Menciptakan word of
mouth itu gampang. Salah satunya adalah dengan riset. Jadi kalau Anda selama
ini beranggapan bahwa riset itu pemborosan atau bagian dari pekerjaan yang
masuk dalam kategori cost centre, itu salah besar. Sebab ternyata riset bisa
menciptakan word of mouth yang selanjutnya bisa menciptakan penjualan.
Beberapa produk dan
perusahaan seperti Post-it Notes, Google, P&G, Microsoft, dan sebagai
perusahaan serta merek besar lainnya memanfaatkan strategi ini. Intinya, mereka
melakukan seeding trials. Menurut Paul Marsden – seperti yang ditulis dalam
buku, Connected Marketing: The Viral, Buzz and Word of Mouth Marketing --
seeding trials adalah riset dengan menggunakan opinion leader sebagai responden
atau narasumber.
Akan tetapi, dalam
riset tersebut, periset membagikan contoh produk. Para opinion leader – yang
oleh Duncan Brown dan Nick Hayes dalam buku Influencer Marketing disebut
sebagai orang-orang yang secara tidak langsung membujuk – ini menjadi semacam
hub-hub yang bisa menjadi juru kampanye, bahkan menjadi pembela (advokat) atau
combe dalam bahasa Surabaya. Mereka begitu loyal karena telah membuktikan
manfaat dari produk yang dibelanya.
*****
Menciptakan buzz
atau word of mouth bukan perkara sulit, kata Richard Laermer – penulis buku
Full Frontal PR: Building Buzz About Your Business, Your Product, or You. Kita
bisa menciptakan buzz dari faktor-faktor yang ada pada diri kita. Kita tidak
perlu memiliki produk yang ruar biasa. Sebab yang ruar biasa itu biasanya hanya
persepsi, dan pesepsi itu bisa saja bukan merupakan fakta. Disini yang penting
adalah bagaimana kita mengenali dan menggarap para opinion leader. Merekalah
yang akan menjadi combe dari produk atau merek kita.
Bila kita ingin
menciptakan publisitas, bila menggunakan konsep ini, asal memenuhi kebutuhan
dan tidak menghasilkan komplain, setiap nafas produk atau perusahaan (merek dan
atau termasuk kita), gerak gerik perusahaan dan sebagainya berpotensi
menciptakan buzz. Seseorang pindah kerja atau dipromosikan, laporan keuangan
perusahaan, pertumbuhan laba perusahaan, kantor pindah, dan termasuk musibah
yang dialami kantor bisa menjadi buzz.
Artinya, dalam semua
gerak-gerik itu, peluang untuk menciptakan buzz. Tak ada sesuatu yang misterius
dalam seni menciptakan buzz yang benar-benar tajir. Kita tidak perlu menjadi
ahli marketing. Yang penting kita memahami secara benar apa itu buzz dan gosip
dan mana yang bukan buzz.
Masih menggunakan
Post-it Notes, pertanda kuning kecil yang biasa ditempelkan pada dokumen yang
ingin atau diminta untuk dikomentari atau lainnya? Produk itu nyaris tidak bisa
atau tidak akan menjadi bagian dari kita karena pada awalnya dianggap tidak
berguna. Awalnya produk itu dianggap bukan apa-apa bahkan menjadi sampah. Namun
akhirnya, produk itu yang menjadi tulang punggung penghasilan 3M.
Ceritanya bermula
pada 1968 ketika 3M meminta salah seorang peneliti, Dr. Spence Silver untuk
mengembangkan suatu produk perekat super lengket. Akan tetapi dia gagal.
Alih-alih menghasilkan super lengket, yang dihasilkan justru perekat super
lemah. Disenggol sedikit sudah lepas. Produk itu pun dimasukkan dalam kotak
produk-produk gagal. Selama enam tahun, proyek itu dilupakan.
Pada 1974, Art Fry -
peneliti untuk pengembang produk baru 3M, kesal karena pertanda yang dia pasang
pada kumpulan lagu-lagu gerejanya hilang. Dia lalu berpikir, mungkin tidak akan
hilangkalau pertanda itu bisa melekat tanpa merusak kertas bukunya. Dia ingat
produk gagal yang ditemukan Silver. Sialnya, ketika diujicobakan kepada
orang-orang biasa melalui riset, lagi-lagi gagal. Produk itu dinilai tidak ada
gunanya. Tak seorang pun melihat kegunaan dari produk itu.
Meski perusahaannya
minta program itu tidak dilanjutkan, Fry ngotot untuk melakukan uji peluncuran
terbatas. Lagi-lagi gagal. Akhirnya, sebelum perusahaannya benar-benar membuang
produk itu, 3M memutuskan melakukan seeding trials denga opinion leader pada
mereka yang kira-kira menjadi target market produk tersebut. 3 M melakukan
sampling dengan mengatasnamakan riset. Untuk itu, 3M membagikan berkotak-kotak
Post-it kepada para sekretaris CEO perusahaan-perusahaan pemasok barang-barang
kebutuhan kantor.
Mereka memang
mencari opini, apakah produk itu berguna bagi mereka. Catatan atau pertanyaan
itu, 3M mencantumkan di dos-dos kecil Post-it yang dikirim kepada para
sekretaris itu. Taktik ini – menurut definisi riset – bisa disebut riset, tapi
juga bisa dianggap sebagai promosi karena seperti membagi sampling. Dari
sampling ini, para sekteris tadi akhirnya mengenali kegunaan Post-it. Mereka
pun menjadi opinion leader yang menjadi semacam promotor atau advokat produk
tersebut karena mereka benar-benar merasakan kebutuhan terpenuhi oleh Post-it.
Akhirnya, Post-it pun menjadi produk yang ruar biasa.
****
Menurut Marsden, ada
dua teori yang bisa menjelaskan tentang seeding trials. Teori pertama adalah
apa yang disebut dengan the Hawthorne Effect, dan kedua, adalah teori Two Step
Flow of Communication yang diperkenalkan Paul Lazarsfeld.
Teori Hawthorne
Effect, menyebutkan bahwa di dalam riset, opini yang Anda tanyakan kepada
responden atas sesuatu, pada dasarnya tidak hanya menciptakan suatu harapan tetapi
juga seakan merayu ego dari responden. Di bawah kesadaran manusia, para
responden merasa berhutang kepada penanya. Hutang psikologis ini membuat
responden secara signifikan lebih menyetujui apapun yang Anda tanyakan kepada
responden.
Hawthorne adalah
suatu tempat di dekat Chicago, AS. Di sebuah pabrik di kota itu, sekelompok
pakar dari Harvard Business School melakukan penelitian untuk perusahaan Lucent
Technology. Mereka diminta untuk menyelidiki lingkungan kerja yang bisa
meningkatkan produktivitas. Disitu mereka menemukan bahwa suasana baru untuk
bekerja apapun yang mereka perkenalkan meningkatkan produktivitas. Kedua,
apapun yang mereka tanyakan dan diskusikan dan diujicobakan juga meningkatkan
produtivitas.
Tim peneliti yang
dipimpin – pakar manajemen SDM -- Elton Mayo itupun akhirnya mengakui bahwa
tidak ada yang perlu dilakukan untuk meningkatkann produktivitas. Dengan
mengkhususkan sekelompok pekerja untuk berpartisipasi dalam uji coba,
partisipan merasa dihargai, diperlakukan secara khusus, dan dianggap penting.
Perhatian khusus yang diberikan kepada mereka, membuat ego mereka merasa
berhutang dan harus membayarnya. Ini menciptakan suatu ikatan emosional yang
positif terhadap apa yang diuji cobakan. Selanjutnya, mereka akan menjadi
advocad dari setiap usulan yang diajukan oleh si pemberi percobaan terhadap
mereka.
Karena alasan inilah
suvey pemilih menjelang pemilu tentang kecenderungan memilih menjadi
perdebatan. Survey itu kampanye atau riset. Ini karena pertanyaan-pertanyaan
dalam survey bisa menciptakan dan meningkatkan awareness sekaligus mempengaruhi
pilihan responden. Dengan pertanyaan yang bersifat aided dengan menunjukkan
tanda gambar misalnya, itu berarti si pewawancara menggiring seseorang pada
partai tertentu. Belum lagi pertanyaan-pertanyaan lain yang juga bisa
menggiring.
Sementara itu, dalam
teori Two Step Flow of Communication, Lazarsfeld – doktor matematika dan
pendiri Bureau of Applied Social Research yang meneliti tentang kecenderungan
pemilih -- seakan mementahkan anggapan umum yang berkembang selama itu bahwa
media massa sangat efektif mengubah pilihan pemilih. Itu sebabnya, jutaan dolar
dihabiskan untuk kampanye para kandidat melalui media massa seperti radio dan
koran.
Ternyata, temuan
Lazarsfeld menunjukkan bahwa pengaruh langsung dari media massa terhadap
pilihan pemilih sangat kecil. Hasil ini yang membuat Lazarsfeld dan
kawan-kawannya mengemukakan dalil, “Two Step Flow of Communication” atau arus
komunikasi dua tahap. Pertama, mass media mempengaruhi pemuka pendapat (opinion
leader). Kedua, opinion leader kemudian mempengaruhi individu-individu lainnya.
Sejak itu, berkembang tradisi penelitian tentang pengaruh terbatas (limited
effect) dari media massa.
Dalam konteks ini,
media massa dianggap sebagai salah satu dari media lainnya yang mempengaruhi
manusia, meski tidak sangat kuat. Yang berpengaruh kiat justru para suara para
pinion leader. Lazarsfeld dan Katz dalam bukunya Personal Influence: The Part
Played by People in the Flow of Mass Communications ( New York: Free Press,
1955) mengungkapkan bahwa pada pertengahan tahun 1940, MacFadden Publication
mensponsori suatu proyek penelitian mengenai pengaruh antarpribadi dan media
massa terhadap keputusan 800 konsumen wanita. Hasilnya, pengaruh media massa
jauh lebih kecil dibandingkan jaringan antar pribadi.
***
Jadi, menciptakan
word of mouth itu sebenarnya tidak memerlukan kecanggihan ilmu marketing. Yang
penting Anda faham benar tentang prioduk dan siapa target yang bakal menjadi
opinion ledaer atau dalam bahasa Surabaya disebut combe itu. Dalam bukunya, the
Tipping Point, Gladwell membuktikan keterujian the Law of the Few dalam word of
mouth. Para peneliti lain -- seperti dikutip Marsden – juga percaya bahwa 10
persen opinion leader akan membentuk opini dan pembelian 90% pengikut dari
opini tersebut.
Kedua, word of mouth
tidak memerlukan produk yang ruar biasa. Asal dia menjadi yang pertama di
kategorinya, itu sudah ckup menciptakan word of mouth. Ketiga, word of mouth
memerlukan database. Melaluidatabase ini kita bisa mengenali dan mengetahui
siapa-siapa yang berpotensi menjadi opinion leader.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar