Hari-hari ini – mungkin sekali lagi mungkin – sebagian besar
bangsa Indonesia menantikan pengumuman perombakan cabinet yang bakal dilakukan
Presiden Joko Widodo. Kabarnya, perombakan cabinet atau reshuffle itu diumumkan
hari ini. Setidaknya sas sus ini muncul karena semalam – seperti diberitakan
banyak media online – Presiden Jokowi telah memanggil beberapa menteri di
kabinetnya.
Sebelumnya, saat bulan puasa lalu, Presiden Jokowi juga
memanggil beberapa orang ke Istana. Spekulasi kemudian muncul bahwa orang-orang
yang dipanggil itu merupakan “calon menteri” pengganti dari para menteri yang
dipanggil semalam. Wallahu’alam kita tunggu nanti.
Saya tidak akan terlalu banyak membahas tentang reshuffle
tersebut apalagi nama-namanya. Yang saya ingin bahas disini menyangkut nama
tapi bukan nama siapa-siapa yang bakal menduduki posisi itu. Yang ingin saya
kemukakan adalah pentingnya penamaan cabinet atau apapun termasuk program kerja
yang berorientasi pada masyarakat.
Selama ini, hampir semua Presiden ketika membarikan nama
kabinetnya selalu berorientasi ke dalam. Misalnya, saat pertama mengumumkan
kabinetnya (jilid I), Presiden Jokowi memberi nama kabinet sebagai Kabinet
Kerja. Kemudian era SBY, nama kabinetnya Kabinet Indonesia Bersatu, Kabinet
Gotong Royong (Era Presiden Megawati), Kabinet Persatuan Nasional (pemerintahan
Presiden Abdurrahman Wahid), Kabinet Reformasi Pembangunan pada era Habibie, Kabinet
Pembangunan dan Ampera (Era Soeharto). Sebeum Orde Baru, nama cabinet melekat
dengan pemimpinnya, seperti Kabinet Natsir dan sebagainya.
Dalam konteks marketing, nama cabinet adalah sebuah merek. Ia
menawarkan sesuatu yang berbeda dengan yang lain. Karena itu, dalam konteks
nation branding, muncul pertanyaan apakah tidak sebaiknya momen ini dijadikan
sebagai awal dari pembentukan Indonesia branding. Bila halite disepakati maka
muali saat ini harus dilakukan reorientasi dari pemberian nama cabinet tersebut.
Sebab, nama-nama itu lebih mencerminkan orientasi ke dalam, tidak mencerminkan
sebuah penawaran kepada publik atau target market. Kabinet Kerja misalnya,
memang menawarkan kepada public sebuah janji bahwa para anggota kabinetnya akan
bekerja. Pertanyannya adalah bekerja untuk siapa? Untuk rakyat atau untuk
partainya, mengingat komposisi kabinetnya yang menceriminkan keterwakilan
partai.
Persoalan nama cabinet yang berorientasi ke dalam juga
tercermin dari kebijakan yang diambil. April 2016 misalnya, Presiden Joko
Widodo (Jokowi) mengumumkan paket kebijakan ekonomi jilid XII. Harus diakui
bahwa kebijakan itu sangat penting terutama dalam memperbaiki peringkat
kemudahan berbisnis (ease of doing business/EoDB) Indonesia, yang saat ini
berada di peringkat 109.
Pertanyaannya adalah lagi-lagi kenapa tidak memberi nama
secara lebih specific. Idealnya, bila Kabinet Kerja dianggap sebagai umbrella
brnd, maka merek itu harus diikuti dengan merek-merek lain yang diroientasikan
pada target market tertentu.
Akhir tahun 2014, Perdana Menteri India Narendra Modi
mengeluarkan kebijakan insentif untuk mendorong perusahaan-perusahaan asing
berinvestasi dan memproduksi produk-produk mereka di India. Untuk keperluan
itu, Modi membuat brand kebijakan itu dengan tagline, _Make in India_.
Make ini India merupakan contoh dari sebuah strategi nation branding
yang berfokus pada upaya menarik perusahaan asing. Inisiatif untuk mempromosikan
India sebagai pusat manufaktur ini sekaligus memposisikan India sebagai negara
yang siap bersaing dengan China dan pusat-pusat manufaktur lainnya seperti Malaysia,
Vietnam dan Bangladesh. Dengan tagline itu, India mendeklarasikan dirinya sebagai
negara yang semakin menjauhi kebijakan ekonomi masa lalu yang proteksionis.
Nama kampanye ini nampaknya sengaja tidak menggunakan _Made
in India_ yang bisa bermakna menawarkan suatu lokasi yang bisa memproduksi
barang yang dipasarkan kepada konsumen. Sementara itu nama Make ini India lebih
bersifat tawaran daya tarik bagi perusahaan untuk memindahkan operasi
manufaktur dan sumber daya mereka ke India.
Insitif Make in India ini diikuti dengan pembuatan sebuah
situs di mana perusahaan dapat mencari dan mengklarifikasi kebijakan dalam
waktu 72 jam. Kampanyenya dirancang oleh Wieden + Kennedy. Di bawah inisiatif
ini, pemerintah merilis brosur 25 sektor. Sebelum inisiatif diluncurkan, pemerintah
India menyederhanakan perizinan di berbagai sektor. Aplikasi untuk lisensi
dibuat tersedia secara online dan validitas lisensi pun meningkat. Februari
lalu, diadakan “Make in India Week” yang menghssilkan kesepakatan investas
senilai $222 juta.
Tahun lalu, Januari 2015, Spice Group akan memulai unit
manufaktur ponselnya di Uttar Pradesh dengan investasi 500 crore. Januari 2015,
Hyun-Chil Hong, Presiden & CEO Samsung Asia Barat, bertemu dengan Kalraj
Mishra, Menteri Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), untuk membahas
inisiatif bersama. Samsung juga akan
memproduksi Samsung Z1 di pabriknya di Noida. Banyak perusahaan teknologi
tinggiyang akan inves, termasuk Hitachi, Huawei, dan sebagainya.
"Investasi di bawah skema 'Make in India' antara tahun
2014 dan 2016 dilakukan oleh perusahaan domestik dan asing seperti Mercedes
Benz India, Internasional Tractors Limited, Jaya Montupet, Isuzu Motors,
General Electric, Toshiba Transmission dan Distributions Systems India Private
Limited and PepsiCo, " kata Menteri Negara Keuangan Arjun Ram Meghwal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar