Sabtu, sekitar dua tiga
bulan lalu, saya belanja di Pasar Bintaro 2 Tangerang Selatan. Seperti biasa
yang pertama saya tuju adalah warung langganan saya, suami isteri Farid – sebut
saja demikian.
Sebelumnya, saya juga punya tempat langganan juga di Pasar Bintaro 2, di warung Fatimah. Namun karena pelanggan di Warung Fatimah banyak, cukup lama harus antri menunggu giliran dilayani.
Sebelumnya, saya juga punya tempat langganan juga di Pasar Bintaro 2, di warung Fatimah. Namun karena pelanggan di Warung Fatimah banyak, cukup lama harus antri menunggu giliran dilayani.
Saya lalu pindah ke
warung Farid.
Yang melayani pembeli sebenarnya isterinya, sementara Farid menata barang dagangan, membetulkan kalau-kalau ada sayur atau buah yang letaknya berpindah atau jatuh. Cukup sabar dai menemani isterinya di warung. Dia tak pernah duduk. Selalu saja ada dagangannya yang dibetulkan posisinya.
Yang melayani pembeli sebenarnya isterinya, sementara Farid menata barang dagangan, membetulkan kalau-kalau ada sayur atau buah yang letaknya berpindah atau jatuh. Cukup sabar dai menemani isterinya di warung. Dia tak pernah duduk. Selalu saja ada dagangannya yang dibetulkan posisinya.
Suatu Sabtu, sekitar
pukul 07.00, saya datang ke warung Farid. Saya lihat Farid tak ada. “Kemana Mas
Farid?,” tanyaku sambil memilih buah tomat.
“Lagi pulang dulu Pak,”
jawab isteri Farid.
“Kok?”
“Mandi dan shalat
dhuhah.”
Setiap sekitar pukul
00.00 dini hari, Farid pergi dari rumahnya di sekitar stasiun Pondok Ranji,
untuk berbelanja (kulakan) di Pasar
Kebayoran Lama. Dia belanja sampai pukul 04.30 dan langsung dibawa ke
Pasar Bintaro untuk dijual kembali. Habis menata dagangannya, Farid pulang
dengan motor shalat shubuh lalu balik ke pasar. Itu laku Farid – yang kebetulan
belum dikarunia anak -- setiap hari.
Suatu sekitar dua tiga
bulan lalu itu, saya membeli nenas dua buah seharga Rp 4,5 ribu per buah.
Seperti biasa, habis pesan saya meninggalkannya untuk berbelanja ke tempat
lain. Farid yang memilihkan nenasnya.
Tiga puluh menit
kemudian saya balik ke tempat Farid untuk mengambil nenas yang saya pesan.
“Sudah Mas?” tanya saya.
“Sudah Mas?” tanya saya.
“Belum Pak….Maaf Pak
yang tadi agak busuk,” katanya sambil menunjukkan dua buah yang hamper selesai
dikupas. Saya lihat nenas itu memang busuk.
Mendengar pernyataan
itu, saya agak kaget. “Lho kenapa bagian yang busuk nggak dipotong dan
dibuang?”
Farid tersenyum. “Yang
saya jual kan nenas utuh seperti yang Bapak lihat saat belum dikupas, bukan
nenas yang sudah terpotong.”
“Nggak rugi,” tanya
saya.
“Rugi untung itu memang
risiko pedagang. Yang penting bagaimana caranya saya tidak membohongi pembeli.”
katanya sambil tetap tersenyum. “Naggak apa-apa Pak saya rugi. Saya dagang kan
juga untuk ibadah dan mencari ridlo Allah.”
Itu bukan sekali dua
kali saya alami saat membeli di warung Farid. Suatu kali, saya membeli alpukat.
Dari luar alpukat yang saya beli kelihatan mulus. Namun sesampai di rumah saat
saya potong, ternyata alpukatnya busuk. Saya lalu menceritakan itu ke Farid
keesokan hari. Farid langsung menggantinya dengan yang baru.
Seminggu setelah
kejadian buah nenas itu, saya datang lagi ke warung Farid. Namun kali ini saya
lihat warung Farid tutup. Minggu berikutya juga tutup dan selanjutnya sampai
minggu ke lima. Minggu keenam, warung Farid buka kembali. Farid dan isterinya
saya lihat tetap sibuk.
“Woo…. Buka? Saya kira
sudah nggak jualan lagi. Pada kemana kok lama nggak jualan?” Tanya saya,
“Alhamdulillah….Minggu
kemarin kami baru pulang dari haji,” kata Farid….
“Hah……subhanallah…Alhamdulillah
“ kata saya.
“Iya Pak…..Keuntungan
yang kami dapat dari Bapak dan pembeli lainnya kami tabung sedikit demi sedikit
sehingga akhirnya kami bisa berhaji.”
“Kok nggak dipakai
untuk buka warung baru atau dagang yang lain?”
“Alhamdulillah pak….
Ini saya sudah cukup. Yang penting dari hasil penjualan ini saya bisa makan,
bisa beli baju, dan kontrak rumah. Dan yang lebih penting lagi, saya tetap bisa
beribadah.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar