Dalam beberapa tahun ada lima trend baru dalam kegiatan corporate
social responsibility. Yang menarik adalah dorongan dari dalam makin kuat agar
perusahaan makin peduli terhadap masalah sosial.
Bila Anda membeli produk
RED mulai dari Gap T-shirt ke Apple iPod hingga komputer Dell ini berarti Anda mendukung
Global Fund menghilangkan AIDS di Afrika. Bila Anda mengkonsumsi kopi berlogo "Caring
Cup" di Coffee Bean and Tea Leaf, itu menunjukkan komitmen Anda membantu
menciptakan perdagangan bebas dan
praktek perburuhan yang tidak manusiawi.
Bila Anda mengendarai
Toyota Prius, itu menunjukkan bahwa Anda memenuhi sumpah Anda membantu mengatasi krisis minyak dunia serta
memerangi pemanasan global. Pembelian produk kecantikan Dove memungkinkan
seseorang untuk berpartisipasi dalam kampanye Dove Real Beauty, yang mendorong
konsumen untuk "co-produce" secara nasional membantu remaja perempuan
dan wanita muda mengatasi masalah harga diri yang rendah.
Kampanye sosial itu
didukung bintang dan gaya selebriti mereka. Selebritu dan tokoh masyarakat
seperti Angelina Jolie, Brad Pitt, dan Kanye West meluncurkan program aktivis
sosial mulai dari aksi kemanusiaan yang disponsori PBB yang memprotes
perdagangan berlian global yang dihasilkan dari tambang yang mengekploitasi
penambangnya hingga membangun kembali lingkungan penduduk berpenghasilan rendah
dan koerban badai di New Orleans.
Semua itu seakan mengatakan
bahwa dalam budaya kontemporer, sesuatu menjadi benar-benar mengejutkan bila
public berpartisipasi dalam aktivitas sosial perusahaan dengan membeli produk
yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut. Produk Red adalah merek berlisensi
yang berusaha untuk melibatkan sektor swasta dalam meningkatkan kesadaran dan
dana untuk membantu menghilangkan HIV / AIDS di Afrika.
Banyak perusahaan yang
tergabung dalam aliansi ini, Nike, American Express (UK), Apple Inc, the
Coca-Cola Company, Starbucks, Converse, Electronic Arts, Head, Bugaboo, Penguin
Classics (UK & Internasional), Gap, Armani, Hallmark ( AS), SAP dan Beats
Electronics (Beats by Dr. Dre). Konsep ini didirikan pada tahun 2006 oleh
vokalis U2 dan aktivis, Bono, bersama-sama dengan Bobby Shriver dari ONE/DATA.
Salah satu penerima bantuan dari aliansi tersebut adalah the Global Fund yang
memiliki aktivitas memerangi AIDS,
Tuberkulosis dan Malaria.
Sebagai bagian dari
model bisnis baru, masing-masing perusahaan mitra menciptakan produk dengan
logo Product Red. Sebagai imbalan atas kesempatan untuk meningkatkan pendapatan
melalui lisensi Red Produk, 50 persen dari keuntungan yang diperoleh oleh
masing-masing pasangan disumbangkan untuk global Fund. Aliansi bantuan
kemanusiaan dan bisnis nirlaba bisnis ini merupakan salah satu contoh
"konsumerisme etis."
Dalam beberapa tahun
terakhir, ada perkembangan baru dalam tanggung jawab sosial perusahaan.
Pertama, saat ini konsumen semakin tegas dalam mensikapi keterlibatan
perusahaan dalam mengatasi masalah sosial. Konsumen mengharapkan perusahaan
untuk tidak sekadar peduli pada isu-isu sosial. Survei yang dilakukan Maret
2015 oleh Cone and Ebiquity menunjukkan bahwa 91% dari pengguna internet di
seluruh dunia mengharapkan perusahaan untuk tidak sekadar mengejar keuntungan.
Konsumen sekarang ingin perusahaan juga ikut menangani masalah sosial.
Kedua, tanggung jawab
itu bukan sekadar harapan karena ternyata sikap itu diimplementasikan pada
keputusan konsumen membeli suatu produk. Dari konsumen yang mengharapkan
keterlibatan sosial perusahaan itu, 84% diantaranya mengatakan mereka akan
membeli produk dan jasa yang memiliki tanggung jawab sosial atau lingkungan.
Bukan sekadar itu, lebih dari setengah responden tersebut memboikot perusahaan
yang berperilaku tidak bertanggung jawab.
Ketiga, perkembangan
terakhir menunjukkan bahwa saat ini perusahaan-perusahaan besar menghadapi
tekanan dari internal perusahaan mereka untuk mempertimbangkan isu-isu sosial
dalam praktik bisnis mereka. Internal perusahaan saat ini banyak menuntut
perusahaan untuk peduli pada masalah sosial. “Tekanan ini datang dari karyawan
itu sendiri,” demikian salah satu point dari temuan penelitian yang dilakukan Public
Affairs Council, Taking a Stand: How
Corporations Speak Out on Social Issues.
Penelitian berupa jajak
pendapat dari 92 usaha di berbagai industri tersebut menemukan bahwa - selama
tiga tahun terakhir - 60 persen perusahaan mengalami kenaikan tekanan dari
stakeholder untuk berbicara tentang isu-isu sosial seperti diskriminasi,
lingkungan, pendidikan dan hak asasi manusia. Tak satu pun dari responden tersebut
melaporkan bahwa tekanan yang mereka hadapi dari tahun ke tahun itu menurun.
Menurut survey
tersebut, dua kelompok yang memiliki pengaruh paling kuat atas keputusan
perusahaan untuk terlibat dalam masalah sosial adalah manajemen senior dan
karyawan biasa. Hal ini bertentangan dengan gambaran umum bahwa perusahaan
berbicara terutama karena mereka berusaha untuk menenangkan kritik eksternal.
Selama ini ada anggapan bahwa perusahaan-perusahaan aktif dalam kegiatan sosial
sebagian besar merupakan respon dari tekanan-tekanan yang datang dari
stakeholder eksternal.
Nyatanya, berdasarkan
survey tadi, tekanan terbesar justru datang dari dalam perusahaan itu sendiri.
Bahkan, hanya setengah
responden mengatakan bahwa pendapat pelanggan telah mempengaruhi keputusan
mereka untuk terlibat atau tidak terlibat, dan kurang dari 40 persen mengatakan
aktivis, pemegang saham dan kelompok lain yang mempengaruhi keputusan mereka.
Sebagain besar
perusahaan yang menjadi responden dalam penelitian ini percaya bahwa harapan
yang lebih tinggi yang muncul dari eksternal mereka untuk ikut dalam mengatasi masalah-masalah
sosial cenderung tidak berubah atau tetap. Justru yang meningkat datang dari
internal. Tujuh puluh empat persen responden memperkirakan tekanan internal pada
perusahaan itu untuk terlibat akan meningkat selama tiga tahun ke depan.
Pertanyaannya adalah
mengapa internal perusahaan ini peduli terhadap masalah sosial yang berkembang
belakangan ini? Sebenarnya bukanlah isu yang baru bila dilihat dari banyaknya
masalah sosial terutama yang dihasilkan dari kebijakan lingkungan dan
diskriminasi yang dilakukan oleh perusahaan dalam beberapa dekade terakhir,
misalnya soal diskriminasi berdasarkan gender, atau ras, dan sebagainya.
Yang berbeda sekarang
adalah: (1) tingkat kontroversi yang timbul dari undang-undang yang membatasi
hak-hak dasar orang-orang berdasarkan orientasi seksual atau identitas gender,
(2) dalam kasus di Amerika Serikat, realitas bahwa makin banyaknya isu-isu sosial
terkait dengan perusahaan kini sudah pada tingkat yang mengkhawatirkan, (3) ambisi
atau orientasi perusahaan yang ingin keluar dari baying-bayang ketakutan dan
berusaha untuk merespon sikap public yang ingin perusahaan berkontribusi pada
upaya menangani masalah sosial.
Awal tahun ini,
misalnya, negara bagian North Carolina mengesahkan undang-undang kontroversial
yang menghilangkan perlindungan terhadap anti-diskriminasi LGBT. Undang-undang
itu juga mensyaratkan bahwa orang-orang yang berada di gedung-gedung pemerintah
hanya dapat menggunakan toilet dan mengubah fasilitas yang sesuai dengan jenis
kelamin pada akte kelahiran mereka.
Namun berberda degan
pemerintah, perusahaan justru melihat kebijakan itu sebagai diskriminatif terhadap
kaum LGBT. Ini sangat mengkhawirkan karena lebih dari setengah dari perusahaan
yang berpartisipasi dalam survei mengatakan bahwa mereka telah terlibat
langsung dalam upaya untuk mengakhiri diskriminasi dan pembatasan berdasarkan
orientasi seksual atau identitas gender. Bahkan – karena dorongan internal -- beberapa
perusahaan memboikot acara atau kegiatan usaha di North Carolina.
Harapan untuk
keterlibatan paling tinggi ada pada perusahaan yang memiliki pendapatan tahunan
lebih dari $ 15 miliar. Secara keseluruhan, tentang isu yang diharapkan oleh
internal perusahaan terlibat, yang paling tinggi adalah keinginan agar
perusahaan ikut dalam masalah perlindungan lingkungan (74%); penghapusan
diskriminasi/pembatasan berdasarkan orientasi seksual (59%), pembatasan berdasarkan
jenis kelamin (54%), identitas gender (52%) atau ras (50%); meningkatkan akses
terhadap pendidikan yang berkualitas (59%) dan melindungi hak asasi manusia di
luar negeri (49%).
Keempat adalah
keterlibatan lembaga swadaya masyarakat (LSM/NGO). Dalam beberapa tahun
terakhir, non-governmental organization (NGO) semakin profesional dalam
kegiatan mereka. Aksi mereka yang besar memerlukan anggaran yang besar pula
sehingga bagi NGO ketrampilan mengelola kegiatan dan keuangan menjadi sangat
penting.
Dalam beberapa tahun
terakhir, peran NGO sebagai bagian dari stakeholder perusahaan semakin penting. Mereka aktif melakukan kampanye
advokasi untuk masyarakat. Dalam melakukan kampanye, NGO telah menggunakan
teknologi dan strategi komunikasi yang relative tinggi. Mereka memanfaatkan
jaringan meia sosial dan jaringan media konvensional.
Mereka juga melakukan
tekanan kepada perusahaan baik langsung maupun tidak langsung. Beberapa NGO
melakukan tekanan pada perusahaan baik langsung maupun tidak langsung melalui
upaya mempengaruhi masyarakat yang terkena dampak RTB, legislator, pemerintah
daerah, dan melalui media.
Dalam memperkuat pesan
kampanyenya, NGO sekarang juga semakin canggih. Penelitian atau pengamatan
langsung yang mereka lakukan memperkuat pandangan bahwa tanggung jawab sosial
serta lingkungan merupakan isu utama bagi masyarakat. Dengan kata lain,
kampanye advokasi yang mereka lakukan didukung dengan data hasil penelitian,
baik pengamatan, percobaan atau wawancara dengan orang yang berkaitan dengan
isu yang ingin diangkat sehingga kemungkinan besar bisa mempermudah dan
meningkatkan kesadaran publik, menghasilkan dukungan publik dan mempengaruhi
pembuat kebijakan.
Mereka juga menampilkan
wajah baru dalam aktivitasnya yakni dengan melibatkan publik dengan menggalang
setiap orang untuk melakukan atau mendukung kampanyenya. Misalnya dengan
melakukan penjualan atau pembagian kaos, souvenir dan sebagainya. Perkembangan
teknologi baru semakin memperkuat kemungkinan kelompok-kelompok kecil pengunjuk
rasa untuk membuat pesan mereka semakin mudah menjangkau dan didengar melalui
penggunaan alat yang bisa diakses secara elektronik seperti berita, e-mail,
sms, klaim hukum dan aksi tersebut. Teknologi internet dan telekomunikasi
mobile, tidak hanya membantu mengatur, juga membantu untuk menginformasikan
segala sesuatu tentang kegiatan mereka.
Saat ini, semakin
banyak pengelola perusahaan yang mengakui bahwa isu-isu lingkungan dan sosial
dapat memberikan manfaat komersial bagi perusahaan -- mulai dari untuk menjadi atribut yang
membedakan produk hingga memotong biaya. Karena itu, kinerja lingkungan semakin
dilihat sebagai isu kompetitif dan strategis bagi perusahaan. Selain itu,
hubungan dengan NGO berkontribusi bagi perusahaan dalam membangun sistem radar
peringatan dini dari masalah risiko yang berpotensi merusak.
Salah satu contoh
hubungan antara perusahaan-NGO adalah kemitraan antara IKEA dan Greenpeace
sebagai bagian integral dari stratei bisnis untuk mendapatkan keunggulan
bersaing. Sebagai pengecer furniture terbesar di dunia, sebelum 1991, IKEA
banyak mendapatkan kritikan:
• Pada pertengahan
1980-an, IKEA dituntut oleh pemerintah Denmark atas pelanggaran peraturan
tentang emisi maksimum formaldehid.
• Menjadi sasaran demo
NGO di Jerman yang memprotes penggunaan klorin dalam proses pemutihan pulp
untuk katalog IKEA. NGO juga keberatan karena pembuatan katalog tersebut
membutuhkan sejumlah pohon yang ditebang.
• Menjadi target
kampanye vokal Greenpeace karena dituduh berranggung jawab atas penebangan
pohon kayu dari hutan alami.
Dalam upaya untuk
memperbaiki masalah lingkungan yang dihadapi, IKEA menghubungi Greenpeace untuk
mengembangkan kemitraan untuk meningkatkan kinerja lingkungannya. Seperti
diketahui, di Eropa, NGO dianggap oleh publik sebagai lembaga yang jauh lebih
bisa dipercaya daripada bisnis dalam hal kesehatan lingkungan dan masalah
sosial. Dari sisi ini, perusahaan mendapat manfaat karena NGO juga
mengkomunikasikan bahwa perusahaan telah memnuhi standard pengelolaan hutan
secara bertanggung jawab.
Karena itu, ada gagasan
bahwa hubungan kerja yang efektif antara NGO dan bisnis dapat mendukung
kredibilitas dan meningkatkan reputasi perusahaan. Pada tahun 2000,
bangunan-produk raksasa Home Depot, Inc. – raksasa jaringan toko bahan
bangunan, menjalin hubungan dengan Forest Stewardship Council (FSC). Tujuannya
adalah untuk kerjasama memilih dan
memasarkan bahan bangunan dari hasil hutan yang dipanen dengan teknik
bertanggung jawab terhadap lingkungan.
Kesepakatan ini mengakhiri perdebatan
panjang dan penuh kebencian. FSC menuduh Home Depot dan pedagang (pemasok Home
Depot) bahan bangunan lainnya sebagaiperusak lingkungan.
Forest Stewardship
Council (FSC) adalah organisasi non-profit internasional yang didirikan pada
1993 untuk mempromosikan manajemen hutan yang bertanggung jawab. Ini antara
lain dilakukan dengan menetapkan standar pada hasil hutan, melakukan
sertifikasi dan label bahwa produk itu ramah lingkungan.
Aliansi ini membantu
Home Depot bisa mengklaim bahwa teknik pemasaran yang mereka lakukan adalah
bertanggung jawab terhadap lingkungan, sehingga menyelaraskan kepentingannya
dengan kelompok-kelompok lingkungan dan dengan pelanggan yang menginginkan
kualitas tetapi bahan bangunan yang ramah lingkungan. Hubungan ini juga bisa
membantu Home Depot membela kebijakan pemasaran mereka terhadap serangan yang
lebih radikal dari Rainforest Action Network.
Perusahaan bahan
bangunan lainnya (Wicke’s, Lowe’s, and Anderson Corporation – sebuah perusahaan
raksasa khusus jendela-bangunan) bergabung ke dalam koalisi ini untuk memenuhi
standar lingkungan FSC. Organisasi-organisasi ini terlibat dalam komunikasi dua
arah untuk bersama-sama membuat keputusan. Proses ini bisa membangun
kepercayaan, menyelaraskan kepentingan, menunjukkan komitmen lingkungan,
bersikap kooperatif, mengadopsi kompatibel pandangan / pendapat, dan
berkomitmen untuk mendukung pasar global untuk bahan bangunan dengan cara yang
bertanggung jawab terhadap lingkungan.
Setelah perjanjian ini
telah tercapai, public relations bisa menggunakan hubungan media menyebarkan
informasi tentang perjanjian, menarik dan mempertahankan pelanggan, dan
mengurangi kritik aktivis. Perjanjian ini memperkuat reputasi Home Depot
sebagai perusahaan yang bertanggung jawab terhadap lingkungan. Itu bisa menjadi
nilai tambah bagi image FSC sebagai advokat untuk pengelolaan sumber daya alam
yang bijaksana.
Perkembangan ini
kemudian atau trend ke lima – selain
dipicu oleh perkembangan teknologi itu sendiri – adalah pergeseran dalam
penggunaan media untuk mengkomunikasikan CSR. Dari survey yang dilakukan Cone
and Ebiquity, trend saluran informasi yang membuat public mengetahui atau
menyadari adanya kegiatan CSR oleh perusahaan didapatkan melalui pembicaraan
yang berlangsung di media sosial. Ini
memunculkan konsekuensi bahwa untuk mengkomunkasikan kegiatan CSR perusahaan,
saluran komunikasinya memang tidak cukup mengandalkan satu media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar