Musim panas 2008, Anna Mayer bersiap-siap untuk memulai kuliah
semester pertamanya di sebuah sekolah pascasarjana di kotanya. Saat luang, dia
menulis blog pseudonim tentang perjuangannya agar bisa masuk ke perguruan
tempat dia akan mengikuti pendidikan S2-nya yang berat, dan masalah pribadi
lainnya. Dia sangat menikmati interaksinya dengan pembaca dan komentar pada
blognya. Dia juga makin menikmatinya manakala mendapati dukungan atas
ide-idenya dari para pembaca yang muncul di papan dukungan blognya.
Tiba-tiba suatu hari, sebelum sekolah dimulai, saat dia
mencari namanya, dia menemukan postingan yang menggambarkan dirinya sebagai
"bodoh, pelacur gemuk dan jelek" yang "tidak bisa memanfaatkan arahan
dari seorang laki-laki." Pengirim pesan tak bernama (anonymous) itu mencantumkan
alamat e-mail, nomor telepon, dan profil situs kencannya. Dia juga menerima
e-mail peringatan yang mengatakan bahwa penulis mengetahui dimana dia tinggal.
Pengirim pesan itu juga mengejek Mayer sebagai penulis blog pseudonym yang dalam
tulisannya cenderung melebih-lebihkan diri.
Hari-hari berikutnya, komentar blognya makin seru. Di
blognya muncul berbagai nama seperti "Anna Mayer Fat Ass Chronicles"
dan "Anna Mayer Keeps Ho'Ing It Up." Pesan-pesan dalam tulisan itu mengingatkan orang lain dengan mengatakan
bahwa Mayer mengidap herpes yang harus segera diobati. Pengirim pesan lainnya
mengklaim bahwa dia memiliki gangguan bipolar dan catatan kriminal sehingga tak
layak mengekspos diri di depan umum.
Komentar rasis yang selama ini tidak pernah menimpanya itu kini
seakan tak mau lepas darinya. Bahkan sebuah tulisan yang mencantumkan alamat
e-mail profesornya, jelas-jelas meminta pembaca untuk memberitahu mereka tentang
Mayer sebagai seorang rasis yang memuakkan. Seseorang menyetel account Twitter di nama Mayer, mengklaim Mayer
sedang mengkhayalkan sebuah pemerkosaan dan seks yang kasar.
Ratusan posting seakan khusus ditujukan untuk menyerangnya.
Mayer tidak bisa menebak identitas orang yang mempost pesan tersebut. Dia
bertanya-tanya apakah pelecehan itu sebagai pembalasan karena membela teman
sekelas yang membuat blog tentang fantasi seksualnya. Dalam sebuah komentar
anonim, Mayer memang telah menunjukkan dukungan untuk teman sekelasnya. Lalu apakah
ada yang salah atau tidak biasa bila ada seseorang yang memiliki fantasi.
Mungkinkah orang yang tersendiri Mayer yang marah? (Citron, Danielle Keats.
2014. Hate Crimes in Cyberspace. President and Fellows of Harvard College).
Itu fenomena di blog dimana setiap orang bisa mengakses dan
membacanya. Di edia sosial, seperti Facebook dimana tidak semua orang bisa
mengaksesnya, fenomenanya mirip-mirip dengan fenomena diatas. Selama beberapa bulan persiapan pemilihan
presiden AS, Facebook seakan menjadi tong “kemarahan” dan amukan pendukung baik
Hillary maupun Trump. Kedua kubu pendukung dan penentang salah satu calon
saling unfriending.
Jaringan sosial terbesar di planet itu mengatakan bahwa
pemilihan presiden 2016 menghasilkan lebih dari 5,3 miliar postingan, suka,
komentar dan _share_. Selama Januari-Oktober 2016, lebih dari 110 juta orang
Amerika terlibat dalam perdebatan online tentang kedua calon. Tak ada data
resmi dari Facebook tentang jumlah orang yang diunfriend. Namun diperkirakan
sekitar 0,02% pengguna Facebook diunfriend temannya. Unfriending merupakan
tindakan pencoretan atau penghapusan nama seseorang dari daftar nama teman yang
mencoret atau menghapusnya.
Postingan soal politik, agama dan ras cenderung membuat
dunia seakan terpolarisasi, bahkan terbelah. Ketika pandangan dan dunia
terpolarisasi, maka pernyataan atau komentar apapun dalam media sosial baik itu
menentang, menduku, bahkan yang netrakl sekalipun, cenderung “diprotes.” Ketika
seseorang mendukung suatu kelompok, kelompok lainnya memprotes dan sebaliknya.
Ketika seseorang yang mungkin berusaha netral pun cenderung dicari narasi yang
menegasikan kenetralan itu.
Christopher Sibona, A PhD dari University of Colorado Denver
Business School pernah melakukan penelitian dengan mensurvei lebih dari 1.500
pengguna Facebook dan pengikut twitter tentang alasan mengapa orang melakukan
_unfriend_. Dari survey itu dia menyimpulkan ada 3 alasan orang untuk
unfriending.
Pertama, seseorang akan diunfriend karena sering memposting hal-hal
yang tidak penting, memposting hal-hal yang tidak pantas, dan ketiga,
memposting topic yang cenderung membuat terpolarisasi seperti agama dan politik.
Topik ini cenderung membuat orang merasa tidak nyaman, jengkel, dan
terprovokasi terutama jika postingan itu dilakukan terus-menerus.
Sedikit tanda-tanda bahwa sikap ekstrim terhadap orang memiliki
sikap politik dan ideology yang berbeda menurun. Para peneliti malah memprediksi
bahwa fenomena tersebut cenderung memburuk (Baldassarri & Gelman, 2008;
Smerconish, 2011).
Para peneliti kini banyak yang tertarik melakukan penyidikan
tentang fenomena polarisasi sikap ini, termasuk dalam hal bagaimana pola
komunikasi yang terjadi selama perdebatan misalnya, dan bagaimana ideologi,
ketakutan, geografi, dan media mempengaruhi cara orang membangun konsep dan
memposisikan isu-isu saat mereka melakukan perdebatan di media sosial atau media
pesan instan. Temuan menunjukkan bahwa
semakin sering seorang individu dan kelompok berbicara tentang suatu isu, politik
misalnya, pandangan mereka menjadi semakin ekstrim (Mackie, 1986; Sia, Tan,
& Wei, 2002; Sunstein, 2009).
Selain itu, pada saat dihinggapi rasa ketakutan, seperti
setelah peristiwa 11 September 2001, individu cenderung untuk membagi dunia
menjadi dua kubu -- yakni mereka dan lainnya – sebagai upayanya untuk memulihkan
rasa kepastian, keamanan, dan kesopanan. Ketika perasaan itu muncul, prang
cenderung membuat stereotip _kami_ dan _mereka_ dan makin membekukan keyakinan
sehingga muncul sikap dogmatism. Konsekuensinya, karena stereotip itu maka
orang makin susah mengadopsi atau menerima gagasan yang berbeda dengan
gagasannya.
Polarisasi geografi kini juga makin marak. Warga Amerika
yang selama ini merasa bahwa budaya masyarakat homogen (Bishop, 2004), isolasi
geografis yang cenderung menurunkan akses ke pandangan yang berbeda, bisa jadi dapat
meningkatkan pandangan yang sudah ekstrim. Dalam konteks pemerataan pembangunan
misalnya, ketika akses informasi tentang pebagunan wilayah makin susah, orang
cenderung memiliki pandangan yang ekstrim tentang ketimpangan karena
ketidaktahuan atau ketiadaan data tentang pemerataan pembangunan
Selain itu, media juga ikut berkontribusi mengintensifkan polarisasi. Bukan
hanya karena semakin banyaknya media, perkembangan teknologi juga semain
memudahkan seseorang atau kelompok mengekspresikan pandangannya. Di sisi lainnya,
individu cenderung mencari dan mengkonsumsi media yang memperkuat, menonjolkan,
dan selanjutnya mempolarisasi keyakinan mereka (Abramowitz, 2011). Akibatnya,
saling balas cacian bukan lagi sesuai yang tabu, bahkan semakin sering muncul
ketika orang-orang yang berada di salah satu posisi yang terpolarisasi itu menjelek-jelekkan
lawannya dengan menyebut mereka salah informasi, bodoh, dan jahat (Pearce &
Littlejohn, 1997). Jadi, bagaimana sebaiknya menurut Anda?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar