Judul Buku : Going East
Penulis : Rudolf Tjandra
Penerbit : Afterhours Books
Tebal Buku : 215 halaman
Melihat Selintas judul dan warna sampul buku ini, sempat
terlintas dalam pikiran buku itu membahas tentang pasar China. Sebab bagaimana
pun China kini telah menjadi raksasa dunia yang mungkin telah mengambil posisi
Amerika Serikat sebagai lokomotif bisnis dunia. Pertanyaan yang muncul dalam
pikiran adalah kenapa China? Masih adakah peluang bagi perusahaan Indonesia
untuk masuk ke pasar China. Saya baru menyadari kalau buku ini tidak sekadar
membahas pasar China, melainkan bisnis negara-negara Timur Jauh setelah membaca
Bab II buku ini.
Ini juga yang menarik perhatian saya karena penulis buku ini
juga memasukkan pasar ASEAN. Menurut penulis buku ini, perkembangan ekonomi
negara-negara Asia Timur kini membuat kawasan ini menjadi yang paling sukses di
dunia. Tidak hanya perusahaan-perusahaan di China, Hongkong, Macau, Taiwan,
Jepang dan Korea Selatan yang berkembang, perusahaan-perusahaan di kawasan
ASEAN juga tumbuh melesat.
Banyak juga perusahaan mutinasional yang telah memanfaatkan
peluang yang ada Asia. Unilever, Nestle, Samsung, Lenovo, Lo’oreal telah
memperluas kantor regionalnya dan menjadikannya sebagai unsur penting dalam
mengembangkan bisnis mereka. Keberhasilan yang telah dinikmati para pioneer ini
bukanlah sesuatu yang berlaku umum. Artinya setiap perusahaan multinasional
berhasil ketika masuk ke pasar lokal.
Banyak faktor pendukung yang membuat ekonomi Asia berkembang.
Iklim politik yang kondusif untuk industri dan perdagangan, ketersediaan sumber
daya alam, dan ketersediaan tenaga kerja mulai dari yang kelas pekerja hingga
yang memiliki keahlian dengan biaya yang relative rendah. Dalam masyarakat
modern, tingginya tingkat diferensiasi structural, makin terspesialisasi
fungsi-fungsi dalam masayarakat, dan otonomi sistem ekonomi dari pemerintah merupakan
kontribusi besar bagi perkembangan perdagangan dan industri serta
kesejahteraan.
Dalam situasi yang kondusif tersebut, bagaimana perusahaan
lokal mampu tumbuh dan berkembang meski tidak memiliki kekayaan sumber daya
yang tidak sebesar perusahaan multinasional yang juga pesaing mereka. Bagaimana
perusahaan-perusahaan lokal itu mampu menghasilkan, setidaknya dalam negeri,
pasar merek terkemuka.
Bagi saya pertanyaan itu relatif, sebab bagaimanapun saat
ini pasar global didominasi oleh perusahaan-perusahaan multinasional (MNC) yang
berasal dari berbagai belahan dunia, termasuk negara-negara dunia ketiga.
Keragaman budaya merupakan tantangan utama sekaligus peluang yang dihadapi
perusahaan multinasional dan lokal dalam menerapkan strategi dan praktek pemasaran
mereka.
Dalam situasi seperti itu wajar bila kemudian muncul
perdebatan apakah yang menjadi dasar bagi praktek pemasaran internasional.
Dalam konteks ini, pemasar internasional dihadapkan pada pertentangan
sehubungan dengan budaya di berbagai belahan di dunia. Pada tingkat politik dan
sosial, semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa subkultur di banyak bagian
dunia kini mulai diekpresikan untuk menyatakan politik dan identitas sosial
mereka. Ini dapat dilihat dari sering terjadinya berbagai konflik etnis.
Dalam konteks pola konsumsi, ada bukti yang berkembang bahwa
kini muncul dan berkembang pola pasar dunia. Ini setidaknya ditunjukkan oleh tren
produk dan merek menyebar global yang mendominasi pasar dunia. Beberapa
kritikus khawatir tentang efek samping dari pemasaran global pada identitas
budaya mereka sendiri. Perkembangan ini menimbulkan tantangan bagi pemasar,
yang harus mampu mengembangkan pasar global sementara pada saat yang sama mempertahankan
identitas budaya lokal, menghindari cap sebagai 'perusahaan asing', polusi
beragam budaya dan memaksakan imperialisme budaya.
Para pebisnis berbagi keyakinan dan nilai-nilai tertentu,
tetapi sangat menyesatkan bila Anda percaya bahwa mereka selalu lebih kuat
daripada pengaruh budaya lain (misalnya, budaya nasional). McDonalds, yang
mencoba untuk menstandarisasi produknya, harus menyesuaikannya dengan selera
lokal. Di India, McDonalds melayani burger domba, dan tidak burger sapi.
Tekanan globalisasi juga dapat menyebabkan penguatan identitas lokal. Di Eropa misalnya,
pertumbuhan Uni Eropa bisa dibilang mengarah ke penguatan identitas daerah
(seperti dalam kasus Skotlandia). Gagasan bahwa orang-orang dari budaya yang
berbeda dapat digabungkan bersama adalah jantung dari konsep 'melting pot',
yang secara luas diyakini di Amerika Serikat sampai pertengahan abad ke-20. Hal
digantikan oleh konsep pluralisme budaya, atau 'mangkuk salad', di mana
unsur-unsur individu mempertahankan identitas mereka sendiri.
Melting pot adalah
sebuah metafora untuk menggambarkan masyarakat yang heterogen berubah menjadi lebih homogen. Unsur-unsur yang
berbeda "mencair bersama-sama" menjadi satu kesatuan yang harmonis
dengan budaya umum atau sebaliknya. Untuk masyarakat yang homogen menjadi lebih
heterogen melalui masuknya unsur-unsur asing dengan latar belakang budaya yang
berbeda yang bisa berakibat pada munculnya potensi disharmoni dengan budaya
sebelumnya. Secara historis, fenomena itu sering digunakan untuk menggambarkan
asimilasi imigran ke Amerika Serikat.
Globalisasi ekonomi diyakini telah banyak mengurangi
hambatan yang pernah ada sebelumnya yang yang memisahkan satu negara dengan
negara lainnya. Perdagangan lebih bebas daripada sebelumnya sehingga
menciptakan saling ketergantungan yang lebih besar. Akibatnya, selama beberapa
tahun terakhir laju konvergensi politik dan ekonomi meningkat secara dramatis
sehingga kemiripan struktur politik dan ekonomi negara seakan muncul. Selain
itu, banyak ahli percaya bahwa globalisasi ekonomi telah melemahkan kontrol
negara. Globalisasi melonggarkan cengkeraman negara atas kebebasan populer
dengan memungkinkan warga untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan
keputusan yang menyangkut masalah politik dan ekonomi penting yang dihadapi
negara.
Namun, beberapa sarjana politik internasional, menolak klaim
mengenai efek universal globalisasi ekonomi politik. (Brown dan Jones, 1995;
Dupont, 1996; Fukuyama, 1989 dan 1995; Haggard, 1990; Huntington, 1991; Jones,
1995; Kaushikan, 1993; Scalapino, 1989; Tai, 1993; Tamney, 1991; Zakaria,
1994). Mereka berpendapat bahwa budaya politik yang unik di negara-negara Asia
melemahkan efek globalisasi. Dengan demikian, dampak globalisasi dirasakan
berbeda di Asia dibandingkan yang dirasakan oleh kawasan di belahan dunia
lainnya.
Ada hal lain yang membuat pasar Asia unik. Para pakar
menunjukkan pengaruh Konfusianisme dalam membangun sikap masyarakat terutama
masyarakat Asia Timur. Norma-norma perilaku masyarakat di banyak negara Asia
Timur masih sangat didasarkan pada cita-cita Konfusianisme. Selain itu selama
bertahun-tahun, kolusi antara bisnis dan pemerintah yang melanggengkan struktur
kekuasaan yang ada dalam masyarakat telah muncul dan dilembagakan di banyak
negara Asia Timur. Akibatnya, kontrol negara-negara Asia terhadap warga mereka
tetap kuat dibandingkan dengan warga di belahan dunia lainnya, membuat dampak
dari globalisasi ekonomi menjadi berkurang.
Keunikan pasar Asia yang membuat perusahaan multinasional
yang bergerak di barang-barang konsumen (consumer goods) berhasil di Amerika
Serikat atau Eropa misalnya, tidak serta merta mengekspor model bisnis, produk
dan rumus pemasaran mereka di kawasan Asia seperti Indonesia, Myanmar atau
Thailand. Pasar yang berkembang ini berbeda dalam hal kebijakan pemerintah,
peraturan perundang-undangan, perilaku ekonomi, sistem distribusi, kebutuhan
dan perilaku konsumennya. Sebagian besar produsen dunia barang konsumsi yang
mencoba menjual produk satu produk untuk seluruh dunia menemui kegagalan di
pasar Asia.
Selama bertahun-tahun Procter & Gamble menjalankan
bisnis diapers sekali pakai mereka seakan tanpa gairah. Salah satu hal yang membuat
tak bergairah karena mereka menempatkan label ekonomi sebagai variabel utama
dalam keputusan mengembangkan atau menghentikan bisnisnya itu. Karakteristik
konsumen Indonesia adalah menginginkan barang-barang dengan harga murah tapi di
sisi lain mereka tidak ingin menggunakan barang yang dicap murahan. Dalam situasi seperti itu, P&G lebih suka
mengimpor produk diapers dan menjalankan kampanye pemasarannya di luar Indonesia.
Untuk menggarap pasar Inndonesia dan negara Asia Timur
membutuhkan pendekatan baru. Agar berhasil dibutuhkan pemahaman karakter dan
budaya konsumen Asia. Yang diperlukan disini bukan sekadar pendekatan etic atau
keilmuan, yang juga penting adalah pendekatan emic atau berdasarkan sudut
pandang budaya. Keberhasilan pendekatan emic yang dilakukan Unilever dan
kekuranggairahan P&G dalam memasarkan diapers menunjukkan kevalidan
pendekatan emic. Unilever selalu membangun merek didasarkan pada akar budaya setempat.
Itu juga yang dilakukan McD setelah beberapa tahun masuk ke asar Indonesia
dengan menambahkan nasi dan sambal pada menu yang ditawarkan.
Pandangan-pandangan yang dikemukakan penulis -- yang telah
bertahun-tahun menekuni dunia pemasaran produk konsumen -- dalam buku ini
membuat buku ini menjadi perlu untuk dibaca oleh para praktisi yang ingin
memperluas pasar poduknya di kawasan Asia Timur dan akademisi yang selalu ingin
mengetahui perubahan yang terjad di lingkungan pemasaran dan ekonomi ekonomi.
Seperti yang dikatakan Dato Ahmad Fasisal Jaafar saat mengomentari buku ini,
Going East membetrikan perspektif kekinian dan pemikiran baru pada topic pasar
masyarakat ekonomi ASEAN dan implikasinya pada semua pemimpin bisnis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar