Dalam acara ASEAN Talk yang diadakan Asean PR Network , Jum’at
lalu, ada pertanyaan seputar cara menangani media yang cenderung memberikan negatif
– dari isi pihak yang diberitakan -- tentang
sesuatu. Bagi organisasi, bila pemberitaan negative tersebut menyangkut
organisasi kita, hal itu tentu sangat tidak mengenakkan.
Persoalan kedua adalah apa yang harus dilakukan terkait
dengan media yang memberitakan secara negative tersebut? Apakah organisasi yang
diberitakan secara negative itu lantas mengambil jarak dan “memusuhi” media
tersebut?
Bagi masyarakat, sebuah informasi merupakan pusat dari
pengambilan keputusan. Berbeda dengan organisasi atau perusahaan yang dalam
proses pengambilan keputusan diawali dengan riset dan hasil riset itu menjadi
acuan dalam pengambilan keputusan. Dalam masyarakat, hal tiu berlangsung secara
instant.
Masyarakat tidak memiliki waktu untuk mempelajari setiap
masalah yang menyangkut mereka. Karena itu, sebagai bahan pertimbangan dalam
pengambilan keputusan mereka, masyarakat mengandalkan sumber informasi lainnya,
khususnya media massa, untuk informasi yang memungkinkan mereka mengembangkan
pendapat dan membuat keputusan tentang sesuatu mulai dari untuk kepentingan
pribadi, perusahaan, kebijakan publik,
tindakan pemerintah dan tren sosial.
Informasi yang dikirimkan melalui media massa berasal dari
berbagai sumber. Ada yang bersumber dari akademisi, pejabat pemerintah, pengusaha,
pengamat keuangan, peserta atau orang terlibat dalam acara atau peristiwa tertentu,
dan yang paling penting untuk program adalah para relawan kelompok-kelompok sipil
non-profit yang sering disebut organisasi non-pemerintah (LSM).
Mereka – bisa pendukung kebijakan publik, apakah mereka
mengkhususkan diri dalam masalah lingkungan, anti korupsi, kesehatan anak-anak,
atau penyalahgunaan obat – membutuhkan dua hal dari media massa: informasi yang akurat dan sudut pandang
(perspektif pemasalahan). Dengan informasi yang akurat, besar kemungkinan sebuah
organisasi bisa mengatasi persoalan yang timbul akibat informasi yang keliru,
mendidik masyarakat, membangun agenda public dan politik, dan menghasilkan
dukungan publik.
Beberapa waktu lalu, saya melakukan penelitian terhadap
belasan media yang cenderung memberitakan secara negative terhadap suatu
peristiwa atau perusahaan. Saya mendapati, ada bulan tertentu media tersebut
hampir setiap hari memberitakan tentang perusahaan dan aktivitasnya secara negatif.
Namun demikian, diantara berita-berita tersebut, ada satu berita yang memiliki
tone yang positif. Setelah saya telusuri berita tone positif tersebut berasal
dari jupa pers yang dilakukan oleh perusahaan tersebut.
Saya telusuri lagi, selama itu perusahaan tersebut tidak
pernah memasok informasi tentang perusahaannya kepada media bersangkutan. Ini
yang kemudian membuat saya sampai pada hipotesis bahwa kalau suatu media yang
selama ini memberitakan secara negative tentang suatu perusahaan hal itu
disebabkan oleh ketiadaan pasokan informasi yang diberikan oleh perusahaan itu
tentang dirinya. Hipotesis kedua adalah, kalau perusahaan tersebut memasok informasi
yang positif tentang perusahaan, media itu akan memberitakan secara positif
pula.
Komunikasi Strategis
Perusahaan
Pada dasarnya, sebuah organisasi selalu memiliki informasi
dan perspektif yang berguna, namun yang sering
dijumpai adalah organisasi belum atau tidak bisa berkomunikasi kepada publik. Untuk
mendapatkan akses ke saluran informasi yang paling signifikan, yakni media massa,
sebuah organisasi harus memahami kebutuhan para gatekeepers (penunggu pintu
gerbang) media massa, belajar tentang teknik yang diperlukan untuk meningkatkan
ketrampilan dalam menciptakan dan mengelola informasi secara efektif agar bisa
hadir di media, dan mengembangkan strategi untuk memobilisasi sumber daya
mereka untuk membangun advokasi media.
Komunikasi strategis untuk organisasi dapat dibagi menjadi
tiga wilayah. Pertama, advokasi media. Advokasi media adalah penggunaan media
massa strategis sebagai sumber daya untuk memajukan inisiatif kebijakan sosial
atau publik. Ini dilakukan dengan menggunakan seperangkat teknik yang diambil
dari public relations, periklanan, jurnalisme investigatif, dan lobi akar
rumput. Melalui advokasi media, organisasi bisa membingkai isu-isu kebijakan
publik dan secara aktif masuk ke dalam forum atau arena debat publik.
Area kedua adalah jaringan. Disini organisasi atau
perusahaan bekerja bersama-sama dengan anggota organisasi sendiri dan organisasi
lain yang memiliki tujuan yang sama. Jaringan dapat memperluas basis
keanggotaan organisasi dan menginformasikan kepada khalayak sasaran dengan jumlah
yang lebih besar dari yang bisa dilakukan organisasi bila bekerja sendirian.
Hal ini mendorong pembentukan koalisi dan memberikan saluran
untuk bekerja dan perencanaan bersama. Jaringan media sosial, internet, dan telepon
merupakan media yang bisa meningkatkan kemampuan organisasi atau perusahaan berkolaborasi
dalam pesan membentuk, berbagi sumber daya informasi dan menghubungkan
pendukung untuk media massa.
Area ketiga adalah menciptakan dan mendistribusikan media yang
dimiliki oleh organisasi seperti newsletter atau program televisi. Teknik ini
akan membantu organisasi dalam mengatasi persoalan ketika media massa tidak mau
atau enggan menerima pesan organisasi atau tidak kooperatif. Produksi media yang
kreatif dapat melengkapi akses ke media massa dan membongkar keterbatasan
liputan berita. Sebagai produser media, dokumenter, spot iklan, newsletter,
atau TV dan forum radio yang dibuat dan dimiliki organisasi akan dapat
menceritakan kisah organisasi itu sendiri dan menjelaskan masalah organisasi
melalui media yang berada di bawah kontrol organisasi.
Melengkapi itu, organisasi perlu mengadakan pelatihan yang berfokus
terutama pada advokasi media dan produksi media serta distribusi informasi. Ini
adalah masalah mendasar yang perlu segera diatasi. Namun demikian, semua itu
tidak akan bisa dilaksanakan bila tidak ada perencanaan media yang efektif.
Dimana Peran Public
Relations ?
Konsep agenda building diketahui Scheufele (1971) saat
mempelajari keterkaitan antara berita dan politik. Secara temporer, agenda
building bisa terjadi terjadi sebelum agenda setting. Agenda building berhubungan
dengan bagaimana agenda media mengubah informasi itu menjadi berita dan agenda
media, selanjutnya mempengaruhi persepsi public.
Pertanyaannya adalah bagaimana beberapa berita menjadi agenda
media sementara yang lainnya tidak. Disini terkait dengan proses agenda
building. Sebab seperti diketahui, proses pertama dalam agenda building yang
dilakukan wartawan adalah mengidentifikasi, memilih, dan mengembangkan ide
cerita, dan menilai pentingnya menggunakan fakta, sumber, dan penelitian latar
belakang dalam cerita.
Disinilah pentingnya praktisi public relations terlibat
dalam proses tersebut. Bukan berarti ikut dalam proses perencanaan, melainkan
bagaimana caranya praktisi public relations mempengaruhi proses agenda building
sebelum perencanaan dn selama proses perencanaan berlangsung dengan memasok
informasi penting dan akurat serta membantu menentukan sudut pandang (enggel)
dalam penulisannya. Disinilah pentingnya media relations.
Disini praktisi public relations harus memiliki target bisa
mengalahkan informasi yang dipasok kelompok lain – yang bisa saja negative --
dan organisasi mereka ke dalam berita. Bahkan bukan hanya media, bisa di luar
itu yang dalam hal ini termasuk mempengaruhi agenda building individu dan
kelompok (kelompok advokasi, warga, dan sebagainya). Ini adalah tugas para spesialis
hubungan media. Jadi pasokan informasi, dalam bentuk taktik hubungan media,
adalah salah satu alat yang digunakan oleh praktisi public relations untuk
mencapai tujuan ini.
Seperti yang dikatakan Zoch dan Molleda (2006), kekuatan untuk
mempengaruhi dalam agenda building terletak pada kemampuan praktisi dalam
membangun sebuah cerita dengan karakteristik yang spesifik sehingga bisa
membantu dalam menentukan perspektif bertta yang diturunkan. Ini berarti bahwa
bagaimana ide cerita yang dihasilkan secara substansial mempengaruhi proses
agenda building dan merupakan titik kritis "pertama" dalam proses
produksi berita.
Dari sudut pandang praktisi PR, langkah dalam proses itu
merupakan peluang terbaik untuk menghasilkan dan membingkai ide cerita.
Penelitian Curtin, menemukan bahwa lebih dari seperempat dari editor pengelola koran
mengatakan bahwa mereka sering menggunakan bahan atau informasi yang dipasok PR
sebagai dasar untuk membuat berita, bahkan sebagai pemicu ide.
Seperti diketahui dalam strutur kerja media, salah satu
penilaian performance kunci adalah produksi berita secara kuantitatif. Di
beberapa media ada kriteria penilaian tertentu yang mendasarkan pada
kuantitatis berita yang diperoleh setiap hari. Dalam struktur kerja, di
beberapa media, wartawan memang berada di bawah koordinasi redaktur.
Redakturlah yang memberi dan menjelaskan tugas yang harus dikerjakan wartawan.
Kepada redaktur wartawan juga menyerahkan hasil kerjanya pada waktu yang
ditentukan.
Akan tetapi, wartawan juga pada dasarnya menjalankan profesinya
sebagai pekerja mandiri, yang digerakkan oleh kepedulian terhada lingkungannya
misalnya. Redaktur tidak selalu memberi tugas kepada wartawan. Hubungan kerja
semacam ini merupakan ciri pola kerja profesi wartawan. Jadi, dengan atau tanpa
penugasan dari redaktur, panggilan kerja wartawan adalah meliput untuk
menghasilkan berita.
Fenomena ini hendaknya dilihat sebagai peluang bagi praktisi
public relations untuk mendiseminasi gagasan, ide atau isu kepada media. Sebab
tak jarang karena desakan batas waktu, ketidaktercapaian target berita harus
yang harus diserahkan, membuat mereka membutuhkan narasumber. Disinilah pelaung
bagi praktisi public relations masuk dengan memberikan informasi atau isu
kepada wartawan tadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar