Suatu ketika seorang
wartawan yang datang ke Kuba, pulang tanpa membawa berita. Dia mendatangi dan
minta saran William Randolph Hearst, orang dianggap sebagai pelopor jurnalisme
kuning atau jurnalisme got (comberan). Hearst cuma memberi saran singkat, “Kamu
poles citranya, saya poles tentang perangnya.” Itu euphoria ketika AS berseteru
dengan Kuba. Pemerintah butuh citra Kuba yang “jahat” sebaga alasan untuk
“mengintervensi” Kuba.
Sekarang seperti yang
dilaporkan The Washington Post, beberapa orang menciptakan situs berita palsu
untuk mengeruk penghasilan lebih $
10.000 per bulan melalui Google AdSense, sebuah program yang dijadikan tolok
ukur keberhasilan media online karena mengkonversi pengunjung menjadi dolar
berdasarkan perolehan iklan. Washington Post menurunkan tuliisan itu
berdasarkan wawancaranya dengan beberapa remaja di Macedonia yang menjalankan
situs-situs berita palsu. Sebagian besar diantara mereka mengatakan bahwa cara
yang mereka lakukan itu sebagai cara termudah dan menguntungkan untuk mendapatkan uang ditengah
ekonomi yang berat. https://www.washingtonpost.com/world/europe/in-macedonias-fake-news-hub-teen-shows-ap-how-its-done/2016/12/02/98bce38e-b88d-11e6-939c-91749443c5e5_story.html?utm_term=.4884c4954ff5
Penyajian berita palsu
itu tidak selalu sama. George Orwell, seorang novelis, esais, wartawan dan
kritikus asal Inggris pernah mengatakan bahwa “beberapa berita lebih palsu
daripada yang lain”. Jadi bagaimana Anda tahu bedanya? Menurut Dr. John Johnson,
penulis buku EVERYDATA: The
Misinformation Hidden in the Little Data You Consume Every Day, ada lima jenis berita palsu yang mungkin kita
lihat dalam kehidupan sehari-hari:
Pertama, ada berita
yang 100% palsu. Beberapa waktu lalu, sempat beredar kabar bahwa Sri
Edi-Swasono meninggal, atau Paul McCartney meninggal. Sri Edi dan Paul hanyalah
contoh dari banyak selebriti yang menjadi korban laporan kematian secara
online. "RIP Paul McCartney" menjadi trending di Twitter. Padahal,
siapapun yang berada di sampingnya tahu bahwa Paul jelas-jelas masih hidup.
Kedua, berita dengan _slanting_
(miring) dan bias. Baru-baru ini The Washington Times menerbitkan daftar berita
bohong. Dalamdaftar itu termasuk antara lain cerita yang menyebutkan bahwa perubahan
iklam menyebabkan makin banyak badai seperti Katrina. Sekilas mungkin
pernyataan bahwa perubahan iklm tadi tidak benar, dan untungnya, sejak Katrina
yang menghancurkan itu memang tidak ada lagi badai serupa. Tapi apakah benar
kesimpulan tersebut? Nampaknya, Washington Times menggunakan fakta ketiadaan
badai paska Katrina tersebut untuk mendongkrak argumentasi tentang realitas
perubahan iklim. Hanya karena perubahan A (perubahan iklim dapat menyebabkan
badai besar) dan B (tidak ada badai besar) tidak berarti bahwa perubahan C
(perubahan iklim) tidak ada.
Ketiga, propaganda murni.
The Washington Post baru-baru ini melaporkan tentang kampanye propaganda canggih
yang dibuat Rusia. Washington Post menulis bahwa Rusia banyak menyebarkan artikel
menyesatkan secara online selama kampanye pemilu presdiden beberapa waktu lalu.
Sementara itu tuduhan itu masih perlu pembuktian, mungkin lebih adil bila ada
yang mengatakan bahwa beberapa berita palsu yang dimunculkan memang khusus
dirancang untuk mempengaruhi opini pembaca dalam menentukan pilihannya.
Keempat, menyalahgunakan
Data. "Have a Beer, It’s Good for
Your Brain," itu bunyi salah satu laporan yang dimuat di majalah Inc (http://www.inc.com/will-yakowicz/beer-improves-brain-function.html).
Tapi Anda harus menunggu beberapa menit terlebih dulu sebelum Anda mengambil
setengah liter (atau dua) berikutnya. Itu merupakan tulisan yang didasarkan
pada hasil pada tikus - bukan pada manusia. Jumlah bir yang dikomsusi agar
pikiran membuat pikiran jadi bagus itu setara dengan 28 tong pada manusia. Ini adalah
contoh yang bagus tentang bagaimana media sering salah menafsirkan penelitian,
menawarkan dan menampilkan suatu temuan semenarik meski tidak benar-benar
berlaku untuk Anda. Parahnya, tulisannya sering tidak didukung keilmupengetahuanan.
Kelima, apa yang
disebut dengan Imprecise and Sloppy.
Misalnya, ada tulisan menyebutkan bahwa 1 diantara 5 CEO itu Psikopat. Judul tulisan
ini bisa dijumpai di banyak media mulai dari the Telegraph (http://www.telegraph.co.uk/news/2016/09/13/1-in-5-ceos-are-psychopaths-australian-study-finds/)
hingga Washinton Post (https://www.washingtonpost.com/news/on-small-business/wp/2016/09/16/gene-marks-21-percent-of-ceos-are-psychopaths-only-21-percent/?utm_term=.568bc28d3355).
Karena dia seorang CEO,
Dr. John Johnson menyebut kesimpulan itu salah, karena dia (akunya) bukanlah
seorang psikopat. Penelitian itu didasarkan pada survei pada profesional di industri rantai pasokan, bukan
CEO. Sebuah headline tentang professional di rantai pasokan mungkin tidak
seksi, tapi berbicara tentang CEO memberikan kesan yang salah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar