Dalam buku Asian Megatrends (Rajiv Biswas, 2016) menulis bahwa peluang negara-negara Asia, termasuk Indonesia untuk menjadi
negara besar terbuka lebar. Ekonomi Indonesia diramal mencapai pertumbuhan yang
tinggi hingga 2030. Negara-negara ASEAN lainnya juga demikian. Karenanya,
negara-negara Asean akan bersaing dan berjuang keras merebut peluang itu. Indonesia harus ikut
bersaing dan itu membutuhkan kerja keras. Bila tidak, Indonesia akan menjadi
penonton dan pasar bagi negara-negara lainnya.
Tahun 1996, John Naisbitt meluncurkan buku Megatrends Asia. Dalam bukunya itu,
Naisbitt memprediksi bahwa Barat dan
bahkan Jepang akan menjadi negara yang tertinggal dibandingkan dengan
negara-negara di kawasan Asia Tenggara, terutama China dan jaringan pengusaha
luar negeri Cina seperti di Indonesia, Filipina, Malaysia, Thailand, Hong Kong,
Taiwan dan Singapura yang ekonominya semakin kuat. Dalam Megatrends Asia,
Naisbitt menyebutkan Acer Group sebagai kelompok bisnis yang makin kuat.
Sumbu kekuatan dan pengaruh global bergeser dari Barat ke
Timur. Tren utama yang mendasari modernisasi cepat di Asia dinataranya adalah
pergeseran dari kontrol pemerintah pusat ke ekonomi pasar bebas, munculnya
pengusaha perempuan, migrasi massal ke kota dan bangkitnya semangat
individualistik yang menolak welfarisme.
Pada Perang Dunia II, Kobe dan kota-kota besar lainnya di
Jepang nyaris diratakan oleh bom Angkatan Udara AS. Sebagian besar kota-kota
besar industri dan pelabuhan di Jepang juga hancur oleh bom Angkatan Udara AS,
dengan kehancuran yang paling ekstrim di Hiroshima dan Nagasaki setelah bom
nuklir.
Ketika diserang mendadak oleh Korea Utara, pada Juni 1950, dan
direbut kembali pada Maret 1951 oleh pasukan AS dan Korea Selatan hingga
tercapai gencatan senjata pada 1953, Korea Selatan adalah salah satu negara
termiskin di dunia. Korea Selatan hancur dan perang mengakibatkan lebih dari
satu juta warga sipil terbunuh. Seoul menjadi puing dengan sebagian besar
penduduknya melarikan diri.
Ekonomi Korea Selatan tampak begitu tiada harapan sampai Jenderal
MacArthur yang memimpin perebutan kembali Korea Selatan mengatakan bahwa kecuali
ada keajaiban, untuk memulihkan kembali ekonominya, Korea Selatan butuh 100
tahun. Namun dalam dua dekade, Jepang dan Korea Selatan menjelma menjad negara
industri yang berkembang pesat. Pada tahun 1964, Jepang secara resmi bergabung
dengan jajaran ekonomi industri maju ketika menjadi anggota OECD. Korea Selatan
menjadi anggota OECD pada tahun 1996.
Namun, memasuki 1997 ekonomi Korea Selatan runtuh sementara
Jepang masih bertahan. Selama 1998 akibat runtuhnya keuangan, Korea Selatan
merupakan salah satu negara yang menghadapi krisis yang mengerikan. Korea
Selatan berhasil mengubah krisis menjadi kesempatan melalui kampanye
"Hallyu” yang artinya Gelombang Budaya Korea (Kim, 2008). Hallyu sebagai alat
soft power berhasil mengantar Korea Selatan melewati krisis dan bahkan
meningkatkan status ekonomi mereka (The Economist, 2010).
Judul Buku: Asian Megatrends
Penulis: Rajiv Biswas
Penerbit: Palgrave
Macmillan, 2016
Tebal Buku: 256
termasuk cover
Dalam buku Asian
Megatrends ini, Rajiv Biswas menyatakan bahwa lansekap persaingan di Asia kini
berubah. Bisnis seakan tak dibatasi secara geografis. Meskipun ukuran pasar
konsumen di negara berkembang di Asia berkembang pesat, perusahaan
multinasional Barat menghadapi persaingan yang berubah dengan begitu cepat
begitu perusahaan multinasional Asia tumbuh menjejakkan dominasi regional
mereka dan saling bersaing untuk merebut pangsa pasar. Meski harus diakui bahwa
ada negara-negara yang dianggap Biswas sebagai pasar ketimbang pemain.
Selama beberapa lama, perusahaan multinasional Jepang
merupakan pesaing global di banyak sektor manufaktur dan jasa. Namun kini makin
banyak perusahaan multinasional dari negara-negara emerging market Asia yang
juga menjadi pesaing penting di berbagai sector bisnis.
Di bisnis elektronik untuk konsumen dan peralatan komunikasi
misalnya, raksasa Korea Samsung dan LG telah menanamkan modalnya untuk
membangun pabrik di kawasan Asia, terutama di negara-negara seperti India dan
Vietnam. Perusahaan multinasional Cina juga bersaing untuk merebut pangsa pasar
di segmen ini. Huawei misalnya, kini menjadi pemain pasar global smartphone
terkemuka. Penjualan Huawei di pasar Asia di luar China mencapai 14,7 persen
dari pendapatan kelompok pada tahun 2014, dan naik 9,6 persen pada tahun 2015.
Huawei telah menjadi perusahaan pemimpin teknologi global
untuk peralatan komunikasi, dengan pendapatan global mencapai USD 46,500 miliar
pada 2014 atau naik 20,6 persen dari tahun sebelumnya. Perkembangan pesat
terutama terjadi di kelompok usaha konsumen Huawei yang menunjukkan peningkatan
persen 32,6 per pendapatan pada 2014, atau tumbuh menjadi USD 12 miliar. Ini
menunjukkan bahwa Made in China 2025, strategi baru pemerintah China untuk
membangunan masa depan sektor manufaktur China berhasil mengembangkan merek
Cina di pasar global.
Mobil Asia juga memperluas jejak regional mereka. Hyundai
menjadi salah satu merek mobil terkemuka di pasar otomotif domestik India dan
ini membuat India sebagai sebuah hub penting untuk produksi mobil Hyundai untuk
pasar ekspor. Sebaliknya Tata Group India berhasil memasuki pasar mobil China
dengan mendirikan pabrik baru di Provinsi Jiangsu untuk produksi Land Rover
Evoque serta model Jaguar.
Di sektor perbankan, bank-bank besar Asia semakin memperluas
jejak regional mereka. Bank Jepang yang memiliki sejarah panjang dalam pembiayaan
perdagangan dan perbankan korporasi di Asia kini digerogoti pasarnya oleh
bank-bank asal China, termasuk ICBC dan Bank of China. Mereka telah memperluas
jaringan cabang mereka di Asia sebagai bagian dari dorongan global yang lebih
luas. Sementara Singapura OCBC, DBS dan UOB kini membangun kehadiran mereka di
negara-negara ASEAN lainnya.
UOB memiliki operasi ritel di Thailand, Malaysia dan
Indonesia. DBS juga memiliki jejak regional yang besar, termasuk operasi di
daratan China, Hong Kong dan Taiwan. OCBC mengakuisisi Wing Hang Bank di Hong
Kong pada 2014, dan merupakan salah satu bank Singapura yang telah mendapatkan
lisensi untuk membuka cabang bank di Myanmar, dengan cabang baru di operasi
dimulai Yangon pada bulan April 2015. OCBC juga berkembang pesat di Malaysia
dan Indonesia.
Di sisi lain, raksasa perbankan Malaysia -- Maybank dan CIMB
-- juga telah membangun kehadiran regional mereka dengan operasi di seluruh
Asia Tenggara, termasuk perbankan ritel serta operasi perbankan syariah di
Indonesia. Maybank memiliki persen saham 80 per di PT Bank Internasional
Indonesia, bank komersial terbesar ke sembilan di Indonesia.
Perusahaan Thailand juga memperluas strategi mereka dengan
membangun kehadiran mereka di pasar Asia Tenggara lainnya. Siam City Cement dan
Siam Cement memiliki operasi di negara-negara Asia Tenggara lainnya. Thai
Beverage PLC, produsen minuman terbesar di Thailand telah memperluas
kehadirannya di pasar ASEAN lainnya melalui saham mayoritas di Fraser and Neave
Limited, yang memperluas pasarnya ke negara Asia Tenggara lainnya.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Saya membaca buku ini
sedikit terhibur ketika Biswas menyoroti Indonesia dengan judul Indonesia: Southeast Asia’s Emerging
Regional Power mulai halaman 138. Meski dua negara BRICS ekonomi Asia -- China
dan India -- menjadi driver terbesar pertumbuhan belanja konsumen Asia, sampai
30 tahun ke depan kawasan ASEAN merupakan sumber dari permintaan konsumen baru.
Populasi ASEAN yang mencapai sekitar 600 juta orang
dikombinasikan dengan pertumbuhan PDB yang cepat dan berkelanjutan membuat kawasan
ini menjadi salah satu pusat pertumbuhan yang paling signifikan bagi ekonomi
global. Apalagi momentum pembangunan industri di beberapa negara ASEAN itu didorong
oleh arus masuk investasi asing baru yang besar. Mereka seakan berlomba mendirikan
fasilitas manufaktur murah di wilayah itu karena meningkatnya biaya tenaga
kerja di China pesisir.
Yang paling penting adalah terbentuknya pasar konsumen
tunggal di ASEAN. Disini, menurut Biswas,
peran Indonesia sangat penting karena PDB Indonesia merupakan 40 persen dari total PDB ASEAN. Penduduk
Indonesia 250 juta dikombinasikan dengan pendapatan rumah tangga yang
berkembang pesat di kota-kota besar membuat pertumbuhan yang cepat dalam
pengeluaran konsumen di Indonesia.
Selama decade terakhir, pasar konsumen Indonesia naik dua
kali lipat sejak tahun 2004, ketika SBY menjabat Presiden. Kerena ituah momentum
masa depan ekonomi Indonesia dalam jangka menengah akan tergantung pada apakah
pemerintahan Presiden Jokowi dapat terus melaksanakan reformasi ekonomi secara signifikan.
Bila itu terjadi, perekonomian Indonesia memiliki potensi untuk tumbuh pada level
5 sampai 6 persen per tahun dan akan mendukung kecepatan ekspansi perusahaan dalam
memenuhi permintaan konsumen.
Pasar konsumen Indonesia merupakan salah satu peluang
pertumbuhan jangka panjang yang paling menarik di dunia setelah China dan India.
Mobil-mobil Jepang telah memiliki posisi dominan di pasar otomotif domestik
Indonesia. Pertumbuhan yang kuat dalam permintaan konsumen Indonesia untuk
mobil mengakibatkan ekspansi yang signifikan dari fasilitas produksi mobil di
Indonesia, dengan total produksi mobil mencapai 1,3 juta unit pada tahun 2014,
sedangkan penjualan sepeda motor mencapai 7,9 juta unit.
Salah satu daya tarik pasar konsumen Indonesia adalah PDB per
kapita tingkat yang berada di ambang kepindahan ke kategori berpenghasilan
menengah atas. Ini akan mendukung pertumbuhan permintaan barang konsumen tahan
lama dan secara bertahap meningkatkan permintaan Indonesia untuk jasa, termasuk
perbankan, asuransi, kesehatan dan pariwisata.
Persoalannya adalah, dari paparan Biswas tadi apakah
Indoenesia masih dianggap sebagai pasar dan bukan pemain atau produsen? ASEAN memang
memiliki pasar lain yang menawarkan potensi jangka panjang yang sangat
menjanjikan. Vietnam misalnya, yang memiliki tingkat potensi pertumbuhan
sekitar 6 sampai 7 persen per tahun dengan jumlah penduduk sekitar 90 juta, dan
Filipina, yang telah tubuh pada level 6-7 persen per tahun sejak 2011 dan
memiliki populasi sekitar 100 juta.
Di buku ini Biswas masih melihat Indonesia sebagai pasar,
termasuk bagi perusahaan-perusahaan ASEAN. Ukuran gabungan dari pasar konsumen
ASEAN sudah mencapai USD 1 triliun, dibandingkan dengan ukuran pasar konsumen
India. Akibatnya pasar konsumen Asia Tenggara akan tetap menjadi salah satu
peluang pasar konsumen yang paling menarik di dunia selama dekade berikutnya
dan seterusnya. Perusahaan multinasional semakin memperkuat strategi bisnis
global mereka untuk fokus pada pasar Asia Pasifik yang berkembang pesat. Baik
Boeing maupun Airbus bersaing berebut pasar Aspac. Di industri otomotif,
pentingnya pasar Asia juga diseriusi BMW Group. Pemain nndustri produk lifestyle kelas atas
juga melihat pentingnya kawasan Asia-Pasifik. Kawasan Asia-Pasifik menyumbang
36 persen dari pendapatan LVMH Group pada 2014. Jepang tetap menjadi pasar
utama, dengan 7 persen dari pendapatan LVMH Group pada 2014.
Sementara prospek keseluruhan untuk pertumbuhan belanja
konsumen di kawasan Asia masih sangat positif, ada pergeseran penting lainnya. Salah
satu faktor penting yang akan semakin menciptakan diferensiasi dalam laju
pertumbuhan belanja konsumen adalah dampak dari demografi penuaan. Pentingnya
faktor ini ditunjukkan oleh menurunnya populasi Jepang, yang dalam jangka
panjang menghambat pertumbuhan pengeluaran rumah tangga. Fenomena itu juga akan
diikuti oleh negara-negara lainnya. Selama dua dekade berikutnya, penuaan
demografi akan menjadi faktor yang semakin penting dalam ekonomi China, Korea
Selatan dan Thailand. Hal ini akan berdampak tidak hanya pada tingkat
pertumbuhan keseluruhan belanja konsumen, tetapi juga distribusi pengeluaran,
seperti perawatan kesehatan dan pelayanan sosial yang akan menjadi lebih
penting karena naiknya pangsa orang tua
dalam keseluruhan populasi.
Di sisi lain, demografi yang relatif muda dari sebagian
besar Asia Tenggara dan Asia Selatan menciptakan pertumbuhan konsumen yang
berbeda dan dinamis. Begitu pekerja muda memasuki dunia kerja selama dua dekade
berikutnya, pasar barang-barang konsumsi dan sektor seperti pariwisata dan
komunikasi diperkirakan naik pesat. Naiknya pendapatan rumah tangga di seluruh
Asia juga akan mendukung pertumbuhan permintaan untuk jasa keuangan, termasuk
perbankan, asuransi dan manajemen aset, karena meningkatnya pendapatan per
kapita rumah tangga memungkinkan penghematan diskresioner yang lebih tinggi di
antara jajaran kelas menengah Asia yang tumbuh.
Sektor utama lain yang tumbuh adalah layanan pendidikan.
Asia sudah merupakan sumber utama permintaan global untuk layanan pendidikan
internasional, dengan makin banyaknya keluarga Asia berpendapatan yang lebih
tinggi yang mengirimkan anak-anak mereka belajar di sekolah-sekolah dan
universitas-universitas di AS, Inggris dan Australia. Peningkatan yang
signifikan dalam kekayaan di negara berkembang Asia memicu pertumbuhan yang
cepat permintaan untuk layanan pendidikan internasional. Ini sekaligus menciptakan
kesempatan bagi pelaku pasar baru untuk bersaing di segmen ini.
Singapura telah bertekad menjadikan negaranya sebagai pusat
pendidikan internasional, melalui pengembangan ekspor pendidikan dari
universitas besar seperti National University of Singapore, Singapore
Management University dan Nanyang Technological University. Singapura juga
telah menarik universitas internasional terkemuka untuk membangun kampus di
Singapura, seperti Duke-NUS Medical School dan INSEAD Asia Campus. Malaysia tak
mau ketinggalan dan mulai mengembangkan ekspor pendidikan internasional. Sunway
University misalnya memantapkan dirinya sebagai universitas terkemuka di
Malaysia dengan sekitar 30 persen dari populasi mahasiswanya datang dari luar
negeri.
Bidang lain pertumbuhan di masa depan yang cepat dalam
permintaan konsumen adalah pelayanan kesehatan swasta. Meningkatnya jumlah
rumah tangga kaya di negara berkembang di Asia membuat mereka mencari layanan
medis yang berkualitas tinggi karena infrastruktur kesehatan masyarakat yang tersedia
di negara mereka masih lemah. Karena tingkat utang pemerintah yang tinggi dan
defisit fiskal yang besar di banyak negara berkembang di Asia, pemerintah tidak
mampu mengalokasikan sumber daya keuangan yang cukup untuk membangun
infrastruktur kesehatan, dan sistem kesehatan masyarakat sangat lemah di banyak
negara Asia termasuk sebagian besar Asia Tenggara dan Asia Selatan. Hal ini
menciptakan pertumbuhan yang cepat dalam permintaan untuk layanan kesehatan
swasta di negara berkembang Asia yang memiliki sistem kesehatan swasta yang
kuat seperti di Malaysia, Thailand dan
India. Begitu jumlah rumah tangga yang memasuki kelas menengah di Asia Selatan
dan Asia Tenggara meningkat, permintaan untuk layanan kesehatan swasta akan
meningkat pesat.
Selain permintaan domestik untuk layanan kesehatan swasta
seperti, pariwisata medis juga berkembang pesat, sebagai pasien perjalanan ke
negara-negara lain untuk mendapatkan layanan kesehatan. segmen pariwisata medis
di sektor kesehatan swasta dari Thailand, Malaysia, Singapura dan India telah
berkembang dalam beberapa tahun terakhir karena pertumbuhan yang cepat dalam
permintaan untuk layanan ini.
Pertayaannya sekali lagi, apakah Indonesia akan menjad
penonton atau objek dari megatrend tersebut? Biswas memang tidak secara
spesifik menunjukkan strategi bagi negara-negara Asia yang sedang berkembang
untuk merebut peluang itu. Namun, melalui buku ini Biswas membuka mata pembaca,
khususnya Indonesia, bahwa dalam tahun-tahun mendatang, Asia merupakan kawasan
dengan ekonomi yang kuat dan memberikan peluang yang besar bagi
perusahaan-perusahaan Indonesia.