya lihat." Komori bergabung dengan Fujifilm pada 1963,
ketika perusahaan Amerika itu berada di puncak kejayaan yang dalam segala hal melebihi
Fujifilm.
Sejatinya, seperti juga
Kodak, pada 1980an, Fujifilm menyadari bahwa bisnis film akan masuk ke era digital.
Seperti Kodak, Fujifilm terus menginvestasikan keuntungan dari penjualan film ke
dalam teknologi digital, dan mencoba melakukan diversifikasi ke wilayah baru.
Seperti Kodak, orang-orang di divisi film yang selama itu banyak menghasilkan
keuntungan sekaliggus akan menjadi divisi pertama yang hilang karena suramnya
bisnis film. Akhir tahun 2000, bisnis Fujifilm yang semula diperkirakan turun dan
habis dalam waktu 15 atau 20 tahun, terjun bebas. Dalam satu dekade, kontribusi
film yang semula mencapai 60% dari keuntungan Fujifilm, tiba-tiba lenyap.
Disinilah perbedaan
Fujifilm dan Kodak. Menyadari musibah itu, Fujifilm memgambil keputusan cepat
untuk mengembangkan dengan masuk ke bisnis baru. Namun sebelumnya mereka hatus
mengembangkan dulu keahlian dan ketrampilannya di bidang industry baru itu. Ini
bertentangan dengan yang dilakukan Kodak yang tampaknya percaya bahwa kekuatan
inti mereka terletak pada merek dan pemasaran, dan bahwa hal itu hanya bisa dilakukan
dengan kemitraan atau masuk industri-industri baru, seperti obat atau bahan
kimia.
Persoalannya, Kodak tidak memiliki beberapa keterampilan kunci: seperti untuk mengintegrasikan perusahaan itu yang telah mereka beli dan dan bernegosiasi kemitraan yang menguntungkan. "Kodak begitu yakin tentang kemampuan pemasaran mereka dan merek mereka, karena itu mereka mencoba dengan mengambil jalan keluar yang mudah," kata Mr Komori.
Persoalannya, Kodak tidak memiliki beberapa keterampilan kunci: seperti untuk mengintegrasikan perusahaan itu yang telah mereka beli dan dan bernegosiasi kemitraan yang menguntungkan. "Kodak begitu yakin tentang kemampuan pemasaran mereka dan merek mereka, karena itu mereka mencoba dengan mengambil jalan keluar yang mudah," kata Mr Komori.
Ketika penjualan dari
pengembangan film dan pencetakan berkurang, misalnya, beberapa pendapatan masih
bisa diperoleh dengan membangun kios-kios pencetakan foto digital. Namun bila Fujifilm
memiliki sistem sendiri, Kodak bermitra dengan perusahaan lain sehingga Kodak
harus berbagi pendapatan. Selain itu, sementara Fujifilm bisa menerapkan
teknologi kios ke bisnis lain yakni digital-imaging, Kodak tidak bisa karena
tidak memiliki teknologinya. Perusahaan Jepang itu juga bisa mengadakan kesepakatan untuk menempatkan kios-kios mereka
di Walmart. Sampai 2012, Fujifilm menguasai hampir 40% dari pasar
photofinishing di Amerika, sedangkan Kodak hanya 15% (IBISWorld, sebuah
perusahaan riset).
Keberhasilan Fujifilm bertahan
dari gilasan perusahaan adalah kemampuan mereka dalam mengantisipasi serta
mengekskusi rencananya pada tahun 2000 saat menghabiskan sekitar $ 1,6 miliar untuk
tambahan 25% saham di FujiXerox, sebuah perusahaan patungan Fujifilm dengan
Xerox, ketika perusahaan Amerika itu membutuhkan uang tunai. Hal ini
memungkinkan Fujifilm untuk mengontrol strategi perusahaan patungan itu dan
mengkonsolidasikan pendapatannya yang besar dan kuat. Ketika film mulai
penurunan cepat, perusahaan itu menjadi bantalan penyelamat pendapatan Fujifilm.
Fujifilm juga berfokus
pada penerapan teknologi di daerah baru. Keahlian Fujifilm di teknologi nano
membuatnya mereka mampu memasukkan bahan kimia ke film, misalnya, sehingga
mereka mampu menciptakan aplikasi film untuk untuk kosmetik kulit wajah. Pengalamannya
di bahan fotosensitif membantu mereka menggabungkan bahan kimia dan bahan
industri. Saat ini, bisnis peralatan medis-pencitraan Fujifilm tumbuh cepat,
dan malah telah mengakuisisi banyak perusahaan di sektor ini, termasuk mengeluarkan
dana $ 1 miliar pada Desember 2012 lalu untuk membeli SonoSite, sebuah
perusahaan pembuat peralatan USG Amerika.
Fujifilm menjadi
perusahaan yang jauh lebih beragam daripada Kodak. Visi jangka panjang membuat
Fujifilm menginvestasikan dananya ke banyak industri. Konsekuensinya, dalam
jangka pendek merusak keuntungan perusahaan. "Tapi dengan melakukan itu, kami
memiliki lebih 'kantong' dan 'laci' di perusahaan kami," kata Komori.
Fujifilm melakukan
banyak hal yang benar, kinerjanya pun belum bercacat. Setelah resesi melanda
2008 silam, perusahaan melakukan merestrukturisasi. Penjualan dan keuntungan
keduanya jatuh pada paruh pertama tahun fiskal saat itu, dan sahamnya melorot sepertiga
dari nilai mereka pada tahun 2011. Namun, perusahaan berada dalam posisi yang
kuat untuk melakukannya dengan baik di sebagian besar bisnisnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar